Islamophobia di Barat (1)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (1)

 

Program berseri ini akan menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan fenomena Islamophobia di dunia, khususnya di negara-negara Barat. Seri pertama akan menyelisik tindakan terorisme terhadap warga Muslim di Inggris dan reaksi bias atas insiden itu.

Warga Muslim menjadi korban dalam serangan teroris di London, Inggris pada Juni 2017. Sebuah mobil van pada pada Senin malam (19 Juni 2017) menabrak kerumunan Muslim pejalan kaki setelah usai menunaikan shalat tarawih di Masjid Finsbury Park, London. Serangan ini menewaskan dua orang dan menciderai beberapa lainnya.

Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris, Harun Khan mengatakan pelaku secara sengaja mengarahkan mobilnya untuk melindas para jamaah yang baru saja pulang dari masjid.

Dewan Muslim Inggris menyebut insiden itu sebagai kesengajaan dan terkait dengan Islamophobia. Dewan meminta aparat Inggris untuk memperketat pengamanan di sekitar masjid.

Wali Kota London, Sadiq Khan dalam sebuah pernyataan menyebut penabrakan sebagai serangan teroris mengerikan, yang sengaja ditujukan kepada warga tak berdosa.

Insiden ini memiliki tiga perbedaan dengan tiga peristiwa serangan teror yang terjadi sebelumnya di Inggris. Pertama, berbeda dengan kasus serangan teror lainnya, di sini tidak ada seorang pun yang berbicara tentang agama si pelaku teror. Kedua, Daesh dan kelompok teroris lain tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan terhadap Muslim London.

Dalam kasus serangan teroris sebelumnya di Inggris, komunitas Muslim selalu menjadi tertuduh pertama sebagai pelaku. Tidak berapa lama kemudian, Daesh atau Al Qaeda merilis pernyataan yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.

Tudingan tersebut dan klaim pertanggung jawaban oleh Daesh atau Al Qaeda bertujuan untuk menyebarluaskan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa.

Dan ketiga, sorotan media dan perhatian politisi Inggris yang sangat terbatas terhadap serangan teror di Masjid Finsbury Park.

Polisi Inggris mengepung lokasi serangan teror di London. (Dok)
Serangan teror terhadap jamaah shalat di London berakar pada rasisme, diskriminasi rasial, Islamophobia, dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Eropa. Namun, para politisi, media, dan dinas-dinas intelijen Eropa menganggap radikalisme dalam Islam sebagai penyebab tindakan terorisme di Benua Biru.

Di setiap kasus serangan teror di Eropa, otoritas keamanan menyelidiki latar belakang agama terduga pelaku dan kemudian negara asalnya. Pola penyelidikan seperti ini sejalan dengan kampanye dan penyebaran Islamophobia. Namun, serangan London yang menelan korban dari pihak Muslim sama sekali tidak berbicara tentang agama pelaku atau negara asalnya. Karena serangan teror ini dianggap berbeda dengan kasus-kasus teror lainnya.

Identitas pelaku teror di London adalah seorang pria Kristen Inggris berusia 48 tahun, dan ketika melakukan aksinya dia berteriak, "Aku ingin membunuh semua Muslim."

Lalu, apakah bisa dikatakan agama Kristen sebagai sponsor terorisme hanya karena pelaku serangan itu seorang pemeluk Kristen? Analis mana pun di dunia tidak memberikan analisa seperti ini atas serangan teror terhadap jamaah Muslim di London.

Namun, mengapa negara-negara Eropa dan Barat mengaitkan serangan teroris di Eropa dan dunia dengan ajaran Islam. Dengan propaganda ini mereka menganggap semua Muslim teroris dan bom yang bergerak.

Dinas-dinas intelijen dan keamanan Eropa juga memberikan perlakuan yang berbeda dalam menangani individu Muslim terduga teroris dengan pelaku dari agama lain.

Anehnya lagi, serangan yang dilakukan oleh non-Muslim tidak dianggap sebagai tindakan teroris. Tim psikolog dan kriminolog biasanya langsung dibentuk untuk menyelidiki motif kejahatan, dan akhirnya diumumkan bahwa pelaku serangan mengalami gangguan jiwa. Tetapi, narasinya akan berbeda jika pelaku memiliki identitas Muslim atau berasal dari salah satu negara Islam.

Jadi dalam literatur politik dan media Barat, kata "teroris" dan "terorisme" dikaitkan dengan individu Muslim dan Islam. Kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah, politisi, dan media-media Barat ini sepenuhnya bias dan tendensius.

Insiden serangan terhadap jamaah Muslim di London. (Dok)
Negara-negara Muslim menikmati posisi strategis dari segi geografi, ekonomi, politik, dan budaya di dunia. Sementara itu, negara-negara Barat – pasca runtuhnya Uni Soviet – merasa perlu menciptakan musuh di dunia Muslim untuk menikmati posisi strategis yang istimewa ini dan memperluas pengaruhnya.

Dengan demikian, negara-negara Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dan Inggris mendukung gerakan radikal dan takfiri di negara-negara Muslim Timur Tengah dan Asia Selatan dalam melawan gerakan penuntut keadilan dan anti-hegemoni.

Barat dengan kebijakan ini mencoba merusak citra Islam dan menjustifikasi kebijakan intervensifnya di kawasan dengan dalih memerangi terorisme dan radikalisme. Kebijakan anti-Islam ini bisa dipahami lebih dalam dari pidato Theresa May ketika menjabat sebagai menteri dalam negeri Inggris.

Pada 30 September 2014, May dalam pidatonya setelah pekerja kemanusiaan Inggris, David Haines dibunuh oleh teroris Daesh di Suriah, mengatakan, "Para teroris yang membunuh David Haines suka menyebut diri mereka sebagai Negara Islam. Tetapi saya akan katakan yang sebenarnya; Mereka tidak Islami dan mereka bukan negara. Tindakan mereka sama sekali tidak memiliki dasar dalam apapun yang ditulis dalam al-Quran."

Pernyataan ini menunjukkan bahwa para pejabat Barat memahami dengan baik ajaran Islam yang berlandaskan pada perdamaian dan keadilan. Meski menyadari fakta ini, Barat tetap mendukung gerakan takfiri dan teroris serta rezim-rezim yang mensponsori terorisme.

Kala itu statemen Theresa May tidak memperoleh sambutan dari para pejabat Inggris. Mungkin pernyataan ini dianggap tidak sejalan dengan kebijakan dan tindakan pemerintah Inggris serta beberapa negara Eropa di Suriah dan Irak.

Theresa May tentu saja tidak pernah mengulangi pernyataan tersebut meskipun Daesh mengaku bertanggung jawab atas tiga serangan teror di Inggris. Waktu itu, dia mungkin menyampaikan pidato secara emosional karena kematian mengerikan David Haines dan setelah itu, tidak lagi berbicara tentang kebringasan Daesh.


Dalam pidatonya, May juga menyinggung poin lain yang mengindikasikan pengetahuannya tentang kandungan al-Quran dan ajaran Islam.

"Ideologi kebencian ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Dan itu ditolak oleh mayoritas Muslim di Inggris dan di seluruh dunia. Al-Quran mengatakan, "Wahai manusia! Kami menciptakan Anda dari satu (pasangan) laki-laki dan perempuan, dan membuat Anda menjadi bangsa dan suku, sehingga kamu dapat saling kenal." Jadi, biarkan pesan ini keluar dari aula ini bahwa para ekstremis tidak akan pernah berhasil memecah-belah kita. Biarkan pesan ini keluar bahwa kita tahu Islam adalah agama damai dan itu tidak ada hubungannya dengan ideologi musuh kita. Mari kita berdiri berdampingan dengan Muslim Inggris yang datang bersama dan mengatakan 'bukan atas nama saya.' Kita harus melakukan apa saja untuk mengalahkan ideologi ini dan mencegah radikalisasi kaum muda Muslim Inggris," tegasnya.

Dengan pengetahuannya yang luas tentang ajaran Islam, Theresa May justru menjual senjata milyaran dolar kepada Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang mendukung Daesh dan menyebarkan ideologi terorisme.

Jadi, harus dikatakan bahwa pemerintah Inggris ikut terlibat dalam kejahatan yang dilakukan teroris takfiri mulai di Suriah dan Irak sampai di kota-kota Eropa. 

Read 557 times