Print this page

Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (2)

Rate this item
(0 votes)
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (2)

Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?

Sikap Imam Khomeini terhadap kami mengingatkan kami pada gaya hidup Rasulullah Saw. Meskipun beliau sibuk dengan kajian dan mengajar fiqih, namun beliau tidak sampai melalaikan anak-anaknya. Beliau tidak melupakan hak-hak keluarga dan kewajibannya mendidik anak-anaknya. Untuk mewujudkan masalah ini, setiap hari beliau menyisihkan waktunya untuk menyenangkan anak-anaknya bahkan bermain dengan mereka. Namun saat bermain dengan anak-anaknya beliau tidak melupakan pesan pendidikan di dalamnya.

Saya masih ingat ketika masa kanak-kanak, saya dan dua orang saudara perempuan saya yang lebih besar; mereka berusia sembilan dan sebelas tahun. Padahal sebelumnya sudah diingatkan oleh Imam Khomeini untuk tidak pergi ke rumah tetangga, tapi kami tetap saja pergi ke sana. Untuk menghukum kakak saya yang lebih besar, beliau mengambil sebuah ranting dan memukulkannya ke dinding untuk membuat jera kakak saya. Ranting itu putus dan sebagian dari kayunya terlempar mengena kaki kakak saya. Setelah beberapa saat kakinya sedikit merah. Imam Khomeini kemudian mengetahui hal ini dan melihat kaki kakak saya yang sedikit merah. Kemudian beliau membayar diyahnya kepada kakak saya dan dengan menjaga kondisi yang ada, beliau mengulangi lagi perintahnya.

Ketika kami masih kanak-kanak, setelah Zuhur kami bermain. Sehingga membuat Imam Khomeini tidak bisa tidur. Namun yang dilakukan Imam Khomeini adalah memanggil salah satu dari kami; itu berarti kami terlalu ribut dan mengganggu. Saya sering mendengar beliau berkata:

“Sore hari ini saya tidak tidur. Anak-anak membuat saya tidak bisa tidur.”

Tentunya ucapan ini dalam bentuk obrolan yang disampaikan kepada ibu kami. Bukan sebuah kemarahan yang ditujukan kepada kami misalnya, “Mengapa kalian menganggu? Atau mengapa kalian ribut?”

Ketika musim panas dan saya masih kanak-kanak, Imam Khomeini dan ibu berada di halaman sedang menanam bunga. Waktu itu setelah shalat Magrib dan Isya. Imam menggemburkan tanah taman dengan pisau dapur. Ibu saya yang menanam bunganya. Kami dan anak-anak tetangga sedang sibuk bermain di dalam ruangan. Di balik jendela tersusun kasur lipat. Kakak perempuan saya mengangkat salah satu anak tetangga dan mendudukkannya di atas kasur kuat-kuat. Sehingga punggungnya mengena kaca jendela dan pecahlah kaca jendela itu. Kaca hancur dari atas sampai ke bawah dan jatuh tepat di mana Imam Khomeini dan ibu kami sedang sibuk menanam bunga. Kami berpikir bahwa Imam Khomeini pasti melakukan protes pada kami. Tapi beliau tidak mengatakan apa-apa. padahal tangan beliau terluka dan darahnya mengalir. Beliau hanya memanggil pembantu yang ada di rumah kami dan meminta untuk membersihkan serpihan kaca-kaca itu.

Kalaupun karena suatu hal kami harus dihukum, malamnya beliau bersikap sedemikian rupa untuk menyenangkan hati kami. Kami pada masa itu tidak memahaminya, tapi sekarang ketika masa telah berlalu, kami baru memahami akan kasih sayang Imam Khomeini. Suatu malam beliau membeli permen untuk saya karena saya habis dihukum. Beliau berkata:

“Ini saya beli untuk Fahimeh.”

Secara keseluruhan, sikap Imam Khomeini pada anak-anaknya sangat lembut. Meskipun beliau punya cucu yang berusia dua sampai tiga tahun dan anak-anak yang berusia tiga puluh sampai empat puluh tahunan, tidak ada sesuatu yang bisa disembunyikan dari beliau. Karena kecerdasannya beliau sangat cepat memahami sesuatu. Imam Khomeini tidak pernah bertanya kepada anak-anak, “Kamu tadi di mana?” tujuannya supaya bila kami tidak ingin mengatakannya, kami tidak harus terpaksa berbohong. Bahkan ketika kami mengatakan, “Kami mau pergi.” Mungkin sekali saja beliau mengatakan:

“Mengapa? Tinggal di sini saja.”

Tapi tidak sampai seseorang dalam dirinya lantas mengatakan bila saya sekarang pergi, maka tidak pantas dan berarti tidak mengamalkan ucapan Imam Khomeini. Justru malah sebaliknya, sikap Imam Khomeini sedemikian rupa sehingga kita senantiasa ingin tetap tinggal di sisinya. Saya masih ingat, bila saya baru pulang dari luar, beliau tidak pernah menanyakan, “Kamu tadi di mana?” bila saya ingin keluar dari rumah, beliau tidak pernah mengatakan, “Kamu mau kemana? Tapi mengatakan:

“Kalau bisa tetaplah tinggal [di sini]!”

Secara umum beliau sangat memberi kebebasan pada anak-anaknya. Beliau mengatakan:

“Biarkan mereka menumpahkan, memegang, mengotori. Biarkanlah. Anak-anak harus begitu.”

Beliau juga tidak akan menasihati anak-anak yang lebih besar. Pada hakikatnya beliau adalah contoh praktis bagi anak-anak. Imam Khomeini memberikan kebebasan pada cucu-cucunya sebagaimana beliau memberikan kebebasan pada anak-anaknya. Ketika cucu-cucunya mengelilinginya, beliau sangat gembira. Bila ibunya ingin mencegahnya agar tidak sampai mengganggu Imam Khomeini, beliau melarangnya dan mengatakan:

“Mereka ini anak-anak. Biarkan bermain.”

Cucu-cucunya memegang jenggotnya, menggeluti lutut, kaki dan memutari kakinya. Atau menaiki badannya untuk mematikan dan menyalakan tombol stop kontak lampu. Selama itu Imam Khomeini tidak marah dan tidak protes. Kecuali bila ada kerjaan. Terkadang ketika sedang menonton tv, anak-anak melanjutkan permainannya dan mengganggunya.

Imam Khomeini telah memberikan kebebasan mutlak pada kami saat masa kanak-kanak dan beliau tidak mempersulit urusan kami. Namun ketika kami menjelang usia baligh dan semakin besar, beliau mengawasi sebagian urusan kami. Dengan semua ini, sikap beliau terhadap cucu-cucunya yang masih remaja dan muda berbeda dengan sikap beliau terhadap orang-orang dewasa. Sikap beliau terhadap kami lebih serius, juga ketika menyampaikan hal-hal tertentu kepada kami. Namun terhadap cucu-cucu perempuannya yang masih remaja dan muda, beliau menyampaikannya dengan dibarengi canda. Terkadang kami mengeluh; misalnya anak perempuan saya tidak mau mendengarkan kata-kata saya. Terkait masalah ini beliau  senantiasa membela para pemuda. Beliau meyakini bahwa anak-anak muda ini yang harus dijaga perasaannya.

Bila kami ada hubungan persahabatan dengan sebuah keluarga yang disetujui Imam Khomeini, maka beliau tidak ada urusan dengan urusan lainnya. Tidak penting kapan kami pergi dan kembali dan tinggal di sana berapa hari. Sekalipun di rumah teman-teman. Kebebasan ini membuat kami merasa mendapatkan kebebasan dari sisi kejiwaan. Sikap dan perilaku Imam Khomeini mengingatkan kami pada teladan nyata akhlak Islam. Berkecimpung dengan beliau sangat mempengaruhi jiwa dan mental kami.

Imam Khomeini sebelum Zuhur mengajar di rumah dan para santri datang belajar kepada beliau. pelajaran selesai pada pukul setengah dua belas. Beliau bermain dengan kami sampai pukul dua belas kurang sepuluh menit, kemudian mengambil wudhu dan mengerjakan salat. Tentunya jangan sampai tak tersampaikan, Imam Khomeini sangat menentang terkait membeli mainan. Oleh karena itu, kami membuat kelereng dari tanah liat. Kami bermain kelereng dengan menatanya secara berderet dan siapa saja yang berhasil membenturkan kelereng pada deretan kelereng yang ada, maka ia menang. Yakni kami bermain dengan kami sendiri. [setelah selesai mengajar] beliau datang dan bermain dengan kami selama dua puluh menit. Misalnya kalau kami main petak umpet maka salah satu berdiri menyembunyikan wajahnya pada pangkuan Imam Khomeini, kemudian yang lain bersembunyi.

Di semua hari raya beliau senantiasa memberikan hadiah kepada kami. Akhir-akhir ini Imam Khomeini memberikan hadiah kepada semua orang dewasa yang ada di rumah, masing-masing tiga ratus toman. Ketika kami di Najaf, Imam Khomeini memberikan hadiah masing-masing dua dinar. Suatu hari; di pagi hari raya, hari raya keagamaan atau non keagamaan; saya tidak ingat, kami menunggu pemberian hadiah dari Imam Khomeini. Beliau berkata:

“Hari ini saya tidak punya hadiah.”

Saya berkata, “Bagaimana Anda tidak punya hadiah?”

Beliau berkata:

“Saya memberikan hadiah dari uang milik saya sendiri. Sementara sekarang ini saya tidak punya uang. Itulah mengapa saya tidak bisa memberi hadiah.”

Namun kami tidak bisa menerima begitu saja tanpa hadiah. Akhirnya saudara perempuan kami yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada beliau supaya dipakai untuk memberi hadiah. Bila nanti mendapatkan uang maka pinjaman itu akan dikembalikan. Imam Khomeini berkata:

“Boleh jadi saya tidak mendapatkan uang. Bila tidak mendapatkan. Pinjaman pada kamu masih tetap.”

Kamipun berkata, “Insyaallah Anda akan mendapatkan.”

Kemudian saudara perempuan saya yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada Imam Khomeini. Imam Khomeini pun memberikan hadiah kepada kami dan beberapa hari kemudian membayar pinjamannya.

Sikap-sikap Imam Khomeini ini membuat kehidupan beliau menjadi sangat tenang dari sisi kekeluargaan. Beliau mengajarkan kepada kami dengan amal. Diamnya lebih banyak dari omongannya. Suatu hari ibu menyuruh saya, -saat itu saya berusia dua belas atau tiga belas tahun- untuk mengambilkan sesuatu dari kamar dan memberikannya kepada beliau. Dengan mudah saya berkata, “Tidak. Saya tidak mau mengambil dan memberikan.” Dan saya tidak menaatinya. Imam Khomeini mendengar ucapan ibu dari halaman dan pelan-pelan beliau mendatangi saya, dalam kondisi menyingsingkan lengannya dan dengan sikapnya ingin menunjukkan bahwa beliau akan memukul saya. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti saya dan saya harus melarikan diri. Namun saya tidak lari dan Imam pun mendekati saya dan saya kena pukul karena tidak menaati ibu. Kejadian itu membuat saya, setiap kali ibu meminta sesuatu dari saya, saya pasti mengatakan, “Iya!” terkait kedudukan ibu, berkali-kali kepada saya Imam Khomeini berkata:

Bila dikatakan, surga berada di bawah telapak kaki ibu; yakni engkau harus menundukkan wajahmu sampai ke tanah di depan kaki ibu, supaya Allah membawamu ke surga.”

Imam Khomeini tidak pernah membangunkan seseorang untuk mengerjakan salat Subuh. Yakni bila kami sedang tidur, beliau begitu pelan dalam mengerjakan salat; baik salat malam maupun salat Subuh, supaya jangan sampai kami terbangun. Kecuali bila seseorang berpesan kepada beliau agar membangunkannya untuk mengerjakan salat Subuh. Kami pun senantiasa berpesan kepada beliau agar membangunkan kami dan beliau pun membangunkan kami.

Saya benar-benar masih ingat; beliau pelan-pelan bangun dari tidur dan mengerjakan salat. Ketika mau mengambil wudu beliau berusaha suara langkah kakinya jangan sampai mengganggu ketenangan orang lain. Beliau senantiasa mengajak orang lain untuk mengerjakan kewajiban bukan dengan ucapan, tapi dengan amal. Beliau senantiasa berusaha menggabungkan ucapan yang benar dengan keindahan, ketenangan dan kelembutan. Dalam hal ini beliau tidak pernah menggunakan kekerasan dan tidak pernah menunjukkan; ibadah kepada Allah dan mengerjakan kewajiban sebagai sesuatu yang berat dan melelahkan di mata orang lain.

Program keluarga suami saya adalah membangunkan anak untuk mengerjakan salat Subuh. Itulah mengapa, meskipun saya kurang setuju dengan cara ini, suami saya tetap membangunkan putri saya yang sudah mencapai usia taklif untuk mengerjakan salat Subuh. Dia meyakini bahwa anak harus dibiasakan bangun untuk mengerjakan salat Subuh. Setelah beberapa lama kami pergi ke Najaf menemui Imam Khomeini. Di sana, kepada Imam Khomeini saya berkata, “Boroujerdi membangunkan Laili untuk mengerjakan salat Subuh.”

Imam Khomeini berkata:

Sampaikan ucapan saya kepadanya’ Jangan merusak tidur pada anak dan wajah Islam yang indah pada perasaan anak.”

Ucapan ini benar-benar berpengaruh pada jiwa saya dan putri saya dan setelah itu putri saya senantiasa berpesan agar saya bangunkan dia pada waktunya untuk mengerjakan salat Subuh.

Imam Khomeini tidak pernah ikut campur sama sekali dalam memberikan nama pada cucu-cucunya. Khususnya bila cucu dari anak perempuan. Bila beliau punya pendapat tentang nama cucu dari anak perempuan, maka beliau mengirim pesan kepada ayahnya. Namun, nama anak seperti Fathimah, Zahra dan Husein, Imam Khomeini yang memilihnya. Imam Khomeini lah yang memilih nama Ali, untuk putranya Ahmad Agha. Pada mulanya nama lain sudah dipilih untuknya, tapi Imam Khomeini mengatakan, “Ali”.

Jarang terjadi beliau memberikan nasihat. Kebanyakan beliau menunjukkan melalui amalnya, perbuatan apakah yang baik dan perbuatan apakah yang buruk. Kami memahaminya dari reaksi beliau, apakah perbuatan itu buruk. Reaksi Imam Khomeini juga berbeda terkait berbagai macam masalah. Beliau sangat keras dalam menyikapi hal-hal yang haram dan yang wajib. Namun terkait hal-hal yang mustahab, tidak begitu. (Emi Nur Hayati)

Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.

Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
 

Read 2307 times