Ramadhan, Musim Semi Munajat (Bagian 10)

Rate this item
(0 votes)

Manusia ÔÇô sesuai dengan tuntutan kondisi yang berbeda ÔÇô mungkin saja melakukan berbagai kesalahan dan kekhilafan. Mereka kadang mengabaikan hak-hak Sang Pencipta dan di lain waktu melalaikan tugas-tugas agamanya. Manusia kadang juga merampas hak-hak orang lain dan di lain kesempatan menolak untuk membayar kewajiban finansialnya seperti zakat dan khumus. Pengulangan dosa-dosa tersebut tentu saja akan menodai hati manusia dan menjauhkan mereka dari Tuhan. Alangkah beruntungnya mereka yang bermunajat ketika matahari terbenam, dan juga mereka yang larut dalam doa di pertengahan malam dan waktu sahar. Marilah kita memanfaatkan kesunyian malam untuk bercengkrama dengan Tuhan dan memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa kita.

 

Saat kita larut dalam kesedihan karena jauh dari Tuhan dan terjebak dalam perangkap syaitan, kita menangis dan bertaubat. Tuhan akan mengampuni dosa-dosa kita dan kembali memberikan kesempatan kepada kita. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, "Jika para pendosa tahu betapa besarnya kecintaan-Ku kepada mereka, sungguh mereka akan mati karena rasa gembira yang meliputi mereka."

 

Selembar cek akan kehilangan nilainya ketika terdapat coretan kecuali ada catatan dari pemberi cek. Kita juga akan kehilangan kredibilitas saat melakukan dosa kecuali kita kembali ke jalan taubat. Dan setelah itu kredibilitas dan harga diri kita akan kembali pulih. Dalam surat an-Nur ayat 31, Allah Swt berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."

 

Alangkah beruntungnya mereka yang berbuka puasa dengan wajah yang berseri-seri dan kemudian larut dalam munajat bersama Sang Kekasih. Selama bulan Ramadhan, Imam Jakfar Shadiq as dalam satu munajatnya berseru, "Ilahi, Engkau sudah menasehatiku, tapi aku masih mengabaikan nasehat itu. Engkau sudah mencegahku dari dosa, tapi aku masih bersikeras kepadanya. Sekarang inilah aku yang sudah tidak punya uzur (alasan) di hadapan ketuhanan-Mu. Untuk itu, ampunilah dosa-dosaku wahai dzat yang maha pemurah dan maha pengampun. Ilahi, para hamba tidak memiliki pengetahuan tentang keluasan ilmu-Mu dan tidak memiliki pengenalan tentang ketinggian kedudukan-Mu, kami semua membutuhkan rahmat-Mu yang maha luas, maka janganlah Engkau memalingkan wajah-Mu dari kami."

 

Pada suatu hari, alunan musik dan lantunan lagu menggema dari sebuah rumah. Semua orang yang lalu-lalang bisa menebak bagaimana suasana di dalam rumah itu. Para penghuninya sedang berpesta pora dan cawan-cawan anggur disuguhkan untuk mereka. Seorang pembantu tampak mengutip sampah-sampah yang berserekan lalu meletakkannya di halaman rumah. Pada waktu itu, seorang alim terlihat melintasi rumah tersebut dan ia bertanya kepada pembantu itu, "Apakah pemilik rumah ini seorang budak atau seorang yang merdeka?" Pembantu itu dengan heran menjawab, "Dia orang yang merdeka." Lalu orang alim tersebut berkata, "Jelas dia adalah orang yang merdeka, karena jika ia seorang budak tentu ia akan takut kepada tuannya (Tuhan semesta alam) dan ia tidak akan menggelar pesta penuh dosa ini."

 

Dialog di antara mereka mengalir panjang dan membuat pembantu tersebut lama tertahan di luar rumah. Ketika ia kembali masuk ke rumah, tuannya bertanya, "Mengapa engkau begitu lama di luar?" Pembantu itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi dan berkata, "Ada seorang alim yang lewat di depan rumah dan ia bertanya tentang banyak hal dan aku pun menjawab demikian." Mendengar jawaban itu, pemilik rumah terguncang batinnya dan ia larut dalam perenungan yang dalam, kalimat orang alim tadi 'jika ia seorang budak tentu ia akan takut terhadap tuannya' ibarat sebuah anak panah yang menancap di jantungnya. Tanpa menunggu lagi, ia bangkit dari duduknya dan lari ke luar rumah dengan kaki telanjang untuk mengejar orang alim tersebut.

 

Akhirnya, ia menemukan orang alim tadi yang tak lain adalah Imam Musa bin Jakfar as. Di hadapan Imam Musa as, ia memohon ampunan kepada Allah Swt dan memperoleh taufik untuk bertaubat. Demi mengenang hari yang penuh bahagia ini, dia tidak pernah lagi memakai sepatunya. Sebelum hari itu, ia dikenal dengan nama Bishr bin Harith bin Abdulrahman al-Marwazi dan setelah peristiwa tersebut, ia dijuluki dengan sebutan al-Hafi (kaki telanjang) dan mulai terkenal dengan panggilan Bishr al-Hafi, seorang sufi terkemuka. Bishr al-Hafi memegang sumpahnya sepanjang hidupnya dan ia tidak lagi berbuat dosa. Sebelumnya, ia terbilang orang kaya dan gemar pesta pora, tapi setelah itu ia bergabung dalam barisan orang-orang yang tertakwa.

 

Salah satu munajat lain dari Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as adalah Munajat Para Pentaubat. Taubat adalah menarik diri dari jalan yang salah dan kembali ke jalur yang benar. Ketika manusia telah menyimpang dari jalan fitrah, ia harus kembali ke jalan yang lurus dan itulah taubat. Hakikat taubat adalah menyesali dosa. Kita menyesal karena selama ini menentang perintah Tuhan dan terjebak dalam perbuatan yang kotor di sisi Tuhan. Manusia yang menyadari dampak destruktif dosa, mereka akan merasa takut untuk melakukannya dan juga merasa malu. Rasa malu ini akan bertambah sesuai dengan kadar makrifat manusia tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban penghambaan.

 

Imam Sajjad as dalam Munajat Para Pentaubat berkata, "Jika penyesalan dari dosa itu adalah taubat, aku bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Mu bahwa aku termasuk orang-orang yang menyesal. Jika istighfar dan memohon ampunan akan menghapus dosa, aku termasuk orang-orang yang memohon ampunan... Ya Tuhan, aku bersumpah dengan kekuasaan-Mu atas diriku, terimalah taubatku, dan dengan kesabaran-Mu hapuslah dosa-dosaku, dan dengan pengetahuan-Mu tentang diriku pandanglah aku dengan kasih sayang dan cinta."

 

Dalam munajat-munajat seperti itu, kita perlu memperhatikan bahwa Imam Sajjad as ÔÇô keturunan suci Rasulullah Saw ÔÇô sama sekali tidak mengerjakan sesuatu yang melanggar perintah Tuhan di sepanjang hidupnya dan juga tidak berbuat dosa. Imam Sajjad as berada di barisan terdepan dalam urusan ketakwaan dan melalui munajat-munajat tersebut, beliau ingin memberi pencerahan kepada kaum Muslim dan dengan cara itu pula, beliau membimbing mereka ke jalan kebaikan dan kebahagiaan. Dalam Munajat Para Pentaubat, Imam Sajjad as menyeru masyarakat untuk bertaubat dan kembali ke jalan Allah Swt, karena taubat dari dosa akan membersihkan manusia, menghapus keburukan-keburukan mereka, dan memperoleh keridhaan Tuhan.

 

Imam Sajjad as di bait terakhir munajat tersebut berkata, "Ya Tuhan, jika dosa hamba-Mu ini adalah kotor dan tercela, maka pengampunan dari sisi-Mu adalah indah. Ya Tuhan, aku bukanlah orang pertama yang melanggar perintah-Mu dan Engkau memaafkan mereka dan berbuat baik kepada mereka. Wahai Dzat yang menolong hati yang gelisah, wahai Dzat yang menghapus kesedihan dan lipur lara, wahai Dzat yang sangat banyak kebaikannya, wahai Dzat yang mengetahui rahasia para hambanya, dan wahai Dzat yang menutupi dosa dengan kebaikan, aku jadikan kedermawanan dan kemuliaan-Mu sebagai perantaraku, aku bertawassul di hadapan-Mu dan aku juga bertawassul dengan kasih sayang yang aku temukan pada-Mu sehingga doa-doaku terkabulkan. Dan dengan kelembutan-Mu, janganlah Engkau membuatku putus asa, terimalah taubatku dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu, maafkanlah kesalahan-kesalahanku Wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."

Read 2407 times