Menguak Dimensi Kesepakatan Bahrain dan UEA dengan Israel

Rate this item
(0 votes)
Menguak Dimensi Kesepakatan Bahrain dan UEA dengan Israel

 

29 hari setelah kesepakatan Uni Emirat Arab (UEA) dengan rezim Zionis Israel menormalisasi hubungan di antara mereka, Bahrain, sebuah negara kecil Arab juga mengumumkan secara resmi hubungan diplomatiknya dengan Tel Aviv. Apa dampak dan dimensi dari kesepakatan dua negara Arab ini dengan Israel?

Meski Bahrain mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel setelah Uni Emirat Arab, namun Al Khalifa dapat disebut sebagai pelopor proses kompromi ini. Berdasarkan berbagai laporan, rezim Al Khalifa tahun 2011 meminta bantuan pasukan Israel untuk menumpas aksi protes di dalam negeri. Bahrain selama satu tahun terakhir terdepan dari setiap negara Arab untuk mengungkapkan normalisasi hubungan dengan Tel Aviv.

Khaled bin Ahmad Al Khalifa, menteri luar negeri Bahrain Mei 2019 membela serangan Israel ke Suriah dan mengklaim,”Israel berhak membela diri.” Ayoob Kara, menteri telekomunikasi Israel waktu itu menyebut statemen menlu Bahrain sebagai dukungan bersejarah Manama terhadap Tel Aviv.

Bahrain 25 dan 26 Juni 2019 menjadi tuan rumah pertemuan ekonomi di bawah koridor rencana Amerika, kesepakatan abad. Menlu Bahrain pada Juni 2019 menilai keliru absennya Palestina di sidang Manama. Khalid bin Ahmad pada Agustus 2019 seraya mendukung serangan Israel ke Suriah, Lebanon dan irak mengklaim bahwa agresi Zionis dilakukan untuk membela diri. Di klaimnya ia bersandar pada butir 51 Piagam PBB terkait pertahanan diri yang sah. Sementara itu, Dubes Bahrain di Washington termasuk tiga menteri Arab yang menghadiri peresmian rencana kesepakatan abad pada 28 Januari lalu.

Pendekatan dan statemen kepala diplomasi Bahrain mengungkapkan adanya hubungan resmi antara Manama dan Tel Aviv, namun hubungan ini terlambat satu tahun diumumkan secara resmi. Poin penting terkait Bahrain dan Israel adalah, keduanya menderita krisis legalitas. Al Khalifa menghadapi krisis legalitas di dalam negeri dan Israel menghadapi krisis legalitas di kawasan Asia Barat, karena setelah 72 tahun sampai saat ini mayoritas negara-negara kawasan tidak mengakui Tel Aviv. Oleh karena itu, tujuan utama Al Khalifa dan Israel dari kesepakatan normalisasi hubungan adalah meraih legalitas di dalam negeri dan kawasan.

Amerika Serikat pemain utama di normalisasi hubungan Bahrain dan Israel. Faktanya, pemerintah Amerika merancang skenario ini untuk kepentingan rezim Zionis dan Al Khalifa sebagai pelaksana skenario ini. Masoud Asaddollahi, pengamat senior isu-isu Asia Barat meyakini, normalisasi hubungan Bahrain dan Israel bagian eksternal dari kesepakatan abad yang diresmikan Presiden AS Donald Trump pada 28 Januari 2020. Sementara bagian internal kesepakatan abad adalah konsesi yang diraih Israel di bidang geografi dan keamanan. Sementara bagian eksternalnya adalah pemberian legalitas kepada Tel Aviv melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.

Faktanya adalah Bahrain merupakan negara Arab paling lemah dari sisi politik, ekonomi dan keamanan. Bahrain negara kecil di kawasan strategis Asia Barat. Al Khalifa bukan warga pribumi Bahrain dan mereka asli penduduk Arab Saudi. Dari sisi ekonomi, Bahrain sejak tahun 2011 hingga kini terus mengalami penurunan dan kesulitan ekonomi negara ini terus meningkat akibat berlanjutnya aksi protes rakyat menentang Al Khalifa. Lembaga Which April lalu memprediksikan defisit anggaran Bahrain tahun 2020 sebesar 13,5 persen. Selain itu, Bahrain seperti mayoritas negara Arab, tidak memiliki militer yang kuat dan solid serta kemampuan pertahanan untuk melawan ancaman.

Mengingat situasi ini, rezim Al Khalifa telah mengambil alih tuan rumah Pusat Armada Kelima AS untuk menikmati dukungan AS. Dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat telah mengambil alih Bahrain dan Al-Khalifa tidak memiliki kemerdekaan dalam memutuskan kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu, pesan penting normalisasi hubungan Bahrain dengan rezim Zionis terletak pada masalah perwalian Amerika atas Bahrain yang sama. "Perjanjian ini menunjukkan hak asuh AS atas Bahrain dan Raja Bahrain berada di bawah kendali pemerintah AS," kata Dawood Shahab, kepala kantor informasi Gerakan Jihad Islam Palestina.

Ada tiga poin penting tentang kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis. Poin pertama adalah bahwa Donald Trump, seperti perjanjian UEA dengan rezim Zionis, bermaksud menggunakan perjanjian ini secara elektoral. Pemilihan presiden AS akan diadakan November mendatang, dan Trump berada di bawah tekanan dari protes rasis di Amerika Serikat, memburuknya ekonomi akibat wabah korona, dan ketidakmampuan untuk mengatasi meluasnya wabah korona, dimana seperempat kasus kematian akibat pandemi COVID-19 di dunia dari negara ini.

Di bidang kebijakan luar negeri, Trump juga menyaksikan kegagalan tekanan maksimal terhadap Iran, tidak membuahkannya konfrontasi ekonomi dengan Cina, serta sekutu tradisional mulai menjaga jarak dari Washington. Oleh karena itu, normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan rezim Zionis yang telah berlangsung puluhan tahun ditujukan untuk pemanfaatannya secara elektoral dan untuk mencapai prestasi politik luar negeri.

Poin kedua adalah Bahrain adalah negara kecil di Asia Barat yang tidak memiliki bobot atau tempat dalam keputusan di kawasan ini. Yang penting bagi kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis adalah ketergantungan penuh Al-Khalifa pada Al-Saud. Al-Saud takut mempublikasikan hubungan dengan rezim Zionis karena posisi agama dan politik Arab Saudi di dunia Islam, dan di sisi lain, berada di bawah tekanan kuat dari pemerintah AS untuk mempublikasikan hubungan. Dengan demikian, kesepakatan Bahrain dengan rezim Zionis secara tidak langsung merupakan kesepakatan Arab Saudi dengan rezim ini.

"Meskipun Bahrain bukan kekuatan Timur Tengah atau bahkan kekuatan di Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), namun penandatanganan perjanjian kompromi dengan negara sangat bermanfaat bagi Tel Aviv bermanfaat karena Manama memiliki hubungan sangat erat dengan Riyadh dan kesepakatan ini sama halnya dengan kompromi tak langsung Arab Saudi dengan Israel," tulis Eli Fouda, seorang profesor studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Quds pendudukan.

Poin ketiga adalah Bahrain berbeda dengan negara-negara anggota P-GCC lainnya, gerakan rakyat di negara ini memiliki sejarah dan basis kuat. Gerakan Islam al-Wefaq, Gerakan Amal Islam, Koalisi 14 Februari, Gerakan Kebebasan dan Gerakan Haq (Kebenaran) termasuk faksi politik penting di Bahrain dan memiliki basis rakyat yang kokoh. Selain itu, Bahrain memiliki pemimpin politik dan spiritualitas penting seperti Sheikh Isa Qassim, Sheikh Ali Salman, Nabil Rajab dan Hasan Mushaima yang bukan saja tidak takut menghadapi rezim Al Khalifa, bahkan menerima penjara dan pengasingan. Oleh karena itu, kesepakatan dengan Israel bukan saja tidak aman bagi Al Khalifa, tapi akan meningkatkan ancaman dalam negeri terhadap rezim ini.

Pertanyaannya di sini adalah apakah kesepakatan Bahrain atau UEA dengan Israel akan memiliki konsekuensi keamanan yang nyata bagi Palestina? Sepertinya kesepakatan ini tidak akan memiliki konsekuensi baru bagi Palestina, karena negara-negara ini sebelumnya juga memiliki hubungan dengan rezim penjajah Quds dan kini mereka sekedar mengumumkan secara resmi hubungannya tersebut.

Sebaliknya kesepakatan tersebut dapat dinilai sebuah prestasi bagi Palestina, karena seperti yang dinyatakan Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrullah pada November 2018 lalu, “Normalisasi hubungan dengan Israel akan mengakhiri kemunafikan Arab dan topeng-topeng trik para pemain dan munafik akan terbuka.”

Di sisi lain, Otorita Ramallah kini sampai pada kesimpulan bahwa kompromi dan berunding dengan Israel bukan saja tidak membuahkan konsesi bagi Palestina, bahkan menyebabkan meningkatnya serangan dan pendudukan rezim ini. Ketika berbagai faksi Palestina mengedepankan rasionalitas dan kebijaksanaan serta mendefinisikan dirinya dalam koridor identitas nasional Palestina, kesepakatan ini dapat meningkatkan ancaman bagi UEA dan Bahrain, khususnya bagi Israel sendiri.

 

Read 657 times