15 September; Hari Kemarahan Rakyat Arab atas Penguasa Kompromi

Rate this item
(0 votes)
15 September; Hari Kemarahan Rakyat Arab atas Penguasa Kompromi

 

Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menandatangani perjanjian damai dengan rezim Zionis di Gedung Putih hari Selasa (15/09/2020), sementara kemarahan bangsa-bangsa Muslim terhadap pengkhianatan ini semakin meningkat.

Menteri Luar Negeri UEA dan Bahrain secara resmi menandatangani perjanjian damai dengan rezim Israel Selasa, 15 September, bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.

"Hari ini adalah hari hitam dalam sejarah bangsa Arab dan deklarasi kekalahan Liga Arab. Liga Arab tidak lagi menjadi persatuan dan telah menjadi faktor perpecahan dan penghancuran solidaritas Arab. Hari ini ditambahkan ke kalender penderitaan Palestina dan catatan kekalahan Arab," kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh
Protes terhadap tindakan pengkhianatan ini tidak terbatas pada level Otorita Palestina, tetapi juga pada masyarakat dan faksi-faksi Palestina, serta masyarakat dan aktivis sipil di berbagai negara Islam. Kelompok-kelompok Palestina menyatakan 15 September sebagai hari kemarahan publik atas perjanjian pengkhianatan itu, dan menyebut Jumat depan sebagai hari berkabung publik.

Di negara lain, orang telah menggunakan dunia maya untuk mengungkapkan kemarahan mereka terhadap penguasa UEA dan Bahrain yang berkompromi. Beberapa aktivis masyarakat sipil di media sosial menyebut aksi UEA dan Bahrain sebagai mempertanyakan "kehormatan Arab."

Beberapa orang menyebut langkah tersebut sebagai "kemunduran" dari UEA dan Bahrain, dan mengejek klaim Arab Saudi atas kepemimpinan di dunia Arab, karena Riyadh, meskipun belum mengumumkan perjanjian dengan rezim Zionis, memiliki hubungan rahasia yang luas dengan rezim tersebut. Di sisi lain, kesepakatan antara UEA dan Bahrain dengan rezim Israel tidak akan tercapai tanpa dukungan Riyadh.

Selain itu, hashtag anti-kompromi seperti "rakyat Bahrain menentang normalisasi hubungan", "negara-negara Arab telah berpaling dari al-Quds", "Palestina dalam darah kita" telah menjadi tren global di dunia maya, dan ini menunjukkan kesenjangan antara Al Khalifah dan rakyat Bahrain berada pada level tinggi.

Reaksi publik yang marah atas pengkhianatan UEA dan Bahrain mengandung beberapa poin strategis.

Pertama, para penguasa UEA dan Bahrain serta beberapa negara Arab lainnya menghadapi sedikit dukungan rakyat. "Para pangeran Arab lebih mementingkan kemewahan dan hiburan daripada penderitaan rakyat Palestina yang tertindas, dan kesepakatan yang memalukan dengan rezim rasis Israel. Hal ini menunjukkan kepribadian para pelaku kesepakatan," tulis Dr. Farooq Hassanat, seorang profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Lahore di Pakistan, di Twitter. Oleh karena itu, perjanjian ini dapat menjadi instrumen yang menekan para penguasa ini dalam jangka panjang.

Kedua, opini publik masih memiliki kekuatan besar. Karena jika bukan karena ketakutan Al-Saud terhadap reaksi publik, Arab Saudi, bersama dengan UEA dan Bahrain, akan mempublikasikan hubungannya dengan rezim Zionis hari Selasa.

Ketiga, Palestina dapat menggunakan kekuatan opini publik di negara-negara Arab dan dunia Islam untuk mengutuk perjanjian pengkhianatan dengan rezim Zionis. Berkaitan dengan hal tersebut, para aktivis Arab melancarkan kampanye di dunia maya untuk menandatangani Piagam Palestina.

Kemarahan rakyat Palestina terkait normalisasi dengan rezim penjajah al-Quds
"Palestina adalah negara Arab yang diduduki, yang pembebasannya adalah kewajiban, dan normalisasi hubungan apa pun dengan rezim Zionis adalah pengkhianatan," kata Piagam Palestina, yang beredar luas secara online.

Kampanye tersebut didukung oleh para aktivis yang menentang normalisasi hubungan dengan rezim Zionis di berbagai negara, termasuk UEA, Arab Saudi, Oman, dan negara-negara Arab lainnya.

Read 582 times