Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona (1)

Rate this item
(0 votes)
Wajah Dunia Setelah Pandemi Corona (1)

 

Wabah virus Corona (COVID-19) yang terdeteksi pertama kali di kota Wuhan, Cina pada November 2019, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Rutinitas kehidupan di negara-negara terganggu dan menciptakan masalah serius di bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Penyebaran virus Corona dipandang sebagai krisis terburuk setelah pandemi wabah Flu Spanyol pada 1918 dan akan membawa efek besar pada tren global, sehingga periode setelah berakhirnya wabah ini dapat disebut sebagai era pasca Corona.

Manusia belum pernah menyaksikan penyakit dengan tingkat penyebaran secara cepat di tingkat global. Dunia sekarang menghadapi pengalaman yang belum pernah ada dalam 100 atau 200 tahun terakhir dan ini telah mempengaruhi semua sektor.

Dengan mewabahnya COVID-19 di era globalisasi, revolusi komunikasi dan informasi, serta interkoneksi negara dan blok-blok regional satu sama lain, dunia sekarang menyaksikan sebuah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini dapat disebut sebagai periode Corona.

Saat ini hal yang menjadi perhatian para pemikir dan pakar internasional adalah tren dunia setelah berakhirnya Corona, yang mulai menampakkan dirinya di berbagai ranah politik, sosial, ekonomi, dan kancah internasional. Dalam pandangan mereka, dunia pasca-Corona akan sangat berbeda dari sebelumnya.

Menurut Sekjen Hizbullah Lebanon Sayid Hassan Nasrallah, efek dari wabah virus Corona lebih besar ketimbang dampak dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Lebih jauh lagi, dengan krisis ini, tatanan dunia baru dapat muncul, karena apa yang terjadi telah menerpa seluruh dunia, dan sekarang kita menghadapi perdebatan budaya, agama, ideologis, dan filosofis. Kita tidak tahu apakah Amerika Serikat akan tetap bersatu? Atau apakah Uni Eropa akan tetap ada?

Pandemi Corona telah mengganggu kehidupan normal dan roda perekonomian negara-negara serta ekonomi global. Wabah ini juga telah menyingkap tingkat kesiapan dan kesigapan pemerintah dalam menghadapi krisis. Pandemi ini tampaknya akan mengarah pada perubahan permanen terhadap tren saat ini di bidang kekuatan politik dan ekonomi.

Situasi politik dan sosial dunia pasca Corona akan memiliki banyak perbedaan dengan kondisi saat ini. Pada dasarnya, wabah COVID-19 telah mempengaruhi semua lini kehidupan sosial manusia.

Sebenarnya krisis saat ini menuntut kerja sama regional dan internasional, tapi negara-negara dunia memilih pendekatan internal dalam menyikapi wabah ini. Langkah ini secara perlahan memperlebar jurang pemisah antar-negara dan meningkatkan divergensi di tengah blok-blok regional seperti Uni Eropa.

Ilustrasi virus Corona COVID-19.
Dosen hubungan internasional di Universitas Harvard, Amerika, Stephen Walt menuturkan pandemi Corona akan memperkuat peran pemerintah dan nasionalisme. Pemerintah – dengan semua bentuknya – mengambil tindakan darurat untuk mengelola krisis dan kemungkinan akan terus melakukannya demi kepentingan mereka sendiri setelah berakhirnya krisis ini.

Sebuah realitas pahit di Eropa – setelah berakhirnya wabah Corona – mulai terlihat bagi banyak warga Eropa, di mana negara-negara Eropa bergerak sendiri-sendiri dan tidak mengambil tindakan kolektif dalam melawan wabah COVID-19 ini.

Dengan demikian, motto Uni Eropa yaitu Bersatu dalam Keragaman dan tuntutan kolektif yaitu kerja sama untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan, akan menjadi perhatian selama berpotensi merusak keamanan nasional dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota.

Presiden Prancis Emmanuel Macron memperingatkan bahwa proyek-proyek utama Uni Eropa, termasuk zona tanpa-perbatasan (Schengen), bisa berada dalam bahaya jika negara-negara gagal menunjukkan solidaritas.

"Yang dipertaruhkan adalah kelangsungan hidup proyek Eropa. Risiko yang kita hadapi adalah kematian Schengen," tegas Macron selama pertemuan via video conference dengan para pemimpin Eropa.

Pandemi virus Corona juga menyingkap kelemahan kinerja pemerintah di banyak negara dalam mengelola krisis, terutama pemerintahan Trump di Amerika.

Di awal penyebaran COVID-19 di AS, Presiden Donald Trump meremehkan wabah virus ini dan tidak mengambil tindakan yang cukup untuk mencegah penyebarannya. AS sekarang mencatat kasus tertinggi infeksi virus Corona di dunia. Hal ini telah mengurangi kepercayaan publik kepada pemerintah khususnya di AS dan Eropa. Ini juga akan berpengaruh pada legitimasi pemerintah di masa depan.

Di saat yang sama, dapat diprediksi bahwa periode setelah wabah Corona, masalah privasi semakin tidak diperhatikan karena pengawasan pemerintah terhadap dunia maya akan meningkat.

Kelompok hak digital nirlaba, Electronic Frontier Foundation (EFF) dalam sebuah pernyataan mengatakan, "Pemerintah menginginkan pengawasan yang luar biasa untuk mengatasi COVID-19. Wewenang ini berpotensi melanggar privasi kita, mengurangi kebebasan berekspresi, dan sangat memengaruhi kelompok-kelompok yang rentan."

Pandemi Corona akan mempercepat kemungkinan runtuhnya demokrasi Barat di Eropa, yang sudah memikul banyak beban. Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa menyaksikan krisis pengungsi, pertumbuhan kubu sayap kanan, penuaan penduduk, dan krisis ekonomi. Persoalan ini telah menggoyahkan fondasi Eropa yang bersatu.

Kelemahan Uni Eropa dalam menangani secara efektif wabah virus Corona, berpotensi menciptakan kerusuhan sosial di benua itu dan memberikan sinyal dari kehancuran integrasi Eropa. Situasi ini akan membuat partai-partai anti-Uni Eropa berkuasa. Jadi, bukan lagi sebuah ilusi jika suatu hari nanti politisi sayap kanan seperti Marine Le Pen berkuasa di Prancis atau Mateo Salvini di Italia.

Perkembangan ini akan melemahkan integrasi di Uni Eropa dan setelah Inggris keluar dari organisasi itu, beberapa negara lain khususnya Italia juga berpotensi meninggalkan Uni Eropa setelah berakhirnya pandemi Corona.

Di Amerika juga seperti Eropa, pandemi Corona akan mempercepat sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah federal dalam mengendalikan dampak ekonomi dan sosial akibat wabah COVID-19. Menurut beberapa analis Amerika, ini akan mengarah pada berlanjutnya kekuasaan Trump.


Pada 2016, Trump berhasil berkuasa di Amerika dengan slogan anti-imigran, dukungan untuk sayap kanan, serta kebijakan America First. Dia kemudian mengadopsi kebijakan sepihak dan anti-globalisasi, serta menarik diri dari perjanjian dan organisasi-organisasi regional dan internasional.

Namun, pandemi Corona semakin memperlihatkan kekacauan kebijakan dan pendekatan Trump. Salah satu pakar teori hubungan internasional, Joseph Nye mengatakan, "Virus Corona telah memperlihatkan kelemahan strategi keamanan nasional Trump, AS tidak dapat melindungi keamanannya dengan bertindak sendiri. Bahkan jika Amerika menang sebagai kekuatan besar, ia tidak dapat melindungi keamanannya dengan bertindak sendiri."

Namun Trump jika kembali terpilih sebagai presiden Amerika, kecil kemungkinan akan mengubah pendekatan dan kebijakannya. Padahal pendekatan ini akan semakin memperlemah peran global Amerika.

Menurut Wakil Direktur Institut Internasional untuk Studi Strategis, Kori N. Schake, Amerika tidak lagi dikenal sebagai pemimpin dunia. Krisis wabah Corona menunjukkan bahwa Washington telah gagal dalam ujian kepemimpinan global.

Di era pasca-Corona, kerja sama global kemungkinan akan melemah dan persaingan di antara kekuatan besar di kancah internasional akan meningkat. Wabah flu Spanyol pada 1918 tidak dapat mengakhiri rivalitas kekuatan besar, demikian juga dengan wabah COVID-19. Pada saat yang sama semangat globalisasi akan semakin melemah.

Sebagian pengamat percaya bahwa kurangnya soliditas dunia dalam merespon pandemi Corona adalah hasil dari pendekatan pemerintahan Trump serta semakin banyaknya pemimpin nasionalis dan populis di seluruh dunia.

Singkatnya, kombinasi dari virus mematikan, perencanaan yang tidak matang, dan kepemimpinan yang tidak kompeten, akan menempatkan umat manusia pada jalan baru dan mengkhawatirkan.

Ketua Dewan Hubungan Luar Negeri AS, Richard Haass menuturkan, "Dampak dari pandemi Corona adalah banyak negara akan kesulitan untuk pulih dari krisis, bertambahnya jumlah pemerintah yang tidak berdaya dan lemah di dunia, memperburuk hubungan antara Cina dan AS, memperlemah proses integrasi Eropa, memperbaiki situasi kesehatan global, dan melemahkan semangat globalisasi." 

Read 664 times