Ramadhan, Musim Semi Munajat (Bagian 16)

Rate this item
(0 votes)

Malam dan siang bulan Ramadhan, satu per satu berlalu. Saat-saat berharga yang penuh berkah. Semoga peluang berharga ini dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya setelah kita menantinya selama berbulan-bulan. Puasa bak perisai kokoh di hadapan tuntutan hawa nafsu. Manusia dengan berpuasa, pada hakikatnya menjauhkan dirinya dari keinginan dan tuntutan-tuntutan menyimpang serta membersihkan diri dari segala hal yang dapat menyebabkan kegelapan batin.Puasa selain menahan makan dan minum, memiliki tahapan tertinggi yaitu menjauhkan diri dari segala keburukan dari hati mereka.

 

Akhlak Islam, menjelaskan sifat-sifat baik dan buruk manusia dengan terperinci dan terbaik. Islam menyeru umat untuk menghiasi diri mereka dengan nilai-nilai luhur. Dalam akhlak Islam "kerendahan hati" memiliki posisi sangat istimewa. Kerendahan hati atau tawadhu', adalah sifat terpuji yang setiap orang mampu memperkokohnya dengan cepat di bulan Ramadhan.

 

Tawadhu', membuat hati menjadi lembut dan akan menarik orang lain kepada mereka dan menjadi kunci kasih sayang, persahabatan, kemuliaan serta pondasi berbagai keutamaan. Tawadhu' adalah taman yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga harum dan indah pesaudaraan, keakraban, kasih sayang dan kecintaan serta membawa keuntungan dan kedudukan yang sejati. Tawadhu' merupakan sebuah kondisi khusyu' dan khudhu logis dalam jiwa yang tanda-tandanya dapat disaksikan dalam perilaku dan ucapan. Manusia yang bertawadhu di hadapan sesama, adalah yang bersikap lembut dan ramah. Manusia yang bertawadhu' akan berinteraksi dengan senyuman dan keceriaan.

 

Manusia yang memiliki kriteria seperti ini, juga memiliki berbagai kemampuan tinggi. Manusia yang bertawadhu' akan sepenuhnya berserah diri di hadapan Allah Swt dan menyembah-Nya dengan penuh kecintaan, keimanan dan ketaatan. Oleh karena itu, manusia seperti ini memiliki benteng yang kokoh dan tidak dapat disusupi musuh. Tawadhu' adalah mahkota kebanggaan bagi hamba-hamba Allah Swt yang ikhlas.

 

Pada musim semi, tidak ada tumbuhan yang tumbuh pada permukaan batu. Mengapa? Karena batu sangat keras. Akan tetapi coba saksikan tanah. Betapa banyaka bunga yang tumbuh dengan berbagai warna. Mengapa? Karena tanah tidak keras, dan dengan penuh kelembutan dia mengijinkan tumbuh-tumbuhan hidup dan berkembang darinya.

 

Telah bertahun-tahun kita menyombongkan diri dan tidak ada apapun yang kita dapatkan. Kini, mari kita merendahkan diri, karena jika tidak, maka tidak ada angin dan musim semi yang dapat menghijaukan diri kita! Oleh sebab itu pula mengapa para penghuni neraka berteriak:

┘ê┘Ä█î┘Ä┘é┘Å┘ê┘ä┘ÅϺ┘ä┘Æ┌®┘ÄϺ┘ü┘ÉÏ▒┘Å█î┘ÄϺ┘ä┘Ä█î┘ÆϬ┘Ä┘å┘É█î┌®┘Å┘åϬ┘ÅϬ┘ÅÏ▒┘ÄϺϿ┘ïϺ

Orang kafir berkata: seandainya saja aku menjadi tanah. Yakni, seandainya saja aku sangat rendah diri.

 

Pada bagian ini kami akan mengutip sebuah kisah tentang tawadhu dari salah seorang alim. Kisah ini dari Syeikh Abbas Qommi, seorang ulama besar penulis kitab Manazil al-Akhiroh. Setelah diterbitkan, kitab ini menjadi perhatian luas para pelajar dan ulama. Di kota Qom dan di kompleks makam Sayidah Ma'sumah sa, ada seseorang bernama Syeikh Abdul Razzaq yang sebelum zuhur selalu menjelaskan hukum-hukum syari' kepada masyarakat di halaman kompleks makam. Setelah menjelaskan hukum-hukum syariat, Syeikh Abdul Razzaq juga membacakan bagian-bagian dari kitab Manazil al-Akhiroh, termasuk hadis-hadis dan berbagai riwayat di dalamnya kepada masyarakat.

 

Kebetulan, ayah Syeikh Abbas Qommi adalah termasuk salah satu penggemar mimbar Syeikh Abdul Razzaq, sehingga dia hadir setiap hari dan juga menyukai isi buku Manazil al-Akhiroh. Pada suatu hari, ayah Syeikh Abbas Qommi pulang ke rumah dan memanggil putranya dan mengatakan, "Syeikh Abbas! Andai saja kau seperti Abdul Razzaq menjadi penjelas masalah dan kau mampu pergi ke atas mimbar dan membacakan kitab yang dia bacakannya kepada kami."

 

Syeikh Abbas mengatakan, "Ayah, aku beberapa kali ingin mengatakannya! Kitab ini adalah salah satu dari karya saya, akan tetapi setiap kali saya menghindar dan tidak mengatakannya dan saya hanya mengatakan doakanlah agar Allah Swt memberikannya  taufik."

 

Salah satu sebab mengapa kitab-kitab Syeikh Abbas Qommi, khususnya Mafatih al-Jinan, mendapat sambutan luas dari masyarakat dan dicetak ulang berulangkali, adalah karena tawadhu' beliau.

 

Imam Zainul Abidin as (as) dalam munajat "muhibbin" menjelaskan kecintaan kepada Allah Swt dan mengatakan, "Ya Allah! Siapa yang telah merasakan kasih sayang-Mu dan kemudian menginginkan yang lain kecuali diri-Mu? Siapa yang mendekatkan dirinya kepada-Mu dan kemudian dia ingin berpisah dari-Mu barang sedetik saja?

 

Kenikmatan tertinggi adalah kenikmatan Allah Swt. Jika manusia telah merasakan kasing sayang Allah Swt dan menikmati kedekatannya dengan Yang Maha Kuasa, maka dia tidak akan mencari selain-Nya. Yakni jika orang yang telah mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka tidak sedetik pun dia ingin keluar dari lingkaran kedekatan dengan Allah Swt. Jalan cinta dan kedekatan kepada Allah Swt adalah dengan mengingatdan mensyukuri nikmat-nikma-Nya. Selain itu, peningkatan makrifat manusia kepada Allah Swt juga akan meningkatkan kasih sayang Allah Swt kepadanya.

 

Oleh karena itu, dalam hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman kepada Nabi Dawud as: "Cintailah Aku dan jadikan umat-Ku mencintai-Ku." Nabi Dawud as kemudian berkata, "Ya Allah aku mencintai-Mu, akan tetapi bagaimana aku harus membuat umat mencintai-Mu?" Allah Swt berfirman, "Ingatkan lah mereka akan nikmat-nikmat-Ku dan jika kau menyebutkan nikmat-nikmat-Ku kepada mereka, maka mereka akan mencintai-Ku"

 

Semua manusia akan mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya. Atas dasar prinsip tersebut, semakin besar kita memperhatikan nikmat-nikmat Allah Swt dan menyadari nilai-nilainya, maka secara otomatis kecintaan kita kepada Allah Swt juga akan semakin besar. Mengapa cinta bukan sebuah perasaan yang mudah berlalu, melainkan sebuah afeksi permanen? Mengapa cinta itu berbeda dengan sambutan hangat yang cepat berlalu?

 

Ketika manusia mencintai seseorang, dia akan mengungkapkan rasa cintanya itu dan jika setelah beberapa waktu dia tidak melihat orang yang dicintainya itu, maka dia akan merasa rindu. Untuk menciptakan kecintaan seperti ini, selain makrifat diperlukan juga perhatian terhadap nikmat-nikmat Allah Swt. Perhatian itu harus dilakukan secara berkesinambungan. Jika manusia selalu memperhatikan nikmat-nikmat Allah Swt yang datangnya dari Allah Swt, maka kecintaan pada dirinya akan semakin kokoh dan permanen. Salah satu cara untuk menciptakan kecintaan ini adalah ibadah dengan penuh keikhlasan.

 

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw disebutkan tentang kecintaan pada ibadah kepada Allah Swt.┬á Beliau bersabda, "Orang terbaik dalam masyarakat adalah yang mencintai ibadah dan akrab dengannya serta mencintainya dari dalam hatinya dan melakukannyaÔǪ orang seperti ini tidak khawatir apakah kehidupan akan sulit atau mudah untuknya."

 

Imam Zainul Abidin as pada bagian lain munajat "Muhibbin" berkata, "Ya Allah! Tempatkan kami di antara mereka yang bahagia dengan-Mu dan meluapkan ratapan rindu dari hati mereka, dan mereka yang sepanjang hidupnya meratapi kerinduan-Mu. Mereka yang meletakkan dahi mereka di atas tanah karena keagunganmu dan yang mata-mata mereka terjaga di hadapan-Mu. Mereka yang mengucurkan air mata karena takut kepada-Mu dan hati mereka penuh dengan kecintaan kepada-Mu, dan mereka yang hati-hati mereka bergetar hebat karena keagungan dan kewibawaanmu."(

Read 2174 times