Islamophobia di Barat (22)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (22)

 

Keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Baitul Maqdis sebagai ibukota rezim Zionis Israel harus dianggap sebagai kasus terbaru Islamophobia yang dilakukannya.

Setelah menang pilpres AS, Trump membuat keputusan atas dasar dua prinsip. Salah satu slogan kampanye Trump selama pilpres adalah America First. Berdasarkan prinsip ini, Trump meninggalkan Kesepakatan Perdagangan Trans-Pasifik demi melindungi industri dan sektor bisnis Amerika.

Trump juga menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris, menangguhkan pembicaraan perdagangan bebas dengan Uni Eropa, dan mengancam akan mundur dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Dia juga mendesak sekutu di Eropa untuk berkontribusi lebih besar dalam pembiayaan NATO.

Prinsip kedua Trump didasarkan pada Islamophobia dan masukan dari lobi-lobi Zionis di AS. Tentu saja ini adalah prinsip yang dipegang oleh semua presiden AS. Namun tidak ada mantan presiden AS yang seperti Trump, di mana benar-benar disetir oleh lobi Zionis dan terang-terangan mengambil posisi anti-Islam.

Pasca peristiwa 11 September, Presiden George W. Bush menggambarkan insiden itu sebagai babak baru Perang Salib. Sikap Bush ini disikapi negatif di tingkat global, terutama di negara-negara Muslim sehingga memaksa Bush mengoreksi ucapannya. Tapi Trump tidak peduli dengan tuduhan anti-Islam.

Trump menunjuk menantunya keturunan Yahudi, Jared Kushner sebagai penasihat tinggi untuk urusan Timur Tengah. Dia mendukung keras kebijakan imperialistik Benjamin Netanyahu di wilayah pendudukan Palestina. Dalam aksi anti-Islam pertamanya, Trump melarang warga dari beberapa negara Muslim memasuki Amerika.

Meski perintah tersebut ditangguhkan oleh beberapa hakim, namun kebijakan imigrasi Trump akhirnya dilaksanakan pada awal Desember 2018 atas perintah tujuh dari sembilan hakim agung AS. Pelaksanaan kebijakan ini mendapat respon negatif di tingkat Amerika dan dunia.

Seorang demonstran mengangkat poster yang mengatakan "Islamophobia bukanlah jawaban" pada kampanye Donald Trump di kota Oklahoma, 2016.
Dewan Kota New York menentang keputusan tersebut dan memandangnya sebagai kebijakan yang didasari kebencian dan Islamophobia. Dewan menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendukung dan menyambut siapa saja terlepas dari latar belakang agama atau status mereka sebagai imigran.

Mahkamah Agung AS mengukuhkan kebijakan imigrasi Trump dan keputusan ini merupakan bentuk yang paling nyata dari kampanye Islamophobia. Satu hari setelah keputusan ini, Council on American-Islamic Relations of Florida mengabarkan penangkapan Bernardino Bolatete yang berniat melakukan serangan masif terhadap sebuah masjid di Florida.

Council on American-Islamic Relations of Florida menyatakan, “Kekerasan dan kejahatan rasial terhadap Muslim di Florida adalah nyata. Dua masjid menjadi sasaran pembakaran dalam waktu kurang dari enam bulan. Bolatete adalah seorang ekstremis anti-Muslim yang diduga mempersiapkan pembantaian orang-orang Muslim tak berdosa di pusat Islam Amerika dalam apa yang bisa ditafsirkan sebagai tindakan terorisme."

"Ini seharusnya menjadi perhatian tidak hanya masyarakat Muslim, tetapi semua penduduk Florida terlepas dari agama mereka," tambahnya.

Trump biasanya langsung menunjuk kaum Muslim atas setiap insiden serangan teror di Eropa dan Amerika. Namun, penembakan brutal di Las Vegas telah membuat Trump bungkam. Penembak adalah warga Amerika yang tidak memiliki latar belakang kriminal atau hubungan dengan kelompok teroris takfiri.

Sebelum mengumumkan Baitul Maqdis sebagai ibukota rezim Zionis, Trump memposting ulang tiga tweet anti-Islam. Retweet ini mengundang reaksi negatif di Eropa terutama di Inggris. Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengkritik Trump karena me-retweet video anti-Muslim dari seorang pemimpin kelompok sayap kanan Inggris Britain First, Jayda Fransen. May menganggap tindakan Trump sebagai hal yang salah untuk dilakukan.

Dalam pandangan publik Inggris dan para pejabatnya, tindakan Trump me-retweet video anti-Islam Jayda Fransen – terlepas dari sebuah gerakan anti-Muslim – akan merusak stabilitas dan keamanan sosial Inggris serta mendorong perilaku ekstrem di negara Eropa itu. Kementerian Dalam Negeri Inggris menganggap Britain First sebagai kelompok yang menyebarkan kebencian dan kekerasan.

Dalam menanggapi kritikan PM Inggris, Trump memposting cuitan yang menyerang Theresa May dan menulis, "Jangan fokus kepada saya, fokus kepada teroris Islam radikal yang saat ini sudah ada di Inggris. Kami baik-baik saja!"

Gelombang populis yang menentang imigran terutama Muslim, semakin menguat di negara-negara Eropa selama beberapa tahun terakhir. Mereka diyakini ikut membantu kemenangan Trump di Amerika. Kalangan populis telah memproduksi banyak video dan klaim bohong tentang masyarakat Muslim dan imigran, dan mereka mendapat dukungan dari kubu kanan ekstrem di Eropa.

Video-video yang disebarkan ulang oleh Trump merupakan video yang dibuat oleh Jayda Fransen untuk memfitnah masyarakat Muslim. Video pertama British First berjudul "Migran Muslim memukuli bocah Belanda yang mengenakan tongkat penyangga." Klaim ini dibantah oleh para pejabat Belanda dan mereka mengklarifikasi bahwa sosok dalam video tersebut bukan imigran, tetapi warga yang lahir di Belanda.

Video kedua diberi judul "Muslim menghancurkan patung perawan Maria." Tidak jelas dimana video itu direkam, tetapi sebagian media menyebutkan bahwa video tersebut tampaknya direkam di Suriah.

Video ketiga yang diunggah Jayda Fransen berjudul, "Massa Islamis mendorong remaja dari atap dan memukulnya sampai mati." Jelas bahwa video ini terkait dengan pemberontakan di Mesir pada tahun 2013 dan memperlihatkan aksi sekelompok orang yang melempar seorang pria dari atas bangunan. Para pelaku telah dijatuhi hukuman pada 2015 dan salah satu dari mereka divonis mati.

Keputusan Trump mengakui Baitul Maqdis ibukota rezim Zionis, tidak mendapat dukungan dari sekutu-sekutu AS. Mereka menganggap langkah itu akan memicu ketegangan dan menghancurkan pencapaian perundingan kompromi.

Tindakan Trump memicu reaksi negatif dari negara-negara Muslim dan umat Islam. Pemimpin redaksi surat kabar Rai al-Youm, Abdel Bari Atwan mengatakan, "Trump adalah seorang presiden rasis, seorang makelar, dan seorang anti-Arab dan anti-Islam. Sebuah fakta bahwa Trump adalah teman dekat Benjamin Netanyahu dan rezim Zionis. Trump hanya mendengarkan masukan dari Jared Kushner, menantunya. Sejak dulu, persekutuan ini mendukung pembangunan pemukiman ilegal di tanah pendudukan Palestina, Arab dan Islam dan sekarang juga mendukungnya."

Di bagian lain analisanya Abdel Bari Atwan menuturkan, "Saya memberikan kabar gembira kepada kalian bahwa bangsa Palestina akan bangkit melawan Otorita Ramallah, melawan Trump, Netanyahu, dan para pemimpin Arab yang melakukan konspirasi. Orang-orang yang terlibat dalam intifadah pertama, kedua, dan ketiga, akan melakukan perlawanan." 

Read 609 times