Memperingati Hari Perang Melawan Terorisme

Rate this item
(0 votes)
Memperingati Hari Perang Melawan Terorisme

 

Tanggal 8 Shahrivar (kalender nasional Iran) yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 29 Agustus 2020, mengingatkan rakyat Iran tentang kesyahidan Presiden dan Perdana Menteri Iran kala itu, Rajaei dan Bahonar, di awal kemenangan Revolusi Islam Iran oleh kelompok teroris Munafikin.

Teror ini terjadi pada tanggal 8 Shahrivar 1360 Hijriah Syamsiah atau 30 Agustus 1981, dua bulan pasca gugurnya Ayatullah Sayid Mohammad Hosseini Beheshti bersama 72 tokoh politik anggota Partai Jomhouri Eslami dalam peledakan bom di kantor partai ini pada 28 Juni 1981.
 
Selama dua dekade, pemerintah Amerika Serikat menaungi kelompok teroris Munafikin di bawah payung dukungan dana, dan politik, serta mendukung aksi terornya terhadap warga Iran. Kelompok teroris ini berusaha menyingkirkan tokoh-tokoh penting, dan pendiri Republik Islam Iran sehingga dengan menciptakan kekosongan pada pilar sensitif negara, ia bermaksud membuka kemungkinan keruntuhan Republik Islam Iran.  
 
Raymond Tanter mantan anggota Dewan Keamanan Nasional Amerika, dan salah satu pendukung Munafikin yang menulis buku terkait pergerakan kelompok ini dengan maksud mengeluarkannya dari daftar pendukung terorisme mengatakan, mereka adalah opsi yang lebih baik daripada sanksi dan perang untuk membantu memajukan program Amerika terkait Iran. 
 
Pandangan ini menunjukkan bahwa apa yang penting bagi Amerika adalah meraih tujuan dengan cara apapun, bahkan jika harus mendukung sebuah kelompok teroris sekalipun. Amerika menyebut segala bentuk intervensi dan upaya mengganggu keamanan Iran dan kawasan serta pendudukan seperti di Afghanistan dan Irak, sebagai upaya menciptakan keamanan kawasan.
 
Pejabat Amerika dalam kerangka kebijakan yang mereka sebut perang melawan terorisme, terus menerus melakukan penyimpangan realitas, dan menuduh Iran mengacaukan kawasan serta mendukung terorisme. Tujuannya untuk mencitrakan positif Amerika di kawasan dan dunia, padahal substansi nyata perilaku Amerika adalah memproduksi perang, ketidakamanan dan terorisme, serta membidani lahirnya Al Qaeda dan Daesh.
 
Berdasarkan bukti yang ada, pemerintah Amerika dalam rekam jejaknya, tercatat mendukung aksi teror Munafikin.  Dukungan Amerika terhadap kelompok teroris Munafikin hanyalah satu contoh dari standar ganda Barat dalam menyikapi terorisme.
 
Pasukan Amerika dengan dalih perang melawan terorisme, dikerahkan ke lebih dari 80 negara dunia. Hasil kajian Universitas Brown pada tahun 2018 menunjukkan, Amerika dengan dalih memerangi terorisme, memperluas kehadiran militernya di lebih dari 40 persen negara dunia.
 
Pertanyaannya apakah kehadiran militer Amerika ini berhasil menurunkan aktivitas teror ?
 
Jawabannya tidak. Intervensi militer Amerika pasca serangan 11 September, dan apa yang disebutnya sebagai perang melawan terorisme, justru menyebabkan terorisme menyebar luas di dunia dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 2001, Amerika menduduki Afghanistan dengan dalih perang melawan Al Qaeda. Tiga tahun kemudian Amerika menyerang Irak. Perang yang berlangsung selama 7 tahun ini membawa kerugian besar bagi rakyat Irak, dan pasukan Amerika selama 7 tahun melakukan semua jenis kejahatan di negara itu. Afghanistan dan Irak yang rencananya dibersihkan dari para teroris, justru berubah menjadi tempat lahirnya kelompok teroris Daesh.
  
Noam Chomsky analis politik Amerika sempat bertanya, apakah yang diinginkan Amerika adalah menyuburkan terorisme atau memberantasnya ? Ia menjelaskan, jika ingin memberantas terorisme maka pertama Amerika harus bertanya mengapa terorisme muncul ? Apa sebab-sebab utama kemunculan terorisme, dan apa akar terdalamnya ? kemudian berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.  
 
Seiring dengan naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan, aktivitas kelompok-kelompok teroris, dan kejahatan Amerika bentuknya semakin beragam. Tidak diragukan dukungan Amerika atas terorisme merupakan bagian dari strategi Washington untuk mengintervensi kawasan, dan memukul Iran. Sebagian kejahatan ini tampak dalam bentuk sanksi ekonomi, dan Iran salah satu target terorisme ekonomi Amerika.
 
Pada bulan Januari 2020, Amerika melakukan sebuah kejahatan besar, ia meneror Komandan Pasukan Qods, IRGC, Letjend Qassem Soleimani, dan sekali lagi berusaha mengacaukan kawasan dengan aksi teror semacam ini. Pada 3 Januari 2020 dinihari kendaraan yang membawa Jenderal Soleimani bersama 10 orang lain termasuk wakil Komandan Hashd Al Shaabi Irak, Abu Mahdi Al Muhandis, yang datang ke Irak atas undangan resmi pemerintah negara itu, diserang drone militer Amerika sehingga menyebabkan seluruh penumpangnya gugur.
 
Amerika dalam teror ini menyasar para komandan militer yang selama bertahun- tahun telah memberikan pukulan telak kepada kelompok teroris Daesh. Membalas teror ini, Iran pertama menyerang pangkalan militer Amerika, Ain Al Assad di Irak, yang merupakan pangkalan militer terbesar dan terpenting Amerika di Irak.
 
Transformasi politik dalam beberapa tahun terakhir di kawasan menunjukkan bahwa kekuatan imperialis terutama Amerika menggunakan terorisme dan ekstremisme sebagai alat untuk mencapai tujuannya.Sementara Iran sejak 41 tahun lalu terus menjadi korban utama terorisme, dan ekstremisme, dan dengan 17.000 korban terorisme, ia menjadi negara yang paling bertekad untuk memerangi dan menumpas terorisme. Ditetapkannya tanggal 8 Shahrivar sebagai Hari Melawan Terorisme juga masuk dalam kerangka ini.
 
Tekad dunia untuk memerangi terorisme banyak mengalami pasang surut. Hal ini akan menjadi jelas jika kita merunut sejarah. Pada 10 Desember 1934 Liga Bangsa-bangsa secara aklamasi mengesahkan sebuah resolusi yang menegaskan bahwa semua negara harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencegah aksi teror, dan bekerjasama dengan negara lain dalam hal ini. Resolusi tersebut menghasilkan sebuah konvensi yang disebut Konvensi Pencegahan dan Hukuman atas Terorisme yang disahkan pada 10 Desember 1937.
 
Konvensi ini menyimpulkan terorisme dalam sebuah kerangka umum. Berdasarkan kesepakatan Jenewa tahun 1937, terorisme didefinisikan hanya pada upaya seorang individu melawan sebuah negara atau pemerintahan. Satu-satunya kekhususan kesepakatan ini adalah menjelaskan kejahatan secara definitif, dan menentukan objeknya secara langsung  sebagai bentuk terorisme.
 
Upaya ini dipengaruhi pecahnya perang dunia kedua, dan situasi perang, sehingga tidak membuahkan hasil yang jelas. Pasca pendirian PBB, isu terorisme kembali dibahas di komisi hukum internasional. Komisi ini menyusun hak dan kewajiban setiap negara dalam statemennya. Dengan demikian selama tahun 1947-1955, upaya ini menghasilkan resolusi 1186 yang disahkan di Majelis Umum PBB terkait agresi dan terorisme. Meskipun demikian, terorisme masih terjadi secara luas, dan lahir dalam berbagai bentuk yang baru. 
 
Perubahan masyarakat internasional pasca perang dingin di sejumlah negara dipengaruhi oleh negara-negara adidaya, dan pemenang perang, sehingga mereka menghadapi permasalahan baru, sementara upaya PBB untuk mengidentifikasi perbuatan yang masuk kategori terorisme, tidak begitu tampak. Fenomena ini terus berlangsung bersamaan dengan upaya memecah belah sebagian kawasan Asia Barat, termasuk pecah belah Palestina oleh Zionis. Di masa ini, teror dan ketakutan yang dirasakan ribuan pengungsi Palestina memberikan gambaran baru kepada penduduk dunia tentang terorisme dalam bentuk baru dengan tujuan pendudukan dan penjajahan.
 
Zionis berusaha menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat Palestina, dan kelompok penjahat seperti Haganah terus melakukan pembunuhan mengerikan terhadap warga Palestina, termasuk aksi pembantain Deir Yassin yang terkenal itu. Pasca berdirinya rezim Zionis Israel, terorisme dalam bentuk yang lebih nyata melayani Israel dalam meraih ambisinya. Zionis melakukan teror dalam berbagai aksi seperti serangan bersenjata, pembunuhan massal dan semacamnya. Aksi ini terus meluas di saat resolusi anti-teror PBB dan konvensi-konvensi identifikasi terorisme tidak mampu menghukumi aksi tersebut sebagai terorisme.
 
Satu-satunya langkah yang dinilai cukup berarti dalam hal ini terjadi di tahun-tahun terakhir dekade 90-an, sebuah resolusi disahkan di Majelis Umum PBB pada 11 September 1995. Dalam resolusi itu dicantumkan urgensi keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam memerangi terorisme, jika perdamaian dan keamanan internasional terancam. Meski demikian sampai tahun 1999 DK PBB masih memandang terorisme secara kasuistik. Di tahun ini DK PBB untuk pertama kalinya menerbitkan resolusi yang berdimensi konsultasi terkait terorisme. Akan tetapi teror 11 September 2001, membuka kesempatan baru bagi Amerika untuk menyalahgunakan izin DK PBB guna melakukan aksi pencegahan atas nama perang melawan terorisme. Langkah pertama dalam hal ini dilakukan Amerika dengan menyerang Afghanistan, dan menduduki negara itu. 
 
Tapi tak lama kemudian kebijakan ganda Barat terkait kelompok teroris semakin tampak nyatanya, dan dengan munculnya fenomena baru terorisme yang diwakili Al Qaeda dan Daesh, semakin jelas bahwa Barat tidak berniat sama sekali untuk memerangi terorisme. Kenyataanya ini menyebabkan terorisme menjadi masalah global, dan ancaman luas serta destruktif bagi ketenteraman dan keamanan nasional juga internasional.
 
Pada kenyataannya, standar ganda Barat terkait terorisme justru membuka peluang penyebaran teror dan pembunuhan di level global sehingga terorisme sampai sekarang tetap menjadi ancaman dunia, dan keamanan bangsa-bangsa. Amerika dengan penipuan publik yang dilakukannya, bukannya memerangi terorisme, malah mendukung teroris dan menuduh negara lain mendukung terorisme. Padahal sumber ketidakamanan kawasan dan dunia adalah terorisme dukungan Amerika dan sekutu-sekutu regionalnya.
 
Oleh karena itu alasan perang melawan terorisme membutuhkan visi global. Tanggal 8 Shahrivar yang dalam kalender Iran ditetapkan sebagai Hari Perang Melawan Terorisme, merupakan kesempatan dalam hal ini. 

Read 622 times