Pesan Imam Ali As Mengenai Kepemimpinan Dalam Islam

Rate this item
(0 votes)

Imam Ali as berkata kepada Utsman,

“Sebaik-baik manusia dalam pandangan Allah SWT adalah penguasa yang adil, yang dibimbing oleh Islam dan yang membimbing orang lain ke arah Islam, yang menjaga dan menghidupkan sunah Nabi saw dan yang memerangi bid’ah. Seburuk-buruk orang dalam pandangan Allah adalah penguasa lalim yang sesat dan menyesatkan orang lain, yang memerangi sunnah dan menghidupkan kembali bid’ah. Aku mohon engkau dengan nama Allah untuk tidak menjadi penguasa seperti itu karena penguasa seperti itu akan dibunuh oleh kaum tertindas, karena telah diprediksikan bahwa pemimpin umat yang membuka pintu pertumpahan darah dan perseteruan akan dibunuh. Dia akan menebarkan keraguan di kalangan umat dan kekacauan, akibatnya umat tak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Umat jadi gelisah dan kacau. Karena itu dengan usia dan pengalamanmu, janganlah menjadi hewan kesayangan Marwan, dan jangan sampai dia mengaturmu.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 164)

Kalimat terakhir ini menunjukkan bahwa pemimpin harus berpikiran mandiri dan tidak boleh menjadi alatnya orang-orang di sekitarnya. Kalimat-kalimat sebelumnya mengenai pentingnya roh keadilan yang harus dimiliki pemimpin.

Instruksi Imam Ali as kepada salah seorang pejabatnya yang ditugaskan untuk memungut zakat. Setelah memberikan petunjuk tertentu dan menasihati agar ikhlas dalam bertutur dan berbuat, Imam Ali as berkata,

“Aku perintahkan engkau untuk tidak bermusuhan dengan mereka, untuk tidak menindas mereka, dan untuk tidak menjauhkan diri dari mereka, dengan memperlihatkan superioritasmu kepada mereka karena engkau adalah pejabat pemerintah. Mereka adalah saudaramu seiman dan diharapkan membantumu dalam memungut iuran. Celakalah orang yang diadukan oleh si miskin, si papa, si peminta-minta, orang yang menderita, dan si musafir kepada Allah! Seburuk-buruk pengkhianatan adalah menyalahgunakan dana publik, dan sehina-hinanya kekufuran adalah membohongi Imam.” (Nahj al-Balâghah, surat 26)

 

Imam Ali as berkata,

“Kalau dibandingkan dengan beramar makruf bernahi munkar, semua amal baik dan jihad di jalan Allah SWT tak lebih daripada tiupan udara di samudera yang amat luas dan amat dalam. Beramar makruf bernahi munkar tidak membuat ajal jadi lebih dekat, juga tidak mengurangi rezeki. Namun yang lebih berharga ketimbang semua ini adalah berkata adil di hadapan penguasa zalim.” Jadi, pembaruan rohaniah (beramar makruf nahi munkar) lebih penting dibanding berperang suci melawan kaum kafir, namun yang lebih penting lagi adalah berjuang melawan penyimpangan pemimpin. Dapat dicatat bahwa ber-amar makruf nahi munkar merupakan sebuah tahap dalam jihad, dan berkata adil di hadapan penguasa kejam juga merupakan beramar makruf nahi munkar.

Imam Ali as dengan tegas mengatakan bahwa pandangan kaum Khawarij bahwa Alquran sudah cukup dan bahwa tak perlu ada pemerintah, mesin administrasi dan pemimpin, adalah salah. Kaum Khawarij biasa mengatakan bahwa “tak ada hakim kecuali Allah.” Imam Ali as berkata,

“Slogan mereka memang benar, namun kesimpulan mereka salah. Mereka mengatakan bahwa tak usah ada pemerintah kecuali pemerintah Allah SWT. Namun orang perlu penguasa, entah penguasa itu baik atau buruk, karena dengan kekuasaannya si beriman dan si kafir dapat bekerja dan menikmati hidup.” (Nahj al-Balâghah)

Mesin administrasi disebut pemerintah, karena mesin ini menjaga kedamaian internal dan eksternal, dan menyelenggarakan hukum dan ketertiban. Disebut Imamah karena dikepalai oleh seorang pemimpin yang memobilisasi kekuatan-kekuatan potensial, menggali dan mengembangkan kemampuan-kemampuan terpendam. Dalam “Nahj al-Balâghah” digunakan kata wall dan ra’iyyah untuk penguasa dan rakyat. Kata-kata ini menunjukkan bahwa tugas penguasa adalah melindungi dan memperhatikan rakyatnya. Imam Ali as berkata, “Klaim terpenting yang dirumuskan oleh Allah SWT adalah klaim penguasa atas rakyat dan klaim rakyat atas penguasa.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 216)

Yang dibutuhkan manusia bukan hanya pangan dan papan. Kebutuhan manusia beda sekali dengan kebutuhan burung merpati atau rusa. Manusia memiliki sejumlah kebutuhan psikologis yang juga perlu dipenuhi. Karena itu belum cukup bila pemerintah yang ingin populer dan diterima hanya memenuhi kebutuhan material rakyatnya saja. Pemerintah juga perlu memperhatikan kebutuhan manusiawi dan spiritual rakyatnya. Yang penting adalah sikap pemerintah terhadap rakyat. Apakah pemerintah memandang rakyat sebagai alat yang tak bernyawa, atau sebagai hewan beban dan hewan penghasil susu yang juga perlu perawatan medis juga, atau sebagai manusia yang memiliki hak yang sama. Pendek kata, apakah rakyat untuk pemimpin, atau pemimpin untuk rakyat?

Bahwa mengakui hak rakyat dan berpantang dari segala yang merusak otoritas pemimpin merupakan syarat sangat penting pertama bagi pemimpin yang ingin memenuhi kebutuhan rakyat dan ingin dipercaya rakyat. Hubungan tidak natural seperti yang dibuat gereja antara beriman kepada Tuhan dan menolak kedaulatan manusia, dan akibat naturalnya antara kedaulatan manusia dan menolak Tuhan, merupakan faktor penting yang membuat orang meninggalkan agama. Kaisar Rum, Kaligola (abad pertama Masehi atau abad pertama sebelum Masehi) biasa mengatakan bahwa penguasa memiliki keunggulan atas rakyat seperti keunggulan gembala atas domba. Penguasa seperti dewa, sedangkan rakyat seperti hewan ternak. Sebagian filosof Barat juga percaya bahwa penguasa berkuasa bukan untuk kepentingan rakyatnya. Menurut para filosof ini, penguasa memiliki hak ilahiah, yaitu bahwa rakyat diciptakan untuk kepentingan penguasa.

Dalam artikel di atas sudah kami kemukakan bahwa meskipun kata ra’iyyah digunakan oleh Imam Ali as yang menunjukkan konsepsi bahwa penguasa itu untuk rakyat, bukan rakyat untuk penguasa.

Surah an-Nisa’ ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” menunjukkan bahwa penguasa adalah penjaga rakyat. Dengan kata lain, ayat ini menyebutkan dengan jelas prinsip penguasa untuk rakyat bukan rakyat untuk penguasa.

Kitab Majma’ mengutip Imam Muhammad al-Baqir as dan Imam Ja’far Shadiq as mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para imam sedangkan ayat berikutnya: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul,” ditujukan kepada umat.

Imam Muhammad al-Baqir as mengatakan, “Satu dari dua ayat ini berkaitan dengan kami (hak kami), sedangkan satunya berkaitan dengan kamu (hak kamu).”

 

Imam Ali as berkata,

“Imam, kalau memutuskan sesuatu, menurut apa yang diwahyukan Allah. Dia selalu menjaga amanat. Karena itu, umat wajib mendengarkan dan menaatinya, dan wajib menjawab kalau diseru.” (al-Mizan mengutip dari Durr al-Mantsur)

Imam Ali as menulis surat kepada gubernurnya di Azerbaijan:

Pekerjaan Anda bukanlah makanan kecil yang enak, melainkan amanat yang wajib Anda jaga. Anda telah diangkat oleh atasan Anda menjadi gembala (untuk mengurusi rakyat Anda). Karena itu Anda tidak berhak bersikap lalim terhadap rakyat.” (Nahj al-Balâghah, surat 5)

Dalam surat edaran yang ditujukan untuk semua petugas pajak, Imam Ali as berkata,

“Berlaku adillah terhadap rakyat, dan dengan sabar perhatikan kebutuhan mereka, karena Anda adalah bendaharawan rakyat, wakil umat, dan duta Imam.” (Nahj al-Balâghah, surat 51)

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dari sudut pandang “Nahj al-Balâghah “, basis kepemimpinan adalah pemimpin untuk rakyat bukan rakyat untuk pemimpin.

Ayatullah Syahid Muthahari, Manusia dan Alam Semesta

Read 734 times