Islamophobia di Barat (16)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (16)

 

Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di negara-negara Eropa telah muncul dalam berbagai bentuk dan sudah semakin sering ditemukan. Masyarakat Muslim Eropa harus selalu bersiap dengan penerapan pembatasan-pembatasan baru.

Serangan rasis menyasar orang-orang dengan nama Muslim, pria berjenggot, dan wanita dengan pakaian Muslimah. Serangan rasis ini bahkan menimpa mereka yang non-Muslim; berjenggot seperti orang Muslim atau warna kulit mereka tidak putih dan mirip seperti individu Muslim.

Surat kabar The Independent Inggris dalam sebuah laporan pada 18 Oktober 2017 menulis, "Hasil sebuah studi menunjukkan bahwa pria non-Muslim yang tinggal di Inggris telah menderita pelecehan verbal, fisik, dan emosional karena mereka terlihat seperti Muslim."

Orang-orang yang diwawancarai menggambarkan bagaimana kotoran binatang dilemparkan ke rumah mereka dan kaca jendela toko mereka dihancurkan. Yang lain mengatakan mereka disebut teroris atau terkait dengan Daesh karena warna kulit atau jenggot mereka.

Para peneliti mewawancarai 20 pria non-Muslim berusia antara 19 dan 59 tahun dari latar belakang kulit hitam, putih dan Asia. Mereka termasuk orang-orang dari kepercayaan Sikh, Kristen dan Hindu, serta ateis.

Studi ini menemukan ada peningkatan permusuhan anti-Muslim setelah serangan teror dan pelaksanaan referendum Brexit.

Dalam studi yang dipresentasikan di parlemen Inggris selama peringatan Pekan Kesadaran tentang Kejahatan Kebencian, Dr. Imran Awan dan Dr. Irene Zempi memaparkan tentang pengalaman pria non-Muslim yang mengalami serangan Islamophobia karena mereka terlihat seperti Muslim.

Dr. Imran Awan, profesor kriminolog dari Birmingham City University, mengatakan kepada The Independent bahwa studi ini menunjukkan bagaimana pelaku kejahatan rasial menargetkan korban mereka "berdasarkan prasangka dan stereotip."

Dr. Awan dan Dr. Zempi merekomendasikan kampanye kesadaran publik tentang cara melaporkan kejahatan rasial, serta pelatihan untuk mengajarkan para pengawas tentang bagaimana merespons jika mereka menyaksikan kejahatan rasial.

Dalam hal ini, surat kabar Standard Inggris dalam sebuah laporan pada 16 Oktober 2017 menulis, "Kampanye melawan kejahatan kebencian anti-Muslim diluncurkan di seluruh jaringan transportasi London. Perusahaan transportasi dan Kepolisian London mengadakan lebih dari 200 acara untuk meyakinkan masyarakat bahwa sistem transportasi umum London aman untuk semua orang."

Warga Muslim sudah sering menjadi sasaran serangan di bus dan metro London, dan video serangan itu telah menyebar luas di media sosial. Aparat polisi London mendorong pelaporan kejahatan rasial selama kunjungan mereka ke Masjid London Timur dan penempatan aparat di stasiun-stasiun bus dan metro.

Antara April dan Juni 2017, laporan kejahatan rasial meningkat 25 persen dengan 822 kasus dibandingkan dengan 655 kasus tahun lalu.

Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn dalam sebuah acara dengan tema "Kejahatan Kebencian terhadap Wanita Muslim" di Masjid Finsbury Park London pada 22 Oktober 2017, berbicara tentang perlunya untuk bersatu sebagai sebuah komunitas dan mengeluhkan peran media dalam mempromosikan kebencian.

"Sebuah pertemuan perlu dilaksanakan sebagai kampanye untuk melawan kejahatan dalam sistem penulisan berita-berita yang terkait dengan Islam dan Muslim," kata Corbyn.

Sementara itu, Ketua Dewan Islington, Richard Watts mengatakan, "Saya memberikan sebuah kesempatan kepada media-media lokal untuk melaksanakan tugasnya dalam melawan Islamophobia. Kami berharap semua media bersikap resional."

Pada acara itu, sejumlah wanita Muslim menceritakan pengalaman mereka tentang kejahatan yang berlatar kebencian. Mereka mengaku mendapat penghinaan di jalan-jalan karena mengenakan jilbab.

Meskipun media-media di Barat diklaim independen dan pembela kebebasan berekspresi, namun kinerja mereka berada di bawah pengaruh partai dan kebijakan pemerintahan Barat dalam memperlakukan warga Muslim.

Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir, setiap partai yang mengeluarkan slogan dan kebijakan yang lebih keras terhadap imigran dan Muslim, mereka akan mendapat sambutan yang lebih besar dari masyarakat dan berpeluang untuk menang pemilu.

Partai Kebebasan (FPO) Austria, partai sayap kanan anti-imigran, mampu meraih 27 persen suara pada pemilu parlemen 15 Oktober 2017 dan menempati posisi kedua di parlemen negara itu. Partai sayap kanan ini kemudian menjadi bagian dari koalisi pemerintah.

Di Republik Ceko, ada Partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung (SPD) yang menganut pandangan euro-skeptisisme keras, anti-imigran, anti-Islam, dan pro-demokrasi langsung. Partai ini mendorong pengesahan undang-undang larangan pembangunan masjid, penggunaan cadar, dan larangan shalat di jalan.

Seorang anggota partai SPD, Jaroslav Holik mengatakan, "Orang-orang yang datang ke negara kami, harus menyesuaikan dirinya dengan gaya hidup kami dan bukan kita yang harus hidup dengan cara mereka."

Larangan penggunaan cadar di Austria.
Sejak tahun 2000, beberapa negara Eropa berniat meloloskan UU larangan penggunaan cadar, dan Perancis merupakan negara pertama Uni Eropa yang melarang penggunaan cadar sejak 2011.

Perancis menjadi pelopor dalam mengkampanyekan Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa, dan masih mempertahankan kebijakan itu sampai sekarang. Setiap ada larangan atau pembatasan baru di Eropa, selalu dimulai dari Perancis.

Perancis telah mengadopsi UU anti-teror baru yang memungkinkan aparat keamanan untuk memeriksa tempat ibadah dan melakukan pemeriksaan identitas langsung. UU ini mulai berlaku pada 1 November 2017 dan secara resmi mengakhiri keadaan darurat yang telah berlangsung hampir dua tahun setelah serangan Paris.

Muslim Perancis telah berada di bawah pengawasan pemerintah selama dua tahun terakhir. Di bawah undang-undang yang baru, polisi dapat melakukan penggerebekan rumah dan penggeledahan tanpa surat perintah atau pengawasan pengadilan, termasuk di malam hari.

UU ini memberikan kekuatan ekstra kepada para pejabat untuk melewati proses peradilan yang biasa dan menempatkan orang di bawah tahanan rumah. Ia juga memungkinkan untuk membatasi pertemuan dan menutup tempat ibadah.

Kebanyakan Muslim Perancis dan kelompok-kelompok HAM sudah sering memperingatkan bahwa UU anti-teror baru itu memiliki dampak yang sangat berbahaya. UU ini dapat menangkap seseorang yang dicurigai sebagai teroris, bahkan tanpa perlu adanya bukti dan saksi. Setiap aktivis bisa juga ditangkap dengan alasan memiliki kayakinan yang berbahaya.

UU anti-teror Perancis telah dikritik oleh para ahli Hak Asasi Manusia PBB, karena merampas hak dan kebebasan fundamental seseorang. "Undang-undang ini dapat secara tidak proporsional mempengaruhi, menstigmatisasi, dan semakin memarginalkan warga negara yang beragama Islam," kata Fionnuala Ni Aolain, pelapor khusus PBB tentang perlindungan HAM dan perlawanan terorisme.

"Sangat memprihatinkan bahwa warga minoritas Muslim sedang dianggap sebagai 'komunitas tersangka' melalui penerapan berkelanjutan dan luas dari undang-undang anti-terorisme," tandasnya.

Menyudutkan seluruh Muslim hanya karena perilaku segelintir teroris yang mengaku Muslim, justru akan menguntungkan para teroris dan memarjinalkan komunitas Muslim.

Amnesty International dalam sebuah laporan menyatakan bahwa undang-undang baru anti-teror yang diterapkan di seluruh Eropa mendorong diskriminasi terhadap Muslim dan imigran serta menyebarkan ketakutan dan keterasingan. Organisasi ini memperingatkan bahwa keputusan keamanan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir di 14 negara Eropa, terutama masalah penambahan wewenang dan kekuatan spionase, tidak akan memiliki dampak yang baik. 

Read 556 times