Islamophobia di Barat (8)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (8)

 

Kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman mencatat peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Selama masa kampanye pemilu parlemen Jerman pada tahun 2017, Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative für Deutschland/AfD) melakukan kampanye anti-Islam secara luas.

AfD merupakan partai yang anti-Islam dan anti-imigran. Program dasar partai ini pada pemilu 2017 mengklaim bahwa Islam bukan milik Jerman. AfD menentang penggunaan pakaian syar’i dan jilbab di Jerman dan berusaha mendorong pelarangan penuh pakaian Islami di negara itu.

Partai Alternatif untuk Jerman menentang kegiatan lembaga-lembaga Islam di Jerman sebagai bagian dari hak-hak warga negara asing di negara tersebut.

Gerakan PEGIDA atau "Warga Eropa Patriotik Melawan Islamisasi Barat" muncul di Jerman dalam beberapa tahun terakhir. Gerakan yang menentang kehadiran Muslim di Jerman ini mencoba memperluas aktivitasnya di seluruh wilayah Eropa. Mereka juga mengadakan demonstrasi anti-Muslim di beberapa negara Eropa.

PEGIDA merencanakan demonstrasi mingguan di kota Dresden untuk menjaga sikap anti-Islam mereka di Jerman. Tetapi rencana itu tidak dilanjutkan karena kurangnya dukungan dari orang-orang Jerman.

Pada 2009 lalu, seorang wanita Muslim Mesir bernama Marwa El-Sherbini meninggal dunia di ruang pengadilan kota Dresden. Ia ditikam hingga tewas dengan 18 tusukan pisau, padahal kondisinya juga sedang hamil tiga bulan. Sherbini menggugat si pembunuh itu ke pengadilan setelah dia menyebutnya "teroris" karena mengenakan jilbab. Menurut jaksa penuntut, penyerang (Axel W) terdorong oleh kebencian akut terhadap Muslim dan warga asing.

Sherbini meminta bantuan polisi setelah Axel W menghina dirinya dengan kata-kata kotor dan menyebut dirinya sebagai teroris. Di pengadilan, Axel W dihukum membayar denda. Namun pelaku tidak terima dan mengajukan banding.

Media-media Jerman tidak begitu menyoroti insiden penikaman Marwa El-Sherbini. Seorang kolumnis surat kabar The Guardian Inggris dalam artikelnya menulis, “Halaman utama media-media Jerman awalnya tidak mengangkat kejadian itu dan setelah ribuan warga Mesir melakukan protes di Kairo, pemerintah federal Jerman – setelah memilih diam selama hampir seminggu – menyatakan penyesalan atas insiden tersebut.”

Angka serangan rasis terhadap empat juta Muslim di Jerman tidak menunjukkan penurunan dalam delapan tahun terakhir. Partai-partai ekstrem kanan anti-Islam seperti AfD tumbuh subur seiring dengan kampanye Islamophobia, yang gencar dilakukan di Jerman.

Slogan-slogan kampanye Partai Alternatif untuk Jerman tampak lebih kontroversial dan agresif daripada partai-partai lain. Seperti kalimat kontroversial, “Islamfreie Schulen” yang berarti sekolah tanpa Islam atau “Burka? Kami Lebih Suka Bikini.” Slogan partai populis dan sayap kanan ini lebih banyak mengangkat masalah kontradiksi budaya dan isu-isu rasis yang menyerang warga Muslim.

Menurut jajak pendapat pada 2017, popularitas partai AfD sekitar sepuluh persen. Namun, jika pemilu diadakan hari ini, AfD diprediksi akan menduduki posisi ketiga Jerman setelah Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD).

Pengaruh yang besar ini merupakan sebuah peringatan bagi kebangkitan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Jerman. Padahal, kebebasan beragama di Jerman adalah masalah yang dijamin oleh konstitusi.

Tentu saja, pemenuhan hak-hak sipil dan kewarganegaraan di negara-negara Eropa seperti Jerman, selalu ada pengecualian untuk warga Muslim. Konstitusi negara-negara Eropa, Piagam Sosial Eropa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (yang disusun oleh Barat) menekankan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kehidupan bebas para pengikut setiap agama berdasarkan ajaran agama mereka.

Namun penekanan ini diabaikan ketika menyangkut warga Muslim, dan pemerintah-pemerintah Eropa serta gerakan-gerakan ekstremis tidak mau mematuhi hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap individu Muslim.

Para politisi dan media-media Barat telah memperkenalkan Islam sebagai agama pendukung kekerasan, ekstremisme, dan terorisme, sehingga membenarkan segala pelanggaran hak-hak sipil dan kewarganegaraan terhadap masyarakat Muslim.

Masalah pakaian wanita Muslim bahkan telah menjadi isu politik dan perdebatan publik di negara-negara Eropa termasuk Jerman. Masing-masing negara bagian di Jerman menetapkan aturan khusus untuk membatasi gerak wanita Muslim di ruang publik.

Beberapa organisasi pembela hak-hak perempuan di Jerman, seperti Terre des Femmes dan beberapa penulis majalah feminis EMMA, menganggap pemakaian jilbab untuk anak sekolah dasar sebagai langkah keliru. Mereka mempertanyakan pemakaian pakaian syar’i dari perspektif feminisme dan klaimnya tentang pembelaan hak-hak perempuan.

Penggunaan pakaian syar’i dipilih atas dasar kesadaran dan wanita Muslim ingin menjaga auratnya berdasarkan perintah agama. Oleh karena itu, pihak lain tidak bisa menerapkan pembatasan atas dasar interpretasi keliru mereka tentang Islam atau karena klaim-klaim tak berdasar.  

Salah satu jurnalis wanita yang menentang perlakuan diskriminatif terhadap wanita Muslim di Jerman adalah Meredith Haaf, seorang penulis dan aktivis feminis.

Dalam sebuah artikel di surat kabar Süddeutsche Zeitung (12 Juli 2017), Meredith Haaf mengatakan bahwa melabeli kelompok-kelompok atas dasar etnis atau agama adalah sebuah lipstik di tangan mereka – karena alasan yang benar-benar berbeda – ingin mempertahankan dan menuntut perlakuan agresif dan diskriminatif terhadap umat Islam.

Dalam artikel dengan judul “How Islamophobic is feminism?” Meredith Haaf menulis, “Kaum feminis yang ingin melarang jilbab perempuan telah mengkhianati tujuan perempuan dan bermain di tangan populis sayap kanan.”

Dia menjelaskan bahwa pandangan feminisme kadang bisa merugikan masyarakat sendiri. Para pendukung prostitusi berusaha menanggalkan jilbab dari wanita Muslim dan tentu ini disayangkan. Para aktivis feminisme bahkan tidak mengerti makna feminisme dan tidak menghormati hak-hak perempuan.

Di sini jelas bahwa kelompok anti-Islam bahkan bersedia mengabaikan prinsip-prinsip pemikiran mereka sendiri demi menentang Islam dan kaum Muslim. Ini adalah sebuah kebencian terhadap umat Islam dan bertentangan dengan klaim orang-orang Eropa yang mengaku memiliki pandangan rasional terhadap semua persoalan. Namun sekarang justru menuduh lawan mereka sebagai ekstremis dan irasional. 

Read 545 times