Islamophobia di Barat (11)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (11)

 

Masyarakat Muslim di semua negara dunia – baik sebagai mayoritas ataupun minoritas – menjalani kehidupan yang damai di samping para pengikut agama lain. Kehidupan damai dan ramah ini masih dipertahankan sampai sekarang di kebanyakan negara dunia.

Namun, gelombang Islamophobia yang muncul di negara-negara Barat dalam dua dekade terakhir, telah menyebar luas ke berbagai belahan dunia. Amerika Serikat dan Inggris serta sebagian negara Barat lainnya melakukan banyak upaya untuk memperkenalkan Islam sebagai ajaran ekstrem dan sponsor kekerasan.

Barat mengkampanyekan Islamophobia dan menjalankan kebijakan anti-Islam untuk menjustifikasi kebijakan ilegal mereka di negara-negara Muslim. Blok Barat – pasca runtuhnya Uni Soviet – merasa perlu menciptakan sebuah musuh baru untuk memajukan kepentingan jangka panjangnya di dunia Islam. Untuk itu mereka menjalankan kebijakan Islamophobia untuk mencapai tujuannya.

Kebijakan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan warga Muslim di berbagai negara, terlebih jika mereka tergolong minoritas. Hari ini warga Rohingya di Myanmar terus dibunuh hanya karena status mereka Muslim. Jika minoritas Rohingya beragama lain selain Islam, tentu pemerintah Barat dan lembaga-lembaga HAM dunia akan memperlihatkan reaksi yang berbeda.

Dalam kasus terbaru, sejumlah negara dunia menyampaikan rasa simpati atas genosida dan pengusiran puluhan ribu Muslim Rohingya di Myanmar, tetapi mereka tidak mengambil tindakan praktis selain ungkapan simpati. Negara-negara Barat dan lembaga internasional tidak mengambil langkah nyata terhadap pemerintah Myanmar dan secara khusus pejabat tinggi negara itu, Aung San Suu Kyi.

Bahkan sebagian pejabat Barat dalam pertemuannya dengan Suu Kyi, berusaha mengesankan pembunuhan warga Muslim Rohingya di Myanmar sebagai kesalahan mereka sendiri.

Perdana Menteri India, Narendra Modi dalam pertemuannya dengan Suu Kyi di Naypyidaw, mendukung sikap pemerintah Myanmar dalam berurusan dengan warga Muslim Rohingya. Myanmar mengklaim bahwa aksi represif terhadap minoritas Rohingya dipicu oleh serangan gerilyawan Rohingya.

Penyerangan oleh militer Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar yang dilakukan pemerintah Naypyidaw terhadap etnis Rohingya sejak 2012 dan 2016.

Menurut data resmi pemerintah yang dirilis pada September 2017, jumlah korban tewas dalam serangan itu hanya 400 jiwa. Namun, data tidak resmi mencatat jumlah korban mencapai lebih dari beberapa ribu orang. Beberapa laporan menyatakan militer Myanmar membakar mayat Muslim Rohingya untuk menghapus jejak kejahatan mereka.

Muslim Rohingya – karena tidak memiliki kartu identitas dan kewarganegaraan – tidak dapat mengajukan tuntutan apapun atas kematian saudaranya. Pemerintah Myanmar tidak mengakui minoritas Muslim ini sebagai warganya, dan dalam praktiknya, minoritas Muslim Rohingya tidak menikmati hak-hak sebagai warga negara.

Umat Budha Myanmar menganggap Muslim sebagai orang asing. Mereka menganggap segala perilaku yang tidak manusiawi dan diskriminatif dengan Muslim sebagai tindakan yang sah.

Tidak ada data akurat tentang populasi Muslim di Myanmar, tapi jumlah mereka diperkirakan mencapai 1,1 juta orang. Hampir semua Muslim Rohingya tinggal di Provinsi Rakhine, barat Myanmar. Rakhine adalah salah satu daerah yang paling miskin di Myanmar, dan sebagian besar Muslim Rohingya tinggal di kamp-kamp. Mereka dilarang meninggalkan Rakhine jika tanpa izin dari pemerintah pusat.

Berdasarkan dokumen sejarah, Muslim Rohingya telah menetap di Myanmar sejak abad ke-12 Masehi. Etnis Muslim Rohingya beremigrasi ke negara yang dikenal sekarang sebagai Myanmar untuk mencari pekerjaan sekitar 100 tahun lalu antara tahun 1824 sampai 1948. Migrasi ini terjadi selama era kolonialisme Inggris di anak bedua India.

Pada masa itu, Myanmar (Burma) adalah salah satu dari provinsi India di bawah yurisdiksi Inggris, dan migrasi Muslim Rohingya dianggap sebagai sebuah eksodus dalam negeri.

Pada 1947, Myanmar memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Inggris. Sentimen anti-Muslim sudah berkembang luas di tengah masyarakat Budha di negara tersebut.

Setelah merdeka, sebagian besar Muslim tidak bisa memperoleh kewarganegaraan Myanmar, dan pemerintah Naypyidaw menganggap migrasi mereka dari India dan Bangladesh – selama era kolonialisme Inggris – sebagai praktik ilegal.

Muslim Rohingya pada awalnya diberikan kartu identitas dan bahkan kewarganegaraan, serta beberapa dari mereka menjadi anggota parlemen, namun kudeta militer pada 1962 telah mengubah segalanya. Ketika itu, semua warga negara diharuskan memiliki kartu tanda pengenal nasional, sementara warga Rohingya hanya diberikan kartu identitas dengan status warga asing.

Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye Islamophobia dan sentimen anti-Muslim berkembang luas di tengah ekstresmis Budha Myanmar. Mereka telah mengintensifkan serangan rasial dan kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya lebih dari sebelumnya.

Tragisnya, genosida Muslim Rohingya di Myanmar secara resmi melibatkan pemerintah. Sebelum ini, militer Myanmar hanya memantau tindakan kekerasan ekstresmis Budha terhadap Muslim. Sekarang militer terjun langsung memimpin operasi dengan alasan melawan kelompok gerilyawan Muslim di Rakhine.

Warga Rakhine yang tiba di perbatasan atau Bangladesh mengatakan bahwa tentara Myanmar membakar rumah-rumah mereka dan tidak segan-segan untuk membunuh mereka.

Menurut laporan Human Rights Watch (HRW), citra satelit yang diambil dari desa-desa milik minoritas Rohingya menunjukkan volume kerusakan dan pembakaran sekitar 99%.

Surat kabar The Guardian menulis, ribuan warga Rakhine menderita kelaparan dan terjebak di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Mereka bahkan tidak memiliki kebutuhan dasar seperti obat-obatan dan air minum.

Banyak pihak mengira bahwa diskriminasi dan kekerasan rasial terhadap Muslim Rohingya akan berakhir dengan berakhirnya kekuasaan militer di Myanmar dan dengan berkuasanya Suu Kyi, pemegang Hadiah Nobel Perdamaian. Tetapi bukan hanya ini yang tidak terjadi, Muslim Rohingya justru menghadapi pengusiran lebih parah lagi oleh militer Myanmar.

Suu Kyi tidak menanggapi kritik terkait sikap diamnya dalam menyaksikan genosida Muslim Rohingya, tetapi malah menuduh pekerja bantuan internasional bekerja sama dengan teroris di negaranya. Dengan alasan ini, pemerintah Myanmar melarang badan-badan PBB untuk mengirimkan bantuan kepada ribuan Muslim Rohingya.

Sebenarnya, media dan negara-negara Muslim telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah pembantaian dan pengusiran Muslim di Myanmar. Namun, selama tidak ada tekad serius internasional untuk menekan pemerintah Myanmar, maka Naypyidaw mustahil akan menghentikan tindakan kejinya terhadap warga Muslim.

PBB telah memberikan peringatan tentang memburuknya kondisi Muslim Rohingya, tetapi tidak ada indikasi bahwa negara-negara Barat pendukung Suu Kyi, akan akan menekan pemerintah Myanmar. 

Read 546 times