Print this page

Islamophobia di Barat (37)

Rate this item
(0 votes)
Islamophobia di Barat (37)

 

Prancis bisa dianggap sebagai tempat lahirnya Islamophobia dan sentimen anti-Muslim di Eropa serta negara pelopor sistem liberal demokrasi Barat. Banyak dari larangan dan pembatasan untuk warga Muslim lahir di Prancis – negara yang mengaku menghormati kebebasan berpikir, berekspresi, dan akidah – dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di Eropa.

Kasus pembatasan terbaru adalah penolakan Prancis atas permohonan kewarganegaraan oleh seorang Muslimah Aljazair, setelah ia menolak berjabat tangan dengan pejabat pria.

Muslimah yang tidak disebut namanya itu, mengatakan bahwa agama melarangnya untuk berjabat tangan dengan pria non-muhrim sehingga ia menolak melakukan itu dengan pejabat Prancis pada upacara pemberian status kewarganegaraan kepadanya di daerah Grenoble.

Para pejabat setempat mengatakan, wanita tersebut tidak bisa berasimilasi dengan masyarakat Prancis. Oleh sebab itu, mereka menolak permohonan kewarganegaraan oleh wanita Aljazair itu. Ia mengajukan protes ke pengadilan tinggi Prancis, tetapi pengadilan tetap pada keputusannya menolak menerbitkan paspor Prancis untuk Muslimah tersebut.

Pada 2010, wanita asal Aljazair ini menikah dengan seorang warga Prancis di negara asalnya. Ia kemudian mengajukan permohonan kewarganegaraan Prancis.

Pada 2016, sebuah pengadilan di Swiss memerintahkan dua pelajar Muslim di sebuah sekolah untuk berjabat tangan dengan guru perempuannya, jika tidak mereka akan didenda.

Setiap agama memiliki seperangkat ajaran yang mungkin terasa asing dan tidak biasa bagi masyarakat lain. Tetapi, bentuk kebebasan akidah yang paling kecil adalah menghormati ajaran agama lain terlebih bagi masyarakat yang mengklaim dirinya menghormati kebebasan beragama setiap individu.

Hal ini telah dijelaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konstitusi Prancis. Pasal 18 Deklarasi Universial HAM menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri."

Pasal 19 Deklarasi Universal HAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)."

Namun, Deklarasi Universal HAM memiliki banyak kekurangan dan tidak bisa menjadi parameter untuk mengukur situasi penegakan HAM di dunia, karena aturan itu disusun berdasarkan ajaran demokrasi liberal dan kepentingan Barat.

Anehnya lagi, pemerintah Paris dan negara-negara Barat bahkan tidak bersedia menghormati Deklarasi Universal HAM dan Konstitusi Prancis. HAM memiliki kedudukan yang tinggi dan berhubungan dengan penghormatan kepada martabat dan fitrah manusia, di mana penghormatan ini tidak bisa diabaikan dan melekat pada masing-masing individu.

Di samping itu, ada juga hak-hak warga negara – sebagai bagian penting dari hak asasi manusia – juga mendapat perhatian dalam konstitusi negara-negara dunia termasuk Prancis.

Prancis mensahkan konstitusi pertamanya dua tahun setelah revolusi yaitu tahun 1791. Tentu saja sampai akhir abad ke-19, negara itu mengalami situasi yang tidak stabil akibat pergantian sistem politik dan amandemen berulang kali terhadap undang-undang dasar.

Menyusul kebangkitan rakyat terutama para tokoh Prancis terhadap monarki absolut dan ketimpangan sosial, maka penyusunan Deklarasi HAM dan hak-hak warga negara di Prancis semakin dirasa penting. Deklarasi ini dianggap oleh banyak pihak sebagai titik balik dalam sejarah HAM dan hak-hak warga negara, dan ia menjadi inspirasi bagi penyusunan deklarasi serupa di dunia.

Menjaga hak-hak minoritas termasuk minoritas etnis dan agama adalah bagian dari hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Oleh sebab itu, Pasal 2 Konstitusi Prancis juga menaruh perhatian pada hak-hak masyarakat minoritas.

Konstitusi negara itu menyatakan, "Prancis harus menjadi sebuah Republik sosial, demokratis, dan sekuler yang bersatu. Prancis harus menjamin kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum, tanpa membeda-bedakan asal-usul, ras atau agama. Prancis harus menghormati semua keyakinan.”

Namun, apa yang kita saksikan dalam praktik adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan warga minoritas, terutama Muslim di Prancis. Muslim Prancis adalah minoritas terbesar di Eropa dengan hampir enam juta orang. Mereka selalu menghadapi ancaman serta berbagai larangan dan pembatasan.

Seorang wanita Muslim yang menolak menyentuh tangan seorang lelaki karena akidahnya, ditolak hak kewarganegaraannya. Dalam ajaran Islam, ada batasan untuk pria dan wanita non-muhrim dalam menjalin interaksi dan ada banyak dalil agama yang mengatur pembatasan ini. Kaum Muslim wajib mentaati aturan-aturan yang ditetapkan oleh agamanya.

Lalu, apakah rasional bahwa seseorang yang hidup dan berperilaku berdasarkan keyakinannya ditolak hak kewarganegaraannya, hanya karena tidak berjabat tangan dengan non-muhrim dalam sebuah acara?

Jika perilaku wanita Muslim ini tidak bisa dibenarkan, karena tidak sesuai dengan kultur masyarakat Prancis? Lalu dimana ruang untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam literatur demokrasi liberal Barat termasuk Prancis disebutkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi bermakna hidup berdampingan dan menghormati semua orang dari semua agama dan ras.

Tetapi dalam sistem demokrasi liberal di Barat, undang-undang tentang kebebasan berpendapat memiliki sebuah catatan yaitu UU tersebut tidak berlaku untuk warga Muslim.

Mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel berulang kali berbicara tentang kegagalan masyarakat multikultural di negara mereka. Maksud mereka adalah orang-orang Muslim yang hidup dengan keyakinannya sendiri.

Pada dasarnya, para pemimpin Barat sedang berusaha menciptakan Islam Eropa yang tanpa identitas dan didasarkan pada nilai-nilai dan budaya demokrasi liberal Barat.

Islamophobia dan sentimen anti-Islam di Barat ditujukan untuk mengisolasi dan mengubah identitas umat Islam. Barat akan mencari alasan apapun – termasuk penolakan seorang Muslimah untuk berjabat tangan dengan non-muhrim – untuk membatasi dan merampas hak-hak masyarakat Muslim. 

Read 609 times