Print this page

Allamah Sayid Haidar Amoli.

Rate this item
(0 votes)
Allamah Sayid Haidar Amoli.

 

Allamah Sayid Haidar Amoli Amuli adalah seorang arif besar Syiah, mufasir al-Quran, pakar hadis, dan faqih terkenal yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah. Dia adalah salah satu faqih dan teolog pertama yang membangun ikatan yang dalam antara Syiah dan Sufisme.

Ulama dan arif besar ini, terlepas dari semua kapasitas dan pengaruhnya di bidang irfan Syiah, tetapi ia tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum dan bahkan oleh para pemikir. Namun, Henry Corbin, seorang filsuf Muslim Prancis, dan Profesor Osman Yahya – keduanya merupakan dosen di Universitas Sorbonne Prancis – telah menerbitkan sejumlah karya milik Allamah Sayid Haidar Amoli selama beberapa dekade terakhir. Langkah ini membuat komunitas ilmiah dan akademis dunia mengenal pemikiran dan kepribadian Sayid Haidar Amoli.

Allamah Sayid Haidar Amoli lahir pada tahun 720 H di kota Amol, Provinsi Mazandaran, Iran. Selama masa mudanya, Sayid Haidar Amoli mempelajari ilmu-ilmu formal pada masanya dengan baik, dan karena ketertarikannya pada ilmu irfan Syiah Imamiyah, dia mulai serius mempelajari dasar-dasar ilmu irfan di samping pendidikan formalnya.

Sayid Haidar Amoli kemudian hijrah ke kota Khurasan dan Isfahan – pusat penting ilmu pengetahuan pada masa itu – untuk menyempurnakan jenjang pendidikannya. Lima tahun kemudian, pada usia 25 tahun ia kembali ke kampung halamannya sebagai seorang alim yang terkenal. Kemasyhuran Sayid Haidar Amoli di bidang ilmu dan akhlak terdengar sampai ke istana penguasa Thabaristan. Raja mengundang ilmuwan muda ini ke istana dan mengangkatnya sebagai menteri.


Masa itu, Sayid Haidar Amoli telah mencapai derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, di samping status sosialnya yang sangat dihormati dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Saat sedang di puncak kemapanan dan kesejahteraan, ia menyadari bahwa kehidupan yang seperti itu tidaklah berguna dan sebuah guncangan batin muncul dalam dirinya.

Sayid Haidar Amoli meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk tanah air, jabatan, kekayaan, dan keluarga. Dia hanya membawa bekal seperlunya dan kemudian pergi menziarahi Baitullah, makam suci para imam Ahlul Bait as, dan tempat-tempat suci lainnya di Irak, Palestina, Mekkah, dan Madinah. Inilah awal dari petualangan spiritual dan kehidupan baru Sayid Haidar Amoli.

Sayid Haidar Amoli kembali ke Irak pada usia 30 tahun setelah mengunjungi Baitullah, makam Nabi Saw, dan makam-makam para imam Ahlul Bait as. Di Irak, dia kembali belajar kepada para ulama besar seperti, Fakhr al-Muhaqiqin – putra Allamah Hilli – dan Maulana Nasir al-Din Kashani Hilli, dan mendapat perhatian khusus darinya.

Dia telah menguasai dasar-dasar irfan Islam sejak remaja dan sekarang mulai mempraktikkan dalam kehidupannya dan menjalani tahapan sairus suluk menuju kepada Allah Swt. Pintu ilmu hakikat terbuka baginya satu demi satu karena keikhlasan dan niat yang suci untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, di samping tekad yang kuat untuk meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya melupakan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli selain menguasai ilmu fiqih, tafsir, dan pengetahuan Ahlul Bait, juga merupakan seorang pesuluk dan arif. Ulama besar ini yakin bahwa sufisme murni – yang terlepas dari distorsi dan dua kutub ekstrem; ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) – masih satu paham dengan Syiah murni yaitu sunnah dan sirah Rasulullah Saw dan Ahlul Bait as. Syiah murni adalah sufi, dan sufi yang sejati adalah Syiah, meskipun secara lahiriyah tidak demikian.

Sayid Haidar Amoli menulis sejumlah buku dengan tujuan mengawinkan sufisme dan Syiah. Dia telah melakukan kajian dan penelitian yang luas tentang kedua topik ini. Ketika keyakinannya tentang kedekatan tasawuf dan Syiah tersebar luas, para tokoh Syiah di Irak sangat menentangnya, tetapi Sayid Haidar Amoli berkata kepada mereka, “Saya mengetahui sesuatu yang tidak kalian ketahui dan masih ada yang lebih alim di atas setiap orang alim.”


Irfan adalah salah satu cabang ilmu keislaman yang berbasis pada ajaran al-Quran dan Ahlul Bait. Secara istilah, irfan mengacu pada sebuah pengetahuan khusus yang diperoleh melalui syuhud (penyaksian) meta-indra dan meta-akal. Karena syuhud semacam ini biasanya membutuhkan latihan khusus, maka kegiatan mempraktikkan sairus suluk juga disebut ilmu irfan. Jadi, seorang arif sejati adalah orang yang menjalankan latihan khusus dan memperoleh pengetahuan intuitif dan syuhud tentang Tuhan, sifat-sifat, dan perilaku-Nya.

Sayid Haidar Amoli menentang keras sikap ifrath dan tafrith yang diperlihatkan oleh sebagian sufi, dan ia menjelaskan prinsip-prinsip irfan Islam yang otentik dengan memanfaatkan ajaran Ahlul Bait.

Dia menghubungkan prinsip ilmu irfan dengan wilayah (kepemimpinan), di mana irfan yang menolak kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah berarti bukan irfan dan tasawuf sejati. Sayid Haidar Amoli menganggap jalan hidayah masyarakat akan terjamin dengan berpegang pada syariat dan kepemimpinan Ahlul Bait. Dia secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah adalah inti dari kenabian dan kepemimpinan Ahlul Bait diperlukan untuk mempertahankan eksistensi dan tali penghubung semua makhluk di alam semesta dengan Tuhan.

Sayid Haidar Amoli menulis beberapa buku untuk mencapai tujuan besarnya. Kitab Jami’ al-Asrar merupakan referensi terpenting untuk mengetahui pemikiran Sayid Haidar Amoli tentang ikatan kaum sufi dengan mazhab Syiah Imamiyah. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan pendapatnya tentang topik yang sangat penting yaitu “Khatm al-Wilayah” dan mengkritik pemikiran Ibnu Arabi, sufi besar Dunia Islam.

Kajian tentang konsep Khatm al-Wilayah memiliki tempat khusus dalam ilmu irfan Islam. Artinya, dengan berakhirnya periode kenabian, wilayah yang merupakan inti sari dari nubuwah tidak berakhir, tetapi di setiap zaman dan waktu, seorang imam maksum – sebagai khalifah Rasulullah – harus selalu hadir di tengah umat sebagai perantara rahmat Ilahi.

Dengan kata lain, meskipun pintu kenabian dan risalah telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw – sebagai nabi terakhir, – namun pintu wilayah dan kepemimpinan Ahlul Bait as masih terbuka.

Sayid Haidar Amoli dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa setelah berakhirnya periode kenabian, era kepemimpinan melalui 12 imam maksum dari Ahlul Bait Nabi as telah dimulai. Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as adalah penutup para wali dan tidak ada pintu hidayah, kesempurnaan, dan kebahagiaan kecuali melalui perantaraan Khatam al-Auliya. Inilah salah satu topik penting yang membedakan antara tasawuf dan irfan Syiah dari tasawuf di kalangan Sunni.

Makam Sayid Haidar Amoli di kota Amol, Iran.
Sebagian peneliti meyakini bahwa Ibnu Arabi juga sependapat dengan Sayid Haidar Amoli mengenai masalah tersebut, namun ia menyembunyikan akidahnya karena kondisi sosial dan politik waktu itu, dan tidak mengutarakan pendapatnya secara eksplisit.

Upaya Sayid Haidar Amoli untuk merumuskan prinsip-prinsip ilmu irfan Syiah telah membuahkan hasil, dan pemikiran serta tulisannya terutama buku Jami’ al-Asrar dan Manba’ al-Anwar telah menjadi rujukan yang kredibel bagi mereka yang tertarik dengan irfan Islam dari zaman dulu dan bahkan sampai sekarang.

Dia mampu menjelaskan secara terbuka apa yang tidak disampaikan oleh Ibnu Arabi karena tuntutan kondisi, dan berhasil merangkul banyak ulama Syiah untuk mendukung pandangannya tentang konsep irfan Syiah.

Tidak ada catatan pasti tentang tahun-tahun terakhir dari kehidupan Sayid Haidar Amoli dan waktu wafatnya. Dikatakan bahwa di akhir hayatnya, Sayid Haidar Amoli memilih mensucikan jiwanya dan menjalani hidup terasing. Sepertinya ia meninggal dunia setelah tahun 792 H dan tempat pemakamannya tidak diketahui pasti. Sebagian percaya bahwa ia dimakamkan di Hillah, Irak, dan sebagian yang lain berkata kuburannya berada di kampung halamannya kota Amol, Iran.

Read 559 times