Mengapa Pamor AS Semakin Terpuruk Pasca Teror Syahid Soleimani ?

Rate this item
(0 votes)
Mengapa Pamor AS Semakin Terpuruk Pasca Teror Syahid Soleimani ?

 

Instruksi langsung Presiden AS, Donald Trump dalam aksi teror terhadap Syahid Soleimani, Komandan Pasukan Quds Korp Garda Revolusi Islam Iran dan Abu Mahdi Al Muhandes, Wakil Ketua Al-Hashd Al-Shaabi Irak bersama sejumlah orang lainnya di bandara Baghdad yang terjadi 3 Januari 2020, sejak awal telah menyulut protes dan kecaman di seluruh dunia yang terus berlanjut hingga kini.

Pelapor Khusus PBB mengenai kasus pembunuhan Letjen Syahid Soleimani, Agnes Callamard dalam laporan yang disampaikan 6 Juli lalu, menyebut aksi militer AS tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia menilai tindakan militer AS terhadap Syahid Soleimani di luar proses hukum, tergesa-gesa atau sewenang-wenang. Menurutnya, Amerika Serikat telah gagal memberikan bukti yang cukup untuk mendukung klaimnya bahwa Soleimani merupakan ancaman yang akan terjadi.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan televisi Al-Mayadeen pada 12 Juli, Agnes Callamard menegaskan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Piagam PBB dengan membunuh Letjen Soleimani. Pejabat PBB ini memandang tindakan Amerika Serikat membunuh seorang pejabat tinggi di negara ketiga pada Januari 2020 sebagai aksi berbahaya di arena internasional.

Callamard menyebut pembunuhan itu sebagai "pelanggaran terhadap semua prinsip", dan mengatakan bahwa Amerika Serikat telah mengubah definisi "bahaya yang akan terjadi" , padahal faktanya Letjen Soleimani bukan bahaya yang akan segera terjadi bagi Amerika Serikat.

Pejabat PBB ini mengatakan, "Pembunuhan Jenderal Soleimani merupakan masalah penting dalam dua tingkat hukum. Ini adalah masalah hukum internasional dan hubungan internasional. Jika seorang pejabat berpangkat tinggi di salah satu negara demokratis dibunuh dengan cara ini, saya pikir ini akan menjadi tindakan konfrontatif yang mengarah deklarasi perang, dan kemungkinan demikian sangat tinggi,".

Callamard menekankan, "selama empat atau lima tahun terakhir, Jenderal Soleimani memainkan peran yang efektif dan penting dalam perang melawan ISIS yang disebut Dewan Keamanan PBB sebagai kelompok teroris." 

Laporan Callamard disambut dengan reaksi keras dari Amerika Serikat. Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus dengan nada marah mengkritik laporan PBB dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.

Pentagon mengakui aksi pembunuhan Jenderal Soleimani dan rombongannya diperintahkan langsung oleh Donald Trump. Dalih Trump untuk menjustifikasi tindakan kriminalnya dengan menyebut Jenderal Soleimani memasuki Irak guna merencanakan serangan terhadap Amerika dan pangkalannya, sehingga  serangan udara AS adalah tindakan pencegahan.

Namun, pejabat tinggi Irak membantah tuduhan tersebut. Perdana Menteri Irak waktu itu, Adel Abdul-Mahdi mengumumkan dalam sidang parlemen 5 Januari bahwa Jenderal Soleimani  tiba di Baghdad untuk menyampaikan pesan Iran dan menanggapi surat Saudi, yang sebelumnya sudah disampaikan ke Tehran dari Baghdad. Dengan demikian, klaim Washington jelas dibuat-buat, dan kemudian terungkap bahwa pemerintahan Trump telah berencana untuk membunuh Jenderal Soleimani selama sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Faktanya, banyak bukti dan pernyataan pejabat senior AS yang menunjukkan bahwa Washington telah membuat keputusan ini selama berbulan-bulan dan hanya mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana jahat ini. Pada 13 Juni 2020, NBC melaporkan bahwa Trump telah mengeluarkan perintah pembunuhan Syahid Soleimani pada Juni 2019, tujuh bulan sebelumnya. Keputusan ini keluar tidak lama setelah jatuhnya pesawat Global Hawk AS oleh pertahanan udara Iran.

Pada pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang berlangsung Kamis (9/7/2020) para anggota dewan ini mengumumkan posisi mereka mengecam serangan drone yang dilancarkan militer AS terhadap Syahid Soleimani dan menilai aksi teror itu berada luar aturan internasional. Pertemuan ini kembali menunjukkan kegagalan lain bagi pemerintahan Trump yang semakin terkucil di arena global.

Tanggapan para anggota Dewan HAM PBB muncul setelah investigator khusus PBB, Agnes Callamard menyampaikan laporannya mengenai aksi terorisme yang dilakukan AS terhadap Iran di negara lain. Pada pertemuan itu, Callamard membacakan laporan tentang pembunuhan Syahid Soleimani dan rekan-rekannya yang diterbitkan dua hari sebelumnya. "Beberapa negara dan kekuatan non-negara menggunakan pesawat tanpa awak di seluruh dunia, sementara tidak ada kriteria yang mengatur penggunaannya," kata laporan itu.

Mengenai pembunuhan Syahid Soleimani, Callamard mengungkapkan, "Seorang pejabat tinggi pemerintah Iran menjadi sasaran, padahal ia pejabat suatu negara yang berdaulat. Operasi pembunuhan Soleimani belum pernah terjadi sebelumnya dalam konteks konflik bersenjata,". Menurutnya, pembunuhan Letjen Syahid Soleimani pertama kali dilakukan sebuah negara yang menggunakan prinsip pertahanan diri untuk membenarkan serangan terhadap pejabat pemerintah lain di wilayah negara ketiga, yang termasuk kategori tindakan ilegal.

Masalah yang disoroti para anggota Dewan HAM PBB dari laporan Callamard mengenai urgensi pengendalian operasi drone demi menghindari pembunuhan yang melanggar standar internasional. Callamard menyebut pengerahan drone di seluruh dunia menjadi masalah yang sangat berbahaya bagi keamanan internasional, dan acapkali kesalahan dalam operasi yang dilakukan dengan drone militer. Pernyataannya ini juga menunjuk ke arah jejak kelam penggunaan drone dalam operasi militer AS sejak kepresidenan Barack Obama yang dilakukan di sejumlah negara dunia.

Berbagai serangan yang dilakukan dengan dalih memerangi terorisme sejauh ini telah membunuh banyak warga sipil, dan Washington terus berusaha membenarkan aksi mereka dengan mengklaim bahwa masalah itu sebagai efek samping belaka. Perwakilan Uni Eropa di Dewan HAM PBB mengkritik masalah ini dengan mengatakan bahwa penggunaan drone dalam operasi pembunuhan tidak dapat dibenarkan dan tidak bisa diterima.

Masalah sentral dari pembunuhan Letjen Soleimani dilakukan pemerintahan Trump tanpa sepengetahuan atau izin pemerintah Irak dengan melancarkan serangan drone, padahal ia merupakan tamu dari pemerintah Irak dan membawa pesan dari negaranya untuk Perdana Menteri saat itu Adel Abdul-Mahdi. Serangan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Irak dan termasuk tindakan ilegal.

Poin penting lainnya mengenai banyaknya anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang menyebut langkah AS itu ilegal, mengindikasikan bahwa Washington telah gagal meyakinkan masyarakat internasional untuk membenarkan tindakan kriminalnya.

"Pembunuhan  Jenderal Soleimani oleh Amerika Serikat adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB," kata utusan Kuba. Bahkan pihak Eropa yang menjadi mitra Washington menolak untuk membenarkan langkah pemerintahan Trump. Perwakilan Belanda di PBB mengatakan, "Operasi pembunuhan ini berada di luar kerangka hukum yang menimbulkan risiko besar di tingkat internasional,".

Laporan investigator Khusus PBB dan para anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang ilegalnya aksi militer AS dalam pembunuhan Syahid Soleimani dan rombongannya dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintahan Trump adalah pelanggar utama hukum dan aturan internasional, dan kini negara ini semakin terkucil di arena global melebihi sebelumnya.

Setelah pertemuan Dewan HAM PBB, Washington menegaskan kembali tuduhannya terhadap Letjen Syahid Soleimani dan mengkritik laporan Callamard tentang pembunuhan yang dilakukannya. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam cuitan di Twitternya menulis, "Kami menolak laporan palsu Pelapor Khusus PBB tentang kasus pembunuhan Jenderal Iran, Qassem Soleimani dengan UAV. Amerika Serikat senantiasa transparan dalam masalah prinsip-prinsip hukum internasional, dan akan selalu bertindak untuk melindungi Amerika Serikat."

Statemen pejabat tinggi kebijakan luar negeri AS ini menunjukkan dengan jelas ketidakmampuan AS menjawab pertanyaan dasar yang diangkat dalam laporan Callamard, yaitu legalitas pembunuhan Letjen Soleimani. Pompeo tidak merujuk pada hukum dan peraturan internasional yang menjadi dasar bagi Amerika Serikat melancarkan aksi pengecut itu.

Bahkan, ketika seorang pejabat senior PBB secara eksplisit menyatakan bahwa langkah Trump memerintahkan pembunuhan Syahid Soleimani dengan serangan pesawat tak berawak kepadanya sebagai aksi ilegal, Washington tidak bisa menunjukkan tindakannya legal. Satu-satunya alasan, Washington selalu memandang dirinya sebagai jaksa, hakim dan perangkat hukum lainnya yang mengatur dunia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Washington hanya mengandalkan kekuatan militer dan ekonominya, sehingga bisa mengambil tindakan apapun demi kepentingannya sendiri dan tidak memperhatikan hukum dan norma internasional serta Piagam PBB.(

Read 609 times