Umat manusia menerima akan hakikat perang yang pahit dan konsekuensinya selama periode kehidupan manusia yang telah meninggalkan banyak korban. Meskipun ada dokumen, perjanjian dan otoritas internasional yang kompeten, tetap saja umat manusia menyaksikan konflik bersenjata dan bagian terbesar dari korban perang ini adalah anak-anak.
Tidak ada yang dapat menyangkal efek langsung dari perang saudara atau internasional terhadap keamanan, kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan, kesehatan dan ekonomi bangsa-bangsa. Perang secara alami menyebabkan banyak kerugian materi, manusia, moral dan budaya, dan dalam kasus anak-anak pasti menargetkan semua hak mereka; hak untuk hidup, hak untuk keluarga dan masyarakat, hak untuk kesehatan dan hak atas pendidikan anak-anak yang harus tunduk pada dampak perang yang tidak diinginkan.
Rehabilitasi dan dukungan anak-anak, baik selama dan setelah perang adalah salah satu tugas pemerintah. Selama perang atau selama pemindahan dan pengungsian, anak mungkin kehilangan ayah atau ibu atau keduanya, yang akan memiliki banyak efek negatif pada kehidupan anak. Efek pertama adalah penyakit mental yang disebabkan oleh kehilangan orang tua dan hilangnya semangat. Masa depan anak-anak yang tidak dilindungi di masa depan terlihat kabur. Kurangnya gizi dan pekerjaan yang tepat untuk membantu keluarga adalah salah satu faktor yang memungkinkan anak putus sekolah dan menjauhkan mereka dari sekolah. Perlu dicatat bahwa keberadaan kerabat dekat bagi sebagian anak dapat mengatasi kekosongan orang tua, sementara masalah anak-anak yang kehilangan semua anggota keluarga mereka jauh lebih akut dan status mereka lebih membutuhkan banyak dukungan.
Komunitas internasional telah memulai dukungannya untuk anak-anak sejak Perang Dunia I. Ini merupakan keprihatinan bagi sejumlah pemerintah Eropa dan Amerika Utara untuk mencegah bencana di masa depan. Perhatian khusus kepada anak-anak adalah penting bagi masa depan masyarakat manusia.
Tentu saja, dengan pecahnya Perang Dunia II, tidak ada dukungan khusus bagi warga negara, dimana di antaranya ada ribuan anak. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1949, komunitas internasional menyetujui Konvensi Jenewa Keempat, tentang Perlindungan Perang dan Perlindungan Anak-anak ketika munculnya konflik bersenjata. Namun, selama abad kedua puluh dan bahkan sesudahnya, perlindungan anak-anak telah menjadi perhatian bagi masyarakat internasional.
Secara total, peraturan dan langkah-langkah internasional dan regional untuk melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata dapat dijelaskan lebih lanjut: Konvensi Keempat Jenewa tahun 1949 dan dua Protokol Tambahan 1977, Deklarasi Hak-Hak Anak 1959, Konvensi Hak-Hak Anak di tahun 1989, Protokol Tambahan untuk Konvensi Hak-hak Anak tentang Partisipasi Anak-anak dan Perempuan dalam Konflik Bersenjata pada tahun 2000; Statuta Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 1998; Konvensi No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Rekomendasi No. 190, Hak dan kesejahteraan anak yang diadopsi pada tahun 1990 dan berlaku pada 1999, dan beberapa resolusi dikeluarkan oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.
Selanjutnya, misalnya, kami akan menyebutkan beberapa aturan di atas dan memberikan beberapa dokumentasi khusus anak:
Pasal 17 Konvensi Keempat Jenewa menetapkan bahwa para pihak yang terlibat konflik harus menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk perjalanan anak-anak dan wanita hamil dari daerah-daerah yang terisolasi. Juga, Pasal 23 menyatakan bahwa setiap negara berjanji untuk mengizinkan semua persediaan medis dan sanitasi. Pasal 38, paragraf 5, dari Konvensi yang disebutkan di atas, menekankan bahwa anak-anak di bawah usia 15 tahun dilindungi secara khusus.
Titik kritis yang penting adalah bahwa penegakan peraturan ini dapat dilihat dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Menurut undang-undang, pelanggaran peraturan ini bisa menjadi contoh kejahatan perang.
Dalam dokumen khusus anak, telah disampaikan sebagai dasar untuk berpikir tentang melindungi anak-anak dari Perang Dunia I dan II, masalah perlindungan anak selama konflik dan konflik bersenjata. Dalam Deklarasi Majelis Umum PBB tentang Hak-hak Anak tahun 1959, Majelis Umum telah menyatakan secara umum bahwa anak-anak harus didukung dan diberikan fasilitas dalam situasi tertentu, dimana situasi konflik dapat dianggap sebagai salah satu contoh. Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak kemudian secara khusus membahas masalah melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata dan tidak boleh diikutkan dalam angkatan bersenjata. Pasal 38 Konvensi menetapkan:
1. Negara-negara anggota Konvensi berkomitmen untuk menghormati aturan kemanusiaan internasional selama konflik bersenjata yang ada hubungan dengan anak-anak.
2. Negara-negara anggota Konvensi akan mengambil tindakan praktis untuk menentukan bahwa orang yang berusia kurang dari 15 tahun tidak terlibat langsung dalam konflik.
3. Negara-negara anggota Konvensi akan menahan diri untuk tidak merekrut orang di bawah 15 tahun di angkatan bersenjata mereka. Negara-negara ini akan memberikan prioritas kepada orang tua untuk mempekerjakan orang di atas usia 15 dan di bawah usia 18 tahun.
Masalah dengan artikel ini adalah bahwa tampaknya anak-anak berusia 15 hingga 18 tahun belum terlindungi secara memadai. Karena alasan ini, pada tahun 2000, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Protokol Opsional untuk Konvensi Hak-Hak Anak tentang anak-anak dalam perang, yang mulai berlaku pada tahun 2002. Artikel Protokol Tambahan menetapkan, "Negara-negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa orang di bawah usia 18 tahun tidak berpartisipasi dalam angkatan bersenjata untuk terlibat dalam permusuhan dan perang."
Dalam ajaran agama dan perintah Nabi Saw dan Maksumin as, agama Islam juga telah memberikan banyak penekanan pada masalah dukungan untuk anak-anak dan perempuan dalam konflik bersenjata. Dalam perintah Nabi Saw dan para Imam Maksum as tentang tugas-tugas mereka yang ikut dalam jihad tidak boleh menyerang anak-anak, sekalipun anak-anak itu membantu lawan. Sebagai contoh, dalam riwayat Imam Shadiq as yang mengutip dari Nabi Muhammad Saw:
"Ketika Rasulullah Saw menjadi komandan pasukan untuk berperang, pertama-tama beliau mewasiatkan dirinya untuk memperhatikan wahyu ilahi tentang dirinya dan pasukannya, kemudian beliau bersabda, 'Dengan nama Allah dan berjalan di jalan Allah. Berperanglah melawan musuh-musuh Allah, jangan berbuat makar, jangan berkhianat, jangan memutilasi mereka yang terbunuh, jangan membunuh anak-anak dan mereka yang sedang beribadah. Jangan membakar pohon kurma dan jangan menenggelamkan dalam air, jangan memotong pohon yang ada buahnya dan tidak membakar tanaman. Karena kalian tidak tahu bahwa mungkin suatu saat kalian membutuhkannya. Hindari membunuh hewan berkaki empat dan halal dagingnya, kecuali kalian terpaksa harus memakannya. Ketika berhadap-hadapan dengan musuh umat Islam, ajak mereka kepada tiga hal ini; memeluk agama Islam, membayar jizyah dan meninggalkan medan perang. Ketika mereka menjawab positif satu dari tiga ajakan tersebut, kalian harus menerima mereka tidak melakukan apa-apa terhadap mereka."
Hadis yang sama telah dikutip dari Nabi Saw dalam buku-buku sejarah tentang beliau. Para ahli fikih Syiah dalam masalah jihad juga telah sepakat bahwa membunuh perempuan, anak-anak dan ... dilarang di tengah peperangan.
Perlu dicatat bahwa dalam Perjanjian tentang Hak-Hak Anak dalam Islam yang telah diratifikasi oleh Organisasi Kerjasama Islam dalam 26 butir, para penyusun perjanjian itu di pengantarnya menyebutkan:
"Mengingat bahwa anak-anak sebagai bagian dari komunitas yang rentan dalam masyarakat berada pada risiko terbesar menderita bencana alam atau bencana buatan manusia yang mengarah pada konsekuensi yang tidak terduga seperti pengabaian, pengungsian, eksploitasi anak-anak dalam tentara atau kerja keras, serta memperhitungkan penderitaan anak-anak pengungsi dan anak-anak yang berada di bawah kekuasaan pendudukan atau pengungsian atau konflik bersenjata dan kelaparan, sebagaimana disepakati ..."
Berdasarkan dokumen dan perjanjian internasional serta ajaran Islam, perlindungan anak selama konflik masa perang dan bersenjata adalah sangat penting dan pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi strata yang rentan ini. Ada banyak penekanan dalam ajaran Islam untuk mendukung kelompok-kelompok rentan, termasuk anak-anak, namun kita masih melihat bahwa banyak anak di seluruh dunia menjadi korban perang dan konsekuensi buruknya.