Print this page

Apa pendapat Islam dalam kaitannya dengan keceriaan dan kegembiraan?

Rate this item
(0 votes)
Apa pendapat Islam dalam kaitannya dengan keceriaan dan kegembiraan?

 

Kegembiraan hakiki dari pandangan orang yang beriman akan terilustrasi ketika ia melangkahkan kaki lebih dekat ke arah Tuhannya. Namun, karena di dalam dirinya, manusia memiliki fitrah mencari variasi, maka ia bisa memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia yang diperbolehkan, dan bergembira karenanya. Kegembiraan ini bisa juga meningkatkan kegembiraan maknawi dan spiritual orang-orang yang beriman.
Dari sisi lain, harus diketahui bahwa sebagian dari kegembiraan sangatlah dangkal dan hanya lahiriah saja, dimana ketika ini muncul dari perilaku-perilaku tak logis dan tak etis, maka tidak akan diterima dan ditolak oleh Islam.
Poin berikut juga harus diperhatikan bahwa prinsip rasional yang telah diterima ini terdapat pada seluruh sistem peradaban, dimana seseorang tidak boleh terlibat dengan perilaku apapun yang tak diperbolehkan hanya karena dalih untuk mencari kegembiraan, dengan perbedaan bahwa mungkin batasan perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang memiliki beberapa perbedaan.

Jawaban Detil
Dalam menganalisa masalah ini, pertama kita harus mengetahui apa makna kegembiraan itu? Mengenai masalah ini bisa dikatakan bahwa kegembiraan itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai persoalan materi.
Dengan kata lain, persoalan yang menggembirakan bisa muncul dalam bentuk materi, maupun dalam bentuk spiritual, akan tetapi kegembiraan itu sendiri senantiasa merupakan persoalan spiritual dan reaksi yang dibarengi dengan kerelaan manusia dalam menghadapi kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.
Masalah yang serupa juga terjadi pada kata duka, namun pada akhirnya manusia sendirilah yang akan menjadi gembira dengan bentuk pandangannya terhadap sebagian masalah, dan menjadi sedih atas masalah-masalah lainnya, dan karena alasan ini pulalah sehingga bisa jadi sebuah kejadian, bagi seseorang akan menggembirakan, namun bagi yang lain akan menyedihkan, sebagai contoh kami akan mengisyarahkan acara khurafat “cohorsyanbeh suri” (Rabu akhir tahun) yang terdapat di negara Iran:
Suara ledakan-ledakan dan kobaran api di lorong-lorong dan jalanan, bagi kebanyakan mungkin menjadi sesuatu yang menggembirakan, akan tetapi dengan pasti, berhadapan dengan itu, terdapat orang-orang yang sedang sakit dan lemah, yang akan terganggu dan terancam bahaya karena perilaku-perilaku tersebut.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka bisa ditegaskan bahwa segala bentuk kegembiraan apabila tidak ada keharaman di dalamnya, maka dari pandangan Islam, diperbolehkan.
Sekarang marilah kita menganalisa bagaimana sikap agama suci ini terhadap kegembiraan dengan mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok (kegembiraan hakiki, kegembiraan halal dan kegembiraan haram):
Kegembiraan hakiki
Karena salah satu dari prinsip agama Islam adalah percaya pada kebangkitan dan kehidupan abadi, dan kematian dalam pandangan ini tidak berarti ketiadaan atau kemusnahan, melainkan jembatan perantara dari dunia kecil dan terbatas ke dunia tak terbatas, maka kegembiraan baru akan memperoleh konteks hakikinya ketika manusia menganggapnya mampu memberikan pengaruh pada kehidupan abadinya kelak.
Dengan alasan inilah sehingga melakukan segala perilaku yang baik – tanpa harus membuat orang beriman menjadi ujub dan memuji diri sendiri- pasti akan mampu meningkatkan kegembiraan internalnya. Perasaan gembira dan nikmat yang diraih oleh seorang mukmin karena melakukan infak, berpuasa, salat, haji, dan lain sebagainya sama sekali tidak bisa diperbandingkan dengan kegembiraan-kegembiraan materi yang sekejap, dan dengan perkataan lain, keindahan berinteraksi dengan Tuhan sedemikian rupa akan menempatkan seluruh kegembiraan dan kenikmatan lainnya di bawah dominasinya, sehingga kesedihan berpisah dari sahabat pun akan menciptakan kegembiraan itu sendiri, sebagaimana kata-kata Hafidz:
Karena dukamu tak kan tergapai kecuali dalam hati riang,
Maka dengan harap dukamu kami kan tuntut riang
Al-Quran dalam kaitannya dengan masalah ini, mengatakan, “Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”[1]

Dengan dalih inilah sehingga dalam munajat-munajat Imam Sajjad As yang sangat indah, kita membaca, “Siapakah yang merasakan kenikmatan kasih-Mu, namun mencari pengganti yang lain?”[2]

Kegembiraan-kegembiraan Halal
Dengan seluruh apa yang telah dikatakan sebelumnya, dan kendati kenikmatan berinteraksi dengan Tuhan tidak bisa diperbandingkan dengan kegembiraan yang manapun, akan tetapi fitrahh mencari variasi dan keragaman yang ada dalam diri manusia telah membuatnya tertarik untuk mencoba kenikmatan-kenikmatan lain –bukan sebagai pengganti-, dan hal ini tidak bisa menjadikannya tercemooh atau terhina.
Rasa ingin mencari keragaman dan variasi ini pun merupakan karakteristik dan kesitimewaan manusia sebagai makhluk yang paling mulia, dan secara sendirinya tidak bisa dianggap sebagai titik lemah atau titik kuat baginya. Bagaimana merubah keinginan terhadap keragaman ini menjadi titik yang positif atau negatif dalam kehidupan manusia, semuanya bergantung pada bagaimana ia mengelola rasa yang diberikan oleh Tuhan ini.
Islam menganggap Mukminin yang cerdas dan sadar adalah mereka yang bahkan dalam keadaan sedih pun mampu menjumpai orang lain dengan muka yang cerah dan berseri, dan dengan cara ini ia akan menyuntikkan energi positif dan menggembirakan masyarakat.[3]
Karena duka dan keriangan dunia hanya sekejap mata
maka kan lebih baik bagiku tuk ku miliki keriangan diriku
Dengan keadaan seperti ini, bagaimana bisa dikatakan bahwa masyarakat agama adalah sebuah masyarakat yang berduka dan sedih?! Kegembiraan-kegembiraan halal sangatlah banyak, dimana Islam tidak saja tak menentangnya, bahkan dalam banyak kasus, justru menegaskannya, di antaranya kegembiraan-kegembiraan yang muncul dari:
Kemajuan studi dan sosial yang diraih oleh seseorang atau orang-orang yang dekat dengannya,
Penemuan sebuah fenomena ilmiah baru,
Melakukan perjalanan dan menikmati pemandangan alam yang indah,
Olahraga dan seni yang selain dilakukan sebagai rekreasi juga akan memberikan pelatihan pada fisik dan psikis manusia,
Memanfaatkan berbagai makanan dan pakaian,
Memilih sahabat, pembentukan himpunan dan berbagai kelompok sosial,
Pernikahan dan pembentukan keluarga, dan puluhan bahwa ratusan hal-hal lainnya.
Sebuah riwayat dari Imam Shadiq As menegaskan bahwa kegembiraan-kegembiraan dunia yang halal bisa membantu seseorang untuk meraih kegembiran-kegembiraan maknawi dan spiritual.
Dengan menukil nasehat-nasehat bijak dari keluarga Dawud, beliau bersabda, “Seorang Muslim yang cerdas, layak berada pada salah satu dari tiga kondisi berikut: dalam keadaan melakukan aktivitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan hidup, dalam keadaan memperluas kehidpan akhiratnya, atau dalam keadaan melakukan kegembiraan-kegembiraan yang tidak diharamkan oleh Islam; demikian juga pantas bagi setiap Muslim untuk berkhalwat dengan Tuhannya pada sebagian kesempatan, dan pada kesempatan lainnya bercakap dengan sahabat-sahabat baiknya yang akan mengingatkannya kepada akhirat, dan memanfaatkan sisa kesempatannya untuk kegembiraan-kegembiraan yang halal, dimana kegembiraan ini akan membantunya dalam menjalankan dua aktivitas sebelumnya.”[4]
Tentunya, poin berikut juga harus diperhatikan, bahwa sebagian orang yang berada pada tingkat tinggi dalam interaksi spiritualnya dengan Tuhan, bisa saja pada putaran waktu tertentu ia menganggap sebagian kegembiraan dan kenikmatan-kenikmatan halal tidaklah layak untuknya, akan tetapi ini bukan bermakna keharaman secara umum dalam kasus seperti ini, melainkan untuk sekelompok orang, mungkin dengan sedikit menutup mata dan jika dibarengi dengan mengingat Tuhan, akan mampu menganggap kelompok kegembiraan ini pun berada pada kelompok pertama.
Kegembiraan-kegembiraan Haram:
dalam ayat-ayat al-Quran kita membaca, “... sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”[5], demikian juga pada ayat, “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”[6]
Apakah dalam pandangan Islam, ayat-ayat ini bisa dimaknakan dengan penafian terhadap segala bentuk kegembiraan?! Dengan memperhatikan apa yang telah kita bahas sebelumnya, maka dengan tegas bisa dikatakan bahwa jawaban dari pertanyaan ini adalah negatif, karena hanya kegembiraan-kegembiraan yang tidak diperbolehkan dalam pandangan Islam-lah yang akan memberikan pengaruh buruk pada individu dan sosial masyarakat.
Poin berikut juga harus diperhatikan bahwa prinsip rasional yang sudah diterima ini, terdapat pada seluruh sistem peradaban dimana tidak seharusnya hanya karena dalih kegembiraan, sehingga menyebabkan kita terjebak dalam setiap perilaku yang tak diperbolehkan, dengan perbedaan bahwa mungkin terdapat perbedaan pada batasan perilaku-perilaku yang diperbolehkan dan yang tidak.
Kegembiraan-kegembiraan yang muncul dari berbagai bentuk interaksi jasmani akan menjadi pemusnah landasan keluarga dan masyarakat, kegembiraan-kegembiraan yang bersumber dari hilangnya sebagian dari sistem kesadaran tubuh karena mengkonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang, kegembiraan yang muncul dari mengganggu atau menyiksa orang lain dalam interaksi sosial (seperti mengendarai kendaraan secara tak layak, melanggar zona privasi orang lain, merusak kekayaan umum, dan ...), kegembiraan yang muncul dari israf, tabdzir dan menggunakan nikmat-nikmat pemberian Tuhan secara tak benar, kegembiraan yang muncul dari rasa takabbur, sombong, dan menjual harga diri kepada orang lain demi kekayaan atau kedudukan sosial, kegembiraan karena melarikan diri dari jihad[7], dan kegembiraan yang munafik karena kegagalan lahiriah pada orang-orang beriman[8] dan sebagainya, demikian juga hal-hal yang tidak ditekankan oleh Islam, sebagian dari hal-hal ini dianggap tak pantas juga dalam masyarakat manusia.
Manusia tak berperasaan yang menyiksa dan memukul anak, menanggapi tangisan dan jeritan mereka dengan teriakan atau tawa kegirangan, senantiasa akan dikecam oleh hati nurani kita, karena keburukan perilaku ini sangat mudah kita pahami, akan tetapi pada kebanyakan dari kasus yang keburukan dosanya tidak terlalu terlihat, sebagaimana yang telah disinggung pada contoh-contoh di atas, menerima pelarangan bergembira bagi mereka mungkin terlihat tidak terlalu sulit , akan tetapi harus diketahui bahwa dalam pelarangan setiap kenikmatan dan kegembiraan haram, tersimpan logika yang kuat dimana hal tersebut akan bisa diperoleh dengan berkontemplasi secara mencukupi.
Sebagian, dari sekian bentuk kegembiraan, hanya menonjolkan bagian dari kegembiraan logis yang bahkan tidak terlalu bernilai, sekalipun di mata para elit masyarakat non religis, kemudian secara salah mereka ingin menanamkan kepercayaan ini kepada masyarakat bahwa Islam berkontradiksi dan menentang segala bentuk kegembiraan.
Bertolak belakang dengan ide Islam yang menerima kegembiraan dan kesedihan yang wajar, orang-orang seperti ini, untuk memperoleh kegembiraan akan melakukan tindakan apapun yang tak umum, dan alih-alih mendapatkan kegembiraan, mereka hanya berpura-pura bergembira, dan ketika sedih pun, karena mereka tidak memiliki kepercayaan terhadap ma’ad dan kebangkitan, maka hal ini akan membuat mereka terjebak dalam depresi akut yang akan menyeretnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tak wajar lainnya seperti bunuh diri!!
Dalam pandangan Islam, duka juga seperti gembira, tidak boleh menghalangi manusia dari kedekatannya dengan Tuhan dan dalam melakukan perintah-perintah-Nya.
Setelah kita membandingkan kegembiraan Mukminin hakiki dangan orang-orang ini, kita hanya akan mengatakan, betapa jauh perbedaan antara keduanya?!
Dengan sedikit realistis, dengan mudah kita akan mengetahui bahwa kegembiraan-kegembiraan yang tak etis sajalah yang dilarang oleh Islam, dan bermacam-macam kegembiraan alami dan maknawi, tidak hanya layak saja, bahkan dalam banyak kasus menjadi penting dan wajib, dan ketika pertanggung jawaban manusia dikarenakan kegembiraan, maka tidak terdapat tempat bahwa kegembiraan ini menjadi tak benar, berfirman, “Azab yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan).”[9]
Seorang manusia beriman bisa sekaligus memiliki kegembiraan dunia dan akhirat, sebagaimana dikatakan dalam riwayat bahwa seorang yang berpuasa, maka ia akan memiliki dua kegembiraan, yang pertama, kegembiraan saat berbuka puasa dan memanfaatkan berbagai makanan dan minuman, dan kegembiraan kedua, saat menemui Tuhannya dan menerima pahala puasanya.[10]
Nah, jika Anda menemukan kasus khusus dimana hal tersebut dianggap sebagai kegembiraan namun Anda percaya bahwa Islam bangkit untuk menentangnya, maka sampaikan kepada kami dengan menyajikan kerangka yang rinci tentang apa yang ada di benak Anda, supaya kami bisa memberikan penjelasan tentang masalah tersebut.



[1]. Qs. Yunus [10]: 58.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 19, hlm. 148, Muasasah al-Wafâ, Beirut, 1404 HQ.
[3]. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Kâfî, jil. 2, hlm. 226, hadis 1, Dâr al-Kutub al-Islâmîyyah, Teheran, 1365 S.
[4]. Ibid, jil. 5, hlm. 87, hadis 1.
[5]. Qs. Al-Qashash [28] 76.
[6]. Qs. Al-hadid [57]: 23.
[7]. Qs. Taubah [9]: 81, “Orang-orang yang membangkang itu merasa gembira karena menentang (perintah) Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.”
[8]. Qs. Taubah [9]: 50, “Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya”; Ali Imran [3]: 120, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira ria karenanya.”
[9]. Qs. Al-Ghafir [40]: 75.
[10]. Syaikh Shaduq, Fadhâil Al-Asyhar ats-Tsalâtsah, hlm. 134, Maktabah al-Dawari, Qom, Tanpa Tahun.

Read 416 times