Islamophobia di Barat (20)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (20)

 

Kebijakan Presiden AS Donald Trump telah membuat kondisi bagi masyarakat Muslim Amerika bahkan lebih sulit daripada setelah peristiwa 11 September. Kebijakan ini telah mendorong penyebaran Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di tengah publik Amerika.

Hasil riset Biro Investigasi Federal (FBI) menunjukkan bahwa Muslim di Amerika lebih rentan untuk diserang daripada orang Amerika setelah peristiwa serangan 11 September.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Pew Research Center, jumlah serangan terhadap warga Muslim meningkat tajam selama dua tahun terakhir dan bahkan naik lebih tajam dari serangan anti-Islam pasca 11 September. Pidato-pidato Trump telah meningkatkan kejahatan kebencian terhadap Muslim di Amerika, melebihi daripada serangan teroris.

Juru bicara komunitas Muslim Ahmadiyah di Amerika, Qasim Rashid dalam wawancara dengan majalah Newsweek mengatakan, "Ada hubungan langsung antara kejahatan kebencian dan retorika-retorika Presiden AS dalam tindak kekerasan terhadap warga Muslim."

"Islam selalu menjadi bagian dari masyarakat Amerika, tetapi sekarang ini ada desas-desus bahwa Muslim di Amerika adalah orang asing," tambahnya.

Laporan Pew Research Center pada 2014 mencatat bahwa 62 persen orang Amerika tidak memiliki pengetahuan tentang Muslim, namun jika pengetahuan itu ada, permusuhan terhadap Islam tidak akan mengakar di tengah warga Amerika.

Berdasarkan laporan Southern Poverty Law Center, peningkatan drastis kejahatan rasial selama dua tahun terakhir secara langsung berhubungan dengan kampanye xenofobia dan rasis Donald Trump. Lembaga itu mencatat 307 kasus tindakan kebencian anti-Islam terjadi di Amerika pada 2016 atau naik 19 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Isu Islamophobia dan sentimen anti-Muslim telah menjadi kebijakan strategis Trump dalam kampanye pilpres 2016 dan bahkan setelah bertugas di Gedung Putih. Fokus kebijakannya adalah larangan memasuki AS bagi warga dari beberapa negara Muslim dengan dalih melawan terorisme.

Anehnya, warga negara yang dilarang memasuki Amerika belum pernah terlibat aksi terorisme di negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Sebaliknya, warga Arab Saudi tidak dikenakan larangan bepergian ke Amerika, padahal 15 dari 19 pelaku serangan 11 September adalah warga Saudi.

Selama kampanye pilpres, Trump mengakui bahwa Daesh adalah kelompok teroris yang dibentuk oleh Barack Obama dan Hillary Clinton dengan bantuan Arab Saudi. Setelah terpilih, Trump menandatangani perjanjian senjata terbesar dengan Saudi dan mengikuti tarian pedang dengan Raja Salman dan para pangeran Saudi di Riyadh.

Perilaku ini menunjukkan bahwa tidak ada bedanya siapa yang mengendalikan Gedung Putih, karena Arab Saudi – sebagai sumber terorisme dan Wahabisme – memiliki tempat khusus dalam kebijakan AS di Timur Tengah. Raja-raja Saudi dengan dukungan AS dan Eropa, juga sama sekali tidak khawatir dalam mempromosikan terorisme dan ekstremisme, seperti pembentukan Daesh.

Tentu saja, Daesh tidak akan menyebar begitu cepat dan menduduki banyak wilayah di Irak dan Suriah jika tanpa dukungan Amerika, Inggris, dan rezim Zionis Israel.

Dengan mendukung kelompok-kelompok Takfiri dan teroris Daesh, AS ingin menghancurkan citra Islam dan berupaya memecah wilayah Suriah dan Irak serta melawan poros perlawanan, yang menentang pendudukan Israel atas tanah Palestina.

AS sebenarnya memanfaatkan isu terorisme Takfiri untuk kepentingan ganda, namun perlawanan dan perjuangan rakyat dan tentara Suriah dan Irak, Hizbullah Lebanon, serta dukungan dan arahan Republik Islam Iran, telah mengalahkan fitnah Arab Saudi dan sekutunya di Barat.

Kekalahan Daesh di Suriah dan kehancuran kelompok-kelompok Takfiri merupakan sebuah langkah besar dalam melawan para perusak citra Islam, yang menyerukan keadilan dan perdamaian, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Opini publik di Barat sangat dipengaruhi oleh media-media yang dikendalikan Zionisme internasional. Kebijakan utama mereka adalah merusak citra Islam, melegitimasi pembentukan rezim Israel, dan menjustifikasi kebijakan intervensif pemerintah Barat atas nama memerangi terorisme dan ekstremisme.

Opini publik di Barat tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam dan pengetahuan umum mereka tentang Islam bersumber dari sajian-sajian Hollywood dan media-media Barat. Oleh karena itu, mereka menyudutkan kaum Muslim atas setiap peristiwa serangan teror dan menjadikan orang Muslim sebagai sasaran serangan rasisnya.

Dengan kekalahan Daesh di tangan rakyat Suriah dan Irak, serta Hizbullah Lebanon, dan para pejuang di Iran, Afghanistan dan Pakistan, maka batas antara penyebar kekerasan atas nama Islam dan para pengikut Islam sejati, menjadi lebih jelas.

AS, Inggris, dan rezim Zionis, bersama dengan Arab Saudi, selalu berupaya menciptakan perselisihan di antara negara-negara Muslim dan mempertahankan konflik di wilayah sensitif dan strategis Timur Tengah. Hanya dengan mempertahankan konflik, mereka dapat mengembalikan dolar impor minyak dengan cara menjual senjata dan kemudian memperkuat posisi rezim penjajah Israel.

Pada dasarnya, tujuan Barat mendukung ideologi ekstrem yang bersumber dari Arab Saudi adalah untuk menciptakan perpecahan dan fitnah di tengah kaum Muslim dan kekacauan di negara-negara Muslim.

Semua negara Barat memandang Arab Saudi sebagai sekutu strategisnya, padahal sama sekali tidak ada keserasian antara klaim Barat terutama AS tentang demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia dengan model pemerintahan di Saudi.

Hal ini dilakukan karena Arab Saudi membantu kampanye Islamophobia di tengah masyarakat Barat dan negara itu juga menjadi basis yang tepat bagi Barat untuk menciptakan ketidakstabilan di wilayah Timur Tengah. Oleh sebab itu setiap kali kalah, mereka akan menciptakan fitnah baru di kawasan.

Setelah kekalahan Daesh di Irak dan Suriah, rezim Al Saud mulai melirik Lebanon untuk memicu ketegangan politik dan sektarian di negara itu dengan alasan yang tidak berdasar. 

Read 570 times