Print this page

Sejarah Hidup Juwairiyah binti Al-Harits  

Rate this item
(11 votes)
Sejarah Hidup Juwairiyah binti Al-Harits   

 

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

Pertempuran Bani Mustalaq

Pada tahun keenam Hijrah, tepatnya pada bulan Sya'ban, telah tersebar berita ke Madinah bahwa Harits bin Abi Diraar, kepala suku Bani Mustalaq, sedang mengumpulkan senjata dan pasukan militer untuk menyerang Madinah. Nabi memutuskan untuk dapat mengalahkan mereka di tanah mereka sendiri, oleh karena itu, tentara-tentara kaum muslimin bersama dengan nabi, bergerak ke arah mereka sampai mereka sampai di salah satu mata air di tanah mereka dengan nama Muraysi di wilayah Qadid. Awalnya, nabi (SAW) memerintahkan untuk mengajak mereka mememluk Islam, tapi mereka menolak ajakan tersebut dan pertempuran pun terjadi. Umat Islam pun berhasil keluar sebagai pemenang, dan mendapatkan banyak rampasan perang dan tahanan, seperti; dua ribu unta, lima ribu domba dan dua ratus keluarga tahanan. Di antara tahanan tersebut, adalah putri berusia dua puluh tahun dari Harits bin Abi Diraar, kepala suku. Nama lengkap ayahnya adalah Harits bin Abi Diraar bin Habib bin Ha'idh bin Maalik bin al-Mustalaq bin Sa'id bin Amr bin Rabi'ah bin Haarithah bin Khuzaa'ah.

 

Pemicu Pertempuran Bani Mustalaq

Suku Bani Mustalaq, yang berjarak lima manzil (hitungan jarak pada waktu itu) dari Madinah, telah merencanakan untuk mengepung kota Madinah dengan bantuan sekutunya dari suku-suku Arab lainnya. Nabi (SAW) diberitahu tentang ini oleh karena itu Nabi mengirim seseorang dengan nama Barid ke tanah mereka untuk melihat masalah ini secara langsung. Ia berkomunikasi kepala suku tak dikenal dan belajar memahami strategi lawan. Setelah kembali ke Madinah, ia laporan segala yang didapatnya. Ia membawa beberapa berita bermanfaat untuk nabi (SAW). Pada saat yang sama, mata-mata mereka tertangkap di kalangan umat Islam, dan terpaksa tidak dapat memberikan kabar kepada komplotannya atas apa yang telah terjadi. Setelah mengetahui rencana mereka, nabi (SAW) pun mengambil ofensif dan menyerang mereka duluan. Keberanian para tentara Muslim dan membuat para lawan takut dan para prajurit musuh pun tercerai berai yang berakhir pada dengan sepuluh kematian dari sisi mereka dan satu syahid dari pihak Muslim. Dengan kekalahan mereka, banyak kekayaan datang untuk tentara Islam dan perempuan mereka dibawa sebagai tawanan.

 

Alasan Berbagai Pertempuran di zaman Nabi (SAW)

Kemampuan militer dan kekuatan Islam sangat signifikan pada tahun keenam Hijrah, sejauh bahwa kelompok khusus dari mereka dengan bebas dan mudah bisa pergi ke dekat Makkah dan kembali tanpa masalah; tapi kekuatan militer mereka tidak dimaksudkan untuk menaklukkan tanah dan penjarahan kekayaan mereka. Jika bukan karena orang musyrik merampas kebebasan umat muslim, dan jika mereka telah mengizinkan umat Islam untuk menyebarkan agama mereka tanpa pelecehan, maka Nabi (SAW) pun tidak akan pernah terpaksa untuk menggunakan kekerasan, namun, karena umat Islam dan para mubaligh mereka yang terus menerus dalam bahaya dan terancam oleh musuh-musuh mereka, maka  pemimpin negara Islam tidak punya pilihan selain untuk memperkuat pasukan pertahanan Islam.

Alasan pertempuran Nabi (SAW) yang berlangsung sampai hari-hari terakhirnya adalah salah satu dari hal berikut:

a) Pembalasan untuk pelanggaran yang tidak manusiawi dari orang musyrik, seperti yang terjadi dalam pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq.

b) Menghukum para pemberontak yang telah membunuh umat Muslim dan delegasinya ditengah-tengah padang pasir dan daerah terpencil, atau karena mereka telah merusak perjanjian dengan kaum Muslimin dan karena jika tidak melakukan perang maka Islam terancam akan punah, seperti yang terjadi dalam pertempuran dengan tiga suku Yahudi dan Bani al-Hayyaan.

c) Untuk menetralisir mobilisasi yang berkembang dari suatu suku yang menentang dan membuat persiapan untuk menyerang Madinah setelah mengumpulkan senjata yang diperlukan dan sumber daya militernya.

 

 

Juwairiyah

Juwairiyah binti Harits (670 atau 677 M) adalah seorang putri Arab dan putri sulung dari suku Khuzaa'ah. Ayahnya adalah kepala suku Bani Mustalaq. Setelah kekalahan dalam pertempuran, kekayaan mereka diamankan dan laki-laki juga perempuan mereka dibawa sebagai tawanan, salah satu wanita tawanan tersebut adalah Barrah, putri Harits yang kemudian dikenal dengan nama Juwairiyah. Beliau adalah istri dari Naafi' bin Safwaan, sepupu dari pihak ayah, yang tewas dalam pertempuran.

Beliau menjadi bagian dari rampasan dari Tsabit bin Qais bin Shammaas Ansaari dan sepupunya. Mereka sepakat bahwa dia bebas setelah membayar tujuh mithqaals emas. Pada waktu itu, tawanan perang bisa membebaskan diri dengan membayar uang tebusan.

Tebusan ditentukan oleh Tsabit untuk kebebasan Barrah beberapa kali lebih banyak dari jumlah yang biasanya dan beliau sendiri tidak mampu membayar, jadi beliau mencari bantuan kepada nabi (SAW) melalui Ali (a.s).

 

Kisah yang diceritakan oleh Aisyah:

Halabi menceritakan kisah melalui perkataan Aisyah seperti sebagai berikut:

Aisyah telah meriwayatkan bahwa Juwairiyah adalah seorang wanita cantik. Semua yang melihat beliau maka akan tertarik padanya. Dalam perjalanan dengan nabi, ketika kami berada dekat dengan hamparan Muraysi', Juwairiyah datang ke nabi dan meminta beliau untuk kontrak mukaatabah (kontrak kebebasan imbalan uang dari seorang budak) dengan dia, maka Aisyah pun marah dan cemburu karena tahu bahwa nabi akan melihat keindahan yang sama seperti yang Aisyah lihat.

Dalam riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Juwairiyah berdiri di belakang tirai untuk kontrak mukaatabah dengan nabi. Ketika Aisyah menatapnya, Aisyah melihat kecantikan di wajahnya dan yakin bahwa ketika nabi juga melihat dirinya, ia juga akan senang. Beliau berkata kepadanya: "Aku akan membayar tebusan kontrak mukaatabah Anda dan juga akan menikah. Beliau menikahi putri kepala pemberontak dan ini mengakibatkan ikatan bisa dipecahkan antara nabi dan suku ini, dan banyak dari perempuan yang telah ditawan yang tanpa syarat dibebaskan hanya karena hubungan ini. Salah satu hasil dari nikah ini adalah kebebasan seratus tahanan perempuan.

Aisyah juga telah meriwayatkan: "Saya tidak tahu apakah ada wanita yang lebih diberkati untuk sukunya daripada Juwairiyah?"

Suku Bani Mustalaq semua memeluk Islam dan kemudian diberkati oleh Allah. Juwairiyah pindah ke rumah nabi. Rumahnya berada di dekat rumah-rumah dari Ummahatul Mukminin; Ummu Salamah, Aisyah dan Hafsah.

 

Kisah dari Para Sejarawan

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai cerita ini sampai penawanan Juwairiyah dan datang beliau ke nabi; mereka semua sepakat tentang semua apa yang telah diriwayatkan memang telah terjadi. Namun ada, perbedaan mengenai apa yang terjadi setelah itu; ada dua riwayat di sini:

Riwayat Pertama:

Nabi memilih Juwairiyah untuk dirinya sendiri dan setelah membagi harta rampasan perang dan tahanan kepada pasukan Muslim, beliau kembali ke Madinah. Kemudian ayah Juwairiyah ini, Harits, datang ke Madinah dengan sejumlah unta untuk membayar kebebasan putrinya. Dalam perjalanan, ia menyembunyikan dua unta ini di daerah Aqiq karena masih sayang untuk tetap memilikinya, dan datang ke nabi dengan sisa unta, kemudian meminta putrinya dengan menggantinya dengan tebusan yang dia bawa, dia pun mengatakan: "Wahai Nabi Allah, putri saya tidak bisa menjadi tawanan perang, karena dia adalah gadis yang mulia dan terhormat. "nabi menjawab," Jika demikian, lantas mengapa unta yang anda bawa anda sembuyikan lembah itu?! "Setelah mendengar hal ini, Harits dan anaknya memeluk Islam. Nabi memberikan pilihan kepada Juwairiyah untuk tinggal bersama beliau atau kembali ke ayahnya. Harits mengakui bahwa keputusan nabi memang adil. Akan tetapi, dia kemudian pergi ke Juwairiyah dan menanyakan ke putrinya: "Putriku!! Jangan mempermalukan suku Anda dengan tinggal di sini " Juwairiyah menjawab:" Tapi aku telah memilih Allah dan nabi-Nya "Ayahnya berkata:"Semoga Anda dikutuk! Melakukan apapun yang Anda inginkan! "Nabi kemudian membebaskan Juwairiyah dan beliau menjadi salah satu istrinya.

Riwayat Kedua:

Setelah membagikan rampasan, Juwairiyah diberikan kepada Tsabit dan sepupunya sebagai bagian mereka dari rampasan. Mereka menetapkan tebusan dari tujuh mithqaals emas untuk kebebasannya. Juwairiyah kemudian datang ke nabi yang sedang duduk di dekat air. Beliau mengumumkan bahwa sudah memeluk Islam dan mengatakan tentang tebusan kepada Nabi untuk meminta bantuan. Nabi berkata: "Saya akan membayar uang tebusan Anda dan juga akan membawa Anda sebagai istri saya."

Beliau adalah istri pertama Nabi yang tidak berasal dari suku Quraish.

Aisyah yang mana bersama nabi (SAW) dalam pertempuran ini, yang juga ditemani oleh Ummu Salamah, meriwayatkan cerita seperti ini:

"Juwairiyah adalah seorang gadis cantik yang siapa pun melihatnya, maka akan jatuh cinta dengannya. Saya dan nabi duduk di waktu musim semi di Muraysi' ketika beliau meminta Nabi (SAW) untuk membantunya agar menebusnya. Beliau berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah seorang yang baru memeluk Islam dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Anda adalah utusan-Nya. Saya Juwairiyah, putri Harits bin Abi Diraar, yang mana ayah saya adalah kepala sukunya dan Anda tahu apa yang telah menimpa saya. Saya telah diberikan sebagai bagian dari Tsabit bin Qays dan sepupunya dan mereka telah menetapkan tebusan untuk kebebasan saya tapi saya tidak mampu membayar. Saya berharap bahwa Anda membantu saya. Nabi berkata: "Ada pilihan yang lebih baik juga." Dia bertanya: "Dan apa itu?" Beliau menjawab: "Saya akan membayar tebusan dan Anda juga akan menikah" Juwairiyah mengatakan: "Baiklah, saya akan melakukannya." Nabi mengirim pesan kepada Tsabit untuk meminta beliau. Tsabit berkata: "Demi Allah, beliau adalah milik mu yaa Rasul Allah!" Nabi membayar tebusan dan membebaskannya. Ketika orang-orang mengetahui bahwa Nabi telah menikah dengannya dan menjadi pengantin pria dari suku Bani Mustalaq, maka mereka membebaskan tawanan mereka yang telah diambil sebagai rampasan perang dan peristiwa ini membuahkan hasil hingga terbebasnya seratus keluarga Bani Mustalaq. Jadi, saya tidak tahu wanita lain lebih diberkati dan bermanfaat bagi sukunya selain dari Juwairiyah."

 

 

Mas Kawin Juwairiyah

Ketika kembali dari Muraysi', nabi meninggalkannya dengan seorang pria dari Anshar dan memerintahkan dia melindunginya dan pergi ke Madinah. Kebebasan beliau (dari harta rampasan perang) adalah dianggap sebagai mas kawin beliau, dan menurut beberapa riwayat, ditambah dengan kebebasan empat puluh, atau semua tawanan Bani Mustalaq.

Tapi Juwairiyah sendiri menggambarkan kisah seperti ini: "Ketika Nabi membebaskan saya dan menikah dengan saya, Demi Allah saya tidak menyebutkan suku saya [yang telah diambil sebagai tahanan]. Itu adalah umat Islam sendiri yang [sukarela] membebaskan mereka. Seorang gadis kecil yang mana saudara sepupu saya datang kepada saya dan memberitahu saya kebebasan mereka, dan saya bersyukur kepada Allah.

Juga telah dikatakan bahwa mas kawinnya adalah empat ratus dirham, dan bahwa ia mengubah namanya dari Barrah ke Juwairiyah, karena nabi mengatakan bahwa Barrah, yang secara harfiah berarti 'reputasi', adalah bentuk kekaguman diri, meskipun nama ini adalah yang umum kemudian. Nabi memerintahkan beliau untuk berjilbab dan mewajibkan pada dirinya (Juwairiyah) seperti juga wajibnya hal ini bagi istri-istri nabi yang lainnya.

 

 

Alasan Perubahan Nama

Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa namanya berubah. Nabi mengubah nama dari sejumlah istri-istrinya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salmah, Maymunah dan Juwairiyah, sekaligus menjaga nama-nama lain, seperti Barrah binti Abi Najwah dan Barrah binti Sufyan, dan lain-lain.

 

Dari Pernikahan Hingga Wafatnya

Beliau tinggal dengan nabi selama lima tahun, akan tetapi tidak memiliki anak darinya dan akhirnya, pada tahun 56 H dan menurut beberapa riwayat lain 50 H, beliau wafat di Madinah. Jenazahnya dikawal sampai kuburan Baqi' dan dikuburkan di situ. Dikatakan bahwa Marwaan al-Hakam, penguasa Madinah pada waktu itu, dan Abu Haatam Hayyaan mensholatkan jenazah beliau.

Juwairiyah adalah seorang wanita solihah dan taat, beliau berpuasa hampir setiap hari dan menghabiskan sebagian besar malam dalam beribadah. Dari beberapat riwayat diceritakan tentang kesalehan dan ibadahnya yang menunjukkan maqom yang tinggi setelah beliau menjadi istri nabi (SAW).

Dalam bukunya Rayahin al-syari'ah, Dhabihullah Mahallati mengatakan: Juwairiyah adalah seorang wanita yang menarik dan lembuh dalam berbicara.

Beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ubaid bin Sabbaaq, keponakannya Tufayl dan lain-lain juga telah meriwayatkan darinya. Syekh Tusi juga telah menganggap beliau sebagai salah satu ‘ashab’ (sahabat) dalam buku rijal nya.

Dia adalah seorang wanita pandai dan juga periwayat hadits yang hidup 39 tahun setelah wafatnya Nabi (SAW).

 

Referensi:

Dzahabi, Taarikh Islam wa Wafayaat al-Mashaahir wa al-A'laam, edisi kedua, 1992, vol. 2, h. 259 / Khalifah bin Khayyaat, Taarikhe Khalifeh, vol. 1, h. 36 / Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 2, h. 290.

Maghaazi, edisi kedua, vol. 1, h. 407.

Maghaazi, ibid, h. 410./ Tabaqaat al-Kubraa, h. 49.

Dayyar Bakri, Syaikh Husain. Taarikh Khamis vi Ahwaal Anfus al-Nafis, h. 474./ Shaafi'i Halabi. Abu al-Faraj. Sirah Halabiyyah, edisi kedua, vol. 2, h. 380.

Taarikh Tabari, vol. 2, h. 260.

Ibid.

Shahid Khatibi, Husain, Shureshiyane Bani Mustalaq, pasal 34.

Miqrizi, Ahmad ibn Ali, Imtaa 'al-Istimtaa', hal. 84.

Halabi Ali bin Burhan al-Din, Al-Sirah al-Halabiyyah min Sirat al-Amin al-Ma'mun, vol. 2, h. 86-87.

Syaikh Mufid, Al-Irshaad fi Ma'rifat Hujajillah ala al-Ibaad, vol. 1, h. 118.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 295./ Ibn Hisyam, vol. 2, h. 290./ Manaaqib, h. 201.

Ibn Hisyam, vol. 2, h. 295./ Ibnu Asaakir. Taarikh Damishq. vol. 3. h. 218.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 382./ Manaaqib, h. 201./ Al-Irshaad, h. 118.

Ibn Hisyam. Ibid.

Maghaazi, h. 411./ tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 92./ Ibn Hisyam, ibid, h. 294.

Abd al-Rahman Suhayli, Al-Ruwad al-Alf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 6, h. 406./ Ibn Hisyam, h. 295.

Imtaa 'al-Asmaa', vol. 1, h. 206./ Baladhuri, Ansaab al-Ahraaf, vol. 1, h. 443.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 383.

Ansaab al-Ashraaf, h. 442, Taarikh Khamis, h. 474.

Maghaazi, p 307. Ansaab al-Ashraaf, ph. 441-442.

Tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 94./ Maghaazi, h. 413.

Al-Sahih min Sirat al-Nabiyy al-A'dham, h. 313.

Taarikh Khamis, vol. 1, h. 475.

Sirah ibn Ishaq, h. 263.

Tabaqaat al-Kubraa, h. 95./ Ansaab al-Ashraaf, vol. 1, h. 443

Asqalani, Ibnu Hajar, Al-Isaabah fi Tamyiz al-sahabat, vol. 8, h. 74.

Ibnu Atsir, Usd al-Ghaabah, vol. 6, h. 57./ Al-Isaabah, ibid.

 

Ditulis oleh: Maryam Masdari

Read 11340 times