Islamophobia di Barat (5)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (5)

 

Islam adalah agama keadilan, perdamaian, dan kasih sayang. Salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam di masyarakat Badui di Jazirah Arab adalah karena kasih sayang dan akhlak mulia Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw dan Ahlul Bait selalu berpesan agar manusia berperilaku baik dan berakhlak mulia antar-sesama. Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada mereka yang bahkan tidak menerima Islam. Beliau selalu menekankan masalah kasih sayang dan persaudaraan.

Ada banyak riwayat yang berbicara tentang perilaku mulia Rasulullah dan Ahlul Bait dengan masyarakat non-Muslim, dan banyak orang memilih masuk Islam karena akhlak mulia ini.

Sekarang setelah 1400 tahun dari kemunculan Islam, sebagian pihak di Barat mencoba memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor radikalisme dan terorisme. Mereka menyebarkan fenomena Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di berbagai penjuru dunia.

Sayangnya, beberapa paham di negara-negara Muslim khususnya Wahabisme di Arab Saudi – yang menafsirkan Islam secara keliru dan bertindak radikal – telah menyediakan amunisi bagi Barat untuk memperkenalkan Islam sebagai agama sponsor kekerasan.

Mereka dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok teroris takfiri seperti Daesh, telah mengabdi kepada para pendukung kampanye Islamophobia di Barat untuk merusak citra Islam. Padahal, Islam murni versi Nabi Muhammad Saw tidak ada hubungannya dengan Islam Daesh dan Wahabisme yang berkuasa di Arab Saudi.

Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris adalah sekutu strategis Arab Saudi. Dengan mendukung kebijakan Riyadh, negara-negara Barat sebenarnya telah membantu kampanye Islamophobia di dunia. Mereka ingin menutupi wajah Islam murni yang menyerukan keadilan, perdamaian, dan kasih sayang; Islam yang menyerukan pada tauhid, menolak penindasan, dan membangun masyarakat berdasarkan keadilan dan perdamaian.

Dampak dari hubungan strategis Barat dan Arab Saudi ini, perilaku kekerasan dan diskriminasi rasial dan agama terhadap warga Muslim di negara-negara Barat mengalami kenaikan.

Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations/CAIR) dalam sebuah laporan menyatakan jumlah kejahatan yang berlatar kebencian anti-Muslim di Amerika Serikat naik 91 persen pada semester pertama tahun 2017 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. CAIR mengatakan kejahatan kebencian telah meningkat sejak 2016, yang merupakan tahun terburuk dalam catatan insiden anti-Muslim sejak kelompok ini memulai sistem pendokumentasiannya pada 2013.

Menurut catatan CAIR, jumlah kasus fanatisme pada paruh pertama 2017 juga naik 24 persen dibandingkan dengan enam bulan pertama 2016.

"Kampanye pemilihan presiden dan pemerintahan Trump telah memanfaatkan kefanatikan dan kebencian, yang akhirnya mendorong penargetan Muslim Amerika dan kelompok minoritas lainnya," kata Zainab Arain, koordinator CAIR yang bekerja untuk memantau dan memerangi Islamophobia.

"Jika tindakan bias yang berdampak pada komunitas Muslim Amerika terus berlanjut, 2017 bisa menjadi salah satu tahun terburuk dalam insiden semacam itu," tambahnya.

CAIR menerangkan bahwa pemicu paling umum dari kasus fanatisme anti-Muslim pada tahun 2017 tetap etnis atau asal kebangsaan korban, terhitung 32 persen dari total kasus kekerasan terhadap Muslim. Sebanyak 20 persen kasus kekerasan terjadi karena seorang individu dianggap Muslim. Jilbab wanita menjadi pemicu 15 persen insiden kekerasan anti-Muslim.

Islamophobia di Eropa terutama di Inggris juga sedang meningkat. Kelompok pemantau Islamophobia di Inggris (Tell MAMA) mengatakan antara Mei 2013 dan Juni 2017, 167 masjid di Inggris menjadi target dalam insiden dan serangan anti-Muslim. Secara keseluruhan, ini sama dengan rata-rata satu kasus serangan terhadap masjid setiap minggu.

Masjid telah menjadi sasaran serangan karena ia adalah simbol yang terlihat dari lembaga-lembaga Islam di masyarakat, titik fokus utama di mana umat Islam berkumpul. Para pelaku terkadang juga percaya bahwa dampak dari tindakan mereka bisa lebih luas daripada hanya menargetkan individu Muslim. Serangan terhadap sebuah masjid mengirimkan sinyal kepada para jamaah bahwa mereka juga menjadi sasaran dan komunitas itu sendiri berada di bawah ancaman.

Tell MAMA mencatat berbagai kasus serangan dan teror terhadap masjid dan pusat-pusat kegiatan Islam di Inggris. Teror tersebut kadang berupa pengiriman surat ancaman, pengiriman serbuk putih, pembakaran yang disengaja, dan pelemparan kepala babi.

Teror terhadap masjid-masjid di Inggris dilakukan secara terorganisir dan kasus terbaru adalah pengiriman serangkaian surat yang mengancam masjid dengan alat peledak. Aksi ini bertujuan menciptakan ketakutan di antara warga Muslim.

Tell MAMA mengatakan bahwa pihaknya telah memeriksa kasus-kasus yang telah dilaporkan kepada mereka, dan ada 167 masjid yang ditargetkan selama empat tahun terakhir, jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi. Beberapa masjid tidak melaporkan insiden serangan dan ancaman kepada polisi atau ke agen pemantau kejahatan pihak ketiga seperti Tell MAMA.

Islamophobia tentu saja tidak terbatas pada serangan fisik terhadap Muslim dan institusi-institusi Islam. Salah satu cara lain adalah penulisan artikel dan buku-buku anti-Islam. Beberapa media di Inggris menyediakan kolom khusus untuk orang-orang yang mendukung kampanye Islamophobia. Mereka juga diberi kesempatan untuk tampil di layar kaca.

Sayangnya, kampanye Islamophobia tidak terbatas di negara-negara Barat, tetapi juga telah menjalar ke Asia dan bahkan Afrika. Pada Juli 2017, penangkapan dua pemuda Singapura atas tuduhan radikalisme telah memicu kembali keprihatinan di kalangan pemuda Muslim bahwa sentimen anti-Muslim di Singapura akan meningkat setelah penahanan itu.

Dalam sebuah forum yang digelar di Singapura pada 22 Juli 2017, beberapa peserta menyatakan kekhawatiran tentang Islamophobia dan bertanya bagaimana mereka dapat membantu menghilangkan keraguan atau kesalahpahaman yang mungkin dimiliki oleh komunitas lain tentang Islam.

"Islamophobia di Singapura tidak seburuk di Barat, tetapi hari ini saya khawatir beberapa orang akan memandang saya secara berbeda atau curiga karena agama saya," kata mahasiswa Institute of Technical Education (ITE), Nur Nabilah Isaman, yang memakai jilbab.

Dia juga mengakui perlunya menjangkau orang-orang dari ras dan agama lain, untuk membantu mereka memahami Islam. "Untuk memerangi Islamophobia, saya tidak bisa diam saja dan berharap orang-orang tidak akan berpikir yang terburuk tentang saya," ujar Nur Nabilah.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam mengatakan kepada para wartawan bahwa kebijakan Singapura dan pendekatan integrasi telah membantu menumbuhkan kohesi sosial. Tetapi pada saat yang sama, lanjutnya, serangan di seluruh dunia telah membuat rusak upaya membangun kepercayaan itu.

"Pemuda Muslim harus memahami bahwa mereka bisa menjadi Muslim yang baik dan mengambil bagian dalam kegiatan yang melibatkan komunitas Singapura yang lebih besar. Membangun ikatan antara komunitas yang berbeda adalah kunci dalam perang melawan terorisme," tegasnya. 

Read 557 times