Belajar dari Kudeta Konstitusional Malaysia

Rate this item
(0 votes)

Sebagai pengagum Tun Mahathir Mohammad dan Datuk Seri Anwar Ibrahim baik sebagai pemikir (keduanya masing-masing menulis buku The Malay Dilemma dan Gelombang Kebangkitan Asia) maupun sebagai politisi, saya mengikuti betul kisah dan perjalanan hidup kedua tokoh politik kawakan Malaysia tersebut, termasuk berita-berita seputar perpolitikan negara jiran tersebut.

Dulu, ketika Dr. M (sebutan akrab untuk Tun Mahathir Mohammad) dan Anwar Ibrahim bersanding sebagai Perdana Menteri (PM) dan Timbalan (Wakil) Perdana Menteri pada era jelang krisis moneter Asia pada 1996-an, saya menaruh harapan besar akan perpaduan keduanya sebagai contoh dwitunggal pemimpin sebagai cahaya Malaysia dan Asia Tenggara.

Tatkala keduanya berseteru selama belasan tahun, konon penyebab awalnya adalah perbedaan visi pemerintahan dalam penanggulangan krisis moneter, saya turut kecewa.

Dan harapan saya kembali terbit saat mereka bersatu kembali dan membentuk koalisi Pakatan Harapan pada 2018 untuk menggulung rezim Barisan Nasional.

Namun, asa itu pupus di akhir Februari ini. Jelaslah ini pelajaran pertama bahwa tak boleh baperan (terbawa perasaan) atau kelewat melankolis dalam berpolitik.

Apa yang terjadi di pentas politik Malaysia dalam sepekan terakhir di akhir Februari 2020 dapatlah disebut sebagai "kudeta konstitusional".

Penunjukan Datuk Seri Muhyiddin Yasin yang juga wakil ketua Partai Bumiputera Bersatu Malaysia (Bersatu) (yang didirikan Mahathir) sebagai Perdana Menteri Malaysia oleh Raja Malaysia Yang Dipertuan Agung Sultan Abdullah (ex officio Sultan Pahang) dituding oleh Mahathir Mohammad, mantan  pada 24 Februari 2020, sebagai "melanggar hukum dan pengkhianatan" (illegal and betrayal), demikian yang dikutip oleh situs Malaysiakini dan berbagai media asing di luar Malaysia, salah satunya situs BBC Inggris.

"Saya dikhianati oleh Muhyiddin. Dia telah menyusun rencana ini dan sekarang dia sukses," demikian keterangan pers yang disampaikan Mahathir jelang pelantikan PM Malaysia yang baru pada Ahad, 1 Maret 2020.

Uniknya, tuduhan yang sama juga dilayangkan Datuk Seri Anwar Ibrahim, mitra koalisi Dr. M dalam Pakatan Harapan, kepada Mahathir sendiri selepas pengunduran diri Mahathir sebagai Perdana Menteri Malaysia hasil Pemilu ("Undian Raya" dalam istilah Melayu Malaysia) 2018 yang terkesan mendadak dan sepihak.

Padahal Mahathir dan Anwar, kendati sempat berseteru sejak 1998 saat berduet sebagai Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri Malaysia, telah mengikat ikrar politik sebagai syarat bergabungnya partai bentukan Mahathir (sempalan dari UMNO) yakni Partai Bumiputera Bersatu Malaysia (Bersatu) dengan Pakatan Harapan yang merupakan koalisi oposisi Malaysia yang terdiri dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang didirikan oleh Anwar Ibrahim.

Partai Amanah yang merupakan partai pecahan PAS, dan partai berbasis etnis Tionghoa seperti Democratic Action Party (DAP)demi menggusur dominasi koalisi Barisan Nasional yang beranggotakan UMNO (United Malays National Organization), Partai Islam Se-Malaysia (Pan-Malaysian Islamic Party/PAS),  Malaysian Chinese Association (MCA), dan Malaysian Indian Congress (MIC) selama enam puluh satu tahun (1957-2018).

Klausul kesepakatan ikrar yang mengemuka adalah Dr. M diajukan sebagai calon perdana menteri Malaysia demi menantang sang perdana menteri petahana Najib Razak, yang nota bene adalah murid politik Dr. M, sama seperti Anwar Ibrahim sendiri, dan, jika menang, paling lambat dua setengah tahun sejak hari pertama masa jabatannya, Mahathir harus menyerahkan tampuk kepemimpinan sebagai PM kepada Anwar Ibrahim.

Juga termasuk dalam kesepakatan tersebut adalah amnesti dari Yang Dipertuan Agung bagi Anwar Ibrahim yang saat itu tengah mendekam di penjara atas tuduhan kasus sodomi untuk kedua kalinya di era PM Najib Razak.

Sehingga mantan tokoh pergerakan mahasiswa ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) tersebut tak perlu kehilangan hak politiknya selama lima tahun sebagaimana yang diatur dalam hukum Malaysia.

Anwar pun langsung dapat berlaga di Pemilu 2018 sebagai kandidat anggota parlemen dan memenangi satu kursi anggota parlemen untuk wilayah pemilihan Port Dickson di Negara Bagian Negeri Sembilan, Malaysia.

Filosofi dasar kesepakatan tersebut adalah peran sentral dan kontribusi Anwar Ibrahim sebagai tokoh oposisi ("pembangkang" dalam istilah Melayu Malaysia) selama dua dekade terakhir termasuk dalam membangun koalisi oposan Pakatan Rakyat yang kemudian bertransformasi menjadi Pakatan Harapan jelang GE 14 (General Election 14) atau Pemilu ke-14 pada 2018.

Namun, ibarat klub sepak bola, koalisi oposan tersebut tak cukup bermodal Anwar sebagai gelandang pengatur serangan (playmaker), mereka juga butuh penyerang tengah (striker) andal, sebagai pendobrak pertahanan dan penjebol gawang lawan.

Alhasil, berdasarkan kualifikasi pengalaman dan kepiawaian politik sebagai mantan PM terlama dalam sejarah politik Malaysia (berkuasa selama 22 tahun dalam periode 1981-2003), Mahathir dianggap sangat layak sebagai ujung tombak kalangan oposan.

Di samping itu, faktor Mahathir effect juga dianggap sangat berpengaruh untuk menyedot suara bumiputera (pribumi) Malaysia yang selama ini menjadi lumbung suara utama UMNO yang menjunjung prinsip Malay First (Melayu Terutama).

Singkat cerita, dengan mengusung isu keberagaman Malaysia dan isu anti-korupsi, Pakatan Harapan yang terdiri dari koalisi multi-warna (menyatukan tiga etnis utama di Malaysia, yakni Melayu, Tionghoa, dan India serta bersifat lintas agama dalam satu payung besar) berjaya mengalahkan Barisan Nasional yang terbelit permasalahan konflik antar-etnis dan agama dan megaskandal korupsi 1 MDB (1Malaysian Development Berhad) sebesar US$700 juta (RM2,67 miliar) dengan perolehan suara sekitar 60 persen.

Akhir ceritanya, Mahathir Mohammad berkuasa sebagai Perdana Menteri dan Wan Azizah Wan Ismail (ketua PKR yang juga istri Anwar Ibrahim) didapuk sebagai Wakil Perdana Menteri. Sementara Barisan Nasional (BN) yang kalah telak lantas bubar, dan sang pemimpin yakni Najib Razak pun digelandang masuk bui sebagai terdakwa kasus megaskandal korupsi 1 MDB.

Termasuk juga deretan pejabat UMNO dan BN yang tersangkut berbagai dakwaan korupsi massal dalam investigasi Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM), yakni KPK-nya Malaysia.

Seperti dalam adagium klasik, history is written by the winner. Sejarah ditulis oleh sang pemenang. Sang pecundang hanya pasrah, terima nasib saja.

Walakin, ternyata kisahnya belum tamat. Itu tadi baru akhir babak pertama. Seperti halnya pasca-gerakan Musim Semi Arab (Arab Spring) di Timur Tengah dan juga selepas Reformasi 1998 di Indonesia, selalu terjadi perlawanan balik dari kubu kekuatan lama dengan segala cara,  terutama dengan memanfaatkan konsolidasi kekuatan kaum demokrat dan reformis yang belum solid dan tuntas.

Berawal dari ketidakpastian waktu pengalihan jabatan PM yang terkesan diulur-ulur oleh Mahathir Muhamad, yang berkali-kali memundurkan waktu peralihan jabatan.

Dari pernyataan awal yang bahkan "hanya akan menjabat setahun saja" kemudian menjadi "dua tahun", dan lantas menjadi "saya yang akan memutuskan kapan persisnya".

Hal inilah yang kemudian memicu ketidaksabaran kubu Anwar Ibrahim, yang tercermin dengan berbagai pernyataan para politisi Pakatan Harapan terutama dari PKR yang menyerang Dr. M dengan mengungkit kebengisan Mahathir Mohammad di masa lalu (baca: ketika menjerumuskan Anwar ke bui dengan tuduhan kasus sodomi dan menyingkirkannya dari jabatan Wakil Perdana Menteri).

Termasuk mengultimatum Mahathir agar lekas meletakkan jabatan PM dan mengalihkannya kepada Anwar Ibrahim paling lambat pada Oktober 2020, agar Anwar Ibrahim tak lagi sekadar sebagai Prime Minister in Waiting (perdana menteri dalam penantian) sebagaimana diistilahkan oleh media Barat.

Sementara jelang pengunduran dirinya pada 24 Februari 2020, Mahathir sempat menyatakan berencana mengundurkan diri sebagai PM Malaysia dan melakukan transisi kepemimpinan kepada Anwar Ibrahim pada November 2020 selepas KTT APEC.

Nah, momen "kapal retak" inilah yang dimanfaatkan oleh UMNO dengan mengeksploitasi isu perseteruan masa lalu kedua tokoh tersebut.

Terlebih lagi banyak politisi dan pendukung Mahathir Mohammad yang tergabung dalam Partai Bersatu yang mayoritas pribumi Melayu sebetulnya tak ikhlas bergabung dengan kubu Pakatan Harapan yang juga mengakomodasi salah satu partai Tionghoa terbesar di Malaysia, yakni Democratic Action Party (DAP), yang sejak lama dicurigai hendak merongrong supremasi pribumi Malaysia.

Riwayat kelam tragedi kerusuhan rasialis berdarah pada 13 Mei 1969 di Kuala Lumpur antara etnis Melayu dan etnis Tionghoa yang menewaskan 184 orang dan berbuntut dikeluarkannya Singapura (yang berpenduduk mayoritas etnis Tionghoa dan saat itu dipimpin PM Lee Kuan Yew) dari Persekutuan Tanah Melayu (nama lama Malaysia, yang beranggotakan Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) memang masih menjadi momok di negara serumpun itu dan tak bisa dihapus dengan sekadar satu momen kemenangan pemilu saja.

Persatuan mereka, yang laksana air dan minyak, tampaknya hanya berlandaskan kemuakan akan borok korupsi Barisan Nasional dan figur Najib Razak (putera Tun Abdul Razak, tokoh pendiri negara Malaysia) yang korup dan arogan. Itu jelas persatuan temporer dan berbasis kepentingan yang rentan infliltrasi dan hasutan serta agitasi seteru politik dan pihak luar.

Diperparah lagi dengan perseteruan internal di tubuh PKR yang didirikan oleh Anwar Ibrahim (antara Anwar Ibrahim dan Azmin Ali, salah satu orang kepercayaan Anwar yang juga wakil ketua PKR) yang konon disebabkan munculnya skandal video hubungan sesama jenis yang melibatkan Azmin dan seorang asisten pribadinya di PKR.

Rekaman video mesum yang ditolak mentah-mentah kebenarannya oleh Azmin tersebut beredar luas, dan merusak citra serta integritas PKR sebagai motor koalisi Pakatan Harapan. Puncaknya, Azmin Ali, yang dipecat dari PKR, beserta sekitar sepuluh anggota parlemen dari PKR mengundurkan diri dari parlemen Malaysia.

Senyampang itu, Muhyiddin Yasin (wakil ketua Partai Bersatu pimpinan Mahathir) menarik sejumlah anggota parlemen dari partainya untuk mundur dari parlemen dan membentuk kaukus politik baru dengan UMNO dan sempalan PKR (Azmin Ali cs).

Awalnya, Muhyiddin yang jengkel dengan serangan terhadap Dr. M dari kubu PKR, meminta Mahathir bekerja sama dengan UMNO untuk membentuk pemerintahan baru, dan menyingkirkan Anwar Ibrahim dan Pakatan Harapan dari kekuasaan agar dapat berkuasa penuh selama lima tahun (2018-2023).

Namun Dr. M menolak karena menganggap UMNO adalah sarang kleptokrat dan koruptor yang menggerogoti Malaysia selama ini.

 

Muhyiddin yang merasa Mahathir, yang nota bene guru politiknya, tak lagi sejalan, kemudian menggandeng kubu barisan sakit hati dari PKR, Azmin Ali cs, untuk mengadakan pembicaraan dengan kubu UMNO guna menggulingkan koalisi Pakatan Harapan sebagai pemenang sah Pemilu 2018 dan membentuk koalisi pemerintahan baru dengan nama Perikatan Nasional.

Termasuk mengajak kelompok perkongsian Perikatan Nasional beraudiensi dengan Yang Dipertuan Agung Malaysia selepas pengunduran diri PM Mahathir untuk berdiskusi tentang masa depan pemerintahan Malaysia.

Alhasil, sesuai sistem demokrasi parlementer yang dianut Malaysia, sebagai konsekuensi hilangnya dukungan mayoritas di parlemen bagi Pakatan Harapan karena pembelotan kubu Muhyiddin Yasin dan Azmin Ali, maka pengunduran diri Mahathir Mohammad sebagai PM Malaysia merupakan langkah logis dan konstitusional.

Namun, Anwar Ibrahim yang merasa tak diajak bicara, justru menuduh langkah pengunduran diri Dr. M itu sebagai upaya untuk kembali menjegalnya menjadi PM. Anwar menduga Mahathir mundur untuk menjadikan koalisi Pakatan Harapan kehilangan mandat dukungan dan bubar, dan Mahathir dapat kembali mencalonkan diri sebagai PM untuk masa jabatan penuh dengan menggandeng UMNO dan beberapa partai pro-bumiputera lainnya.

Namun ternyata Mahathir dan Anwar sama-sama korban adu domba dan pengkhianatan orang-orang kepercayaan mereka sendiri.

Kendati pada akhirnya Anwar dan Mahathir rujuk, dan kembali mengajukan Mahathir sebagai kandidat Perdana Menteri dari kubu Pakatan Harapan pada persidangan parlemen selepas pengunduran diri Mahathir sebagai PM (dan kemudian ditunjuk kembali oleh Yang Dipertuan Agung sebagai PM Sementara sampai terpilihnya PM baru), namun taktik kubu Muhyiddin jauh lebih digjaya.

Dengan mengklaim sebagai ketua Partai Bumiputera Bersatu Malaysia yang baru, karena Dr. M dianggap juga kehilangan jabatan ketua partai selepas melepas jabatan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin berhasil meraih dukungan politik dari parlemen dan restu dari Yang Dipertuan Agung untuk dilantik sebagai Perdana Menteri kedelapan Malaysia pada 1 Maret 2020, yang waktunya bahkan lebih cepat daripada jadwal sidang parlemen yang disepakati pada awalnya untuk menetapkan kandidat PM yang baru pada 2 Maret 2020.

Memang terkesan seperti fetakompli (fait accompli). Tetapi, dalam hal ini, sebagai negara yang berlandaskan sistem monarki konstitusional, titah atau restu raja Malaysia merupakan kata akhir untuk persoalan urgen dan vital seperti pergantian tampuk kepemimpinan.

Namun ada beberapa isu yang mengganjal dan berpotensi menjadi bom waktu. Antara lain, sebagaimana dipersoalkan kubu Pakatan Harapan dan kalangan media serta aktivis prodemokrasi Malaysia, berapa jumlah pasti dukungan mayoritas parlemen untuk penentu kemenangan Muhyiddin tersebut masih misterius dan terkesan dirahasiakan.

Demikian juga restu dari Yang Dipertuan Agung yang merupakan putusan final dan penentu dalam sistem monarki konstitusional Malaysia dianggap cenderung bias kepentingan karena raja Malaysia tersebut dianggap punya interes politik sendiri dan lebih suka melihat tampilnya tokoh bumiputera yang dianggap lebih menjunjung supremasi pribumi Malaysia seperti Muhyiddin Yasin alih-alih Dr. M atau Anwar Ibrahim yang dianggap lebih dekat dan akomodatif dengan kalangan non-Melayu, seperti India dan Tionghoa.

Selain itu, juga meluasnya kekhawatiran di kalangan rakyat Malaysia yang multi-etnis akan pudarnya warna pemerintahan Malaysia yang ramah akan keberagaman etnis dan agama yang selama ini dijunjung oleh pemerintahan Pakatan Harapan.

Membayang ketakutan akan kembalinya warna dominan supremasi pribumi yang cenderung intoleran terhadap keberagaman Malaysia (sebagaimana di era rezim Barisan Nasional) di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Muhyiddin Yasin yang diusung koalisi Perikatan Nasional, yang nota bene adalah reinkarnasi dari Barisan Nasional.

Namun, bagaimanapun lika-likunya, di akhir cerita babak kedua ini, Muhyiddin Yasin, yang pernah menjabat Menteri Dalam Negeri di era pemerintahan Pakatan Harapan (2018-2020) dan Wakil Perdana Menteri di era PM Najib Razak dari Barisan Nasional (2009-2015), adalah figur politisi ulung yang tercatat sebagai pemenang pertarungan politik terkini di Malaysia dan telah resmi menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia untuk periode 2020-2025.

Sejarah telah mencatatnya. Dan tentu sejarah juga akan mencatat kelak bagaimana akhir cerita babak selanjutnya karena kabarnya Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim dengan gerbong koalisi Pakatan Harapan yang tersisa (termasuk faksi Muhriz Mahathir yang juga putera Dr. M di tubuh Partai Bersatu yang kini dipimpin Muhyiddin Yasin) bersiap-siap akan melakukan perlawanan konstitusional parlementer.

Dalam hal ini, minimnya upaya penggunaan kekuatan massa ekstra-parlementer dalam perpolitikan Malaysia, tentu layak diapresiasi dan patut ditiru.

Berbeda dengan Indonesia di mana mobocracy (demokrasi berbasis kekuatan massa), yang cenderung lebih berdampak luas pada sektor perekonomian dan berdampak risiko kerusakan dan korban jiwa lebih besar, kerap dianggap sebagai jalan penentu keberhasilan negosiasi politik ketimbang adu kelihaian taktik politik, kecanggihan argumentasi debat dan kegesitan diplomasi.

Tentunya dengan mengesampingkan faktor politik uang yang bersifat transaksional yang menyuburkan praktik pencari rente yang membahayakan kualitas demokrasi yang sehat dan beradab.

Dalam konteks perpolitikan Indonesia, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari drama "kudeta konstitusional" di negara jiran tersebut. Antara lain, betapa politik itu sangat cair dan dinamis. Terbukti betul adagium klasik bahwa "dalam politik tak ada seteru atau sekutu abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi".

Kita lihat betapa legowonya Anwar Ibrahim, yang pernah dipenjarakan Mahathir dengan tuduhan kasus sodomi (liwath) dengan asisten pribadinya selama belasan tahun tanpa peradilan yang adil dengan perlakuan yang kerap diskriminatif bahkan membahayakan fisik dan jiwanya, bersedia bersekutu dan mengikat janji dengan bekas mentor sekaligus bekas seterunya itu demi suatu tujuan, menggulingkan Barisan Nasional.

Demikian juga sebaliknya dengan Mahathir Mohammad, yang dapat digolongkan sebagai pendiri UMNO dan Barisan Nasional pada 1980-an, yang rela turun gunung dari rehat panjangnya di dunia politik guna melawan entitas politik dan para murid binaannya sendiri.

Ini jelas bukan perkara mudah, terutama secara fisik dan emosional, bagi seorang politisi berusia 92 tahun saat itu yang semasa mudanya dijuluki The Little Soekarno oleh pers Barat.

Alhasil, dalam hal itu, agak aneh sebetulnya terkait fenomena kebaperan para politisi Indonesia yang sampai enggan untuk sekadar berjabat tangan dengan lawan politiknya atau sekelompok politisi medioker lokal yang getol mengejek secara personal seorang pejabat publik yang dianggap oposan dengan sebutan "idiot", "onta", dan "wanabud" atau sebutan rasialis lainnya.

Bukankah sewaktu-waktu mereka justru akan memerlukan berkoalisi dengan lawan politik atau oposan tersebut pada suatu momen tertentu dan untuk kepentingan tertentu, seperti pilkada atau pilpres, misalnya?

Karena sejatinya politik adalah seni kemungkinan (politics is the art of possibilities), dan para politisi harus mumpuni merajutnya dengan tekun dan sabar seiring waktu dan tak bisa secara instan atau sekonyong-konyong.

Dalam hal inilah para politisi milenial perlu belajar dari ketangkasan dan kesabaran mantan wapres Jusuf Kalla (JK) dan almarhum Taufiek Kiemas (politisi senior PDIP yang juga suami Megawati Soekarnoputri) dalam menjaga hubungan perkawanan dan silaturahmi sehingga bisa diterima kawan maupun lawan politik untuk memecahkan kebuntuan masalah politik melalui jalan damai tanpa serangan personal apalagi gontok-gontokan fisik.

Back to laptop, di sisi lain, kita lihat juga betapa tak terduganya seorang Muhyiddin Yasin, yang dikenal selama bertahun-tahun sebagai figur politisi pemalu yang tak banyak bicara serta lebih banyak sebagai tokoh di belakang layar yang juga murid serta orang kepercayaan Mahathir, tega berlaku bagai Brutus terhadap guru politik sekaligus mantan bosnya sendiri, Mahatir Mohammad, juga demi suatu tujuan yakni kekuasaan. Ternyata diam-diam tak hanya menghanyutkan, tetapi juga membinasakan.

Inilah drama Game of Throne (GoT) versi dunia nyata!

 

Sebetulnya di dunia politik Indonesia, dalam skala kedinamisan dan tingkat "ketegaan" yang berbeda, kita juga punya banyak contoh serupa. Silakan Anda susun sendiri daftarnya.

Last but not least, satu pelajaran terakhir yang patut diperhatikan adalah kita perlu menyusun barisan alih-alih kerumunan. Kita memerlukan adanya konsolidasi kekuatan demokrasi dan reformasi yang kuat dan tertata rapi dengan agenda tepat sasaran dan sistematis untuk menghadang bangkitnya anasir anti-perubahan untuk melakukan perlawanan balik.

Dalam konteks kekinian di Indonesia, "keberhasilan" direvisinya UU KPK yang berakibat pelemahan institusi dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di tanah air adalah contoh terang benderang lemahnya kubu kekuatan reformis menghadapi serangan balik (fight back) dari kubu koruptor dan para komponen pendukungnya yang tersebar di jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

"Kebaikan yang tercerai berai akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi dengan baik," demikian pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib, salah seorang sahabat dekat sekaligus menantu Nabi Muhammad, yang, semasa menjabat sebagai khalifah, syahid (gugur) terbunuh karena pengkhianatan bekas pengikutnya.

Read 615 times