Doa dan munajat merupakan cara paling sensasional dan megah dalam komunikasi manusia dengan Allah Swt. Munajat kepada Allah Swt merefleksikan kecenderungan batin manusia kepada Sang Pencipta Alam Semesta dan memiliki makna yang tinggi dan konstruktif.
 
Pada suatu hari seorang lelaki datang menghadapi Rasulullah Saw dan bertanya, "Wahai Nabi, apakah Allah dekat dengan kita dan aku bisa bermunajat dengan pelan dan tenang, atau Dia jauh sehingga aku terpaksa harus berdoa dengan suara keras?"
 
Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa dan kemudian turun ayat yang menjawab pertanyaan tersebut untuk sepanjang masa, dalam surat al-Baqarah ayat 186:
 
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."
 
Dalam kehidupan, kita tidak pernah lepas dari tuntutan untuk memiliki sandaran yang kokoh dan pasti dalam menyelesaikan urusan kita dan juga dalam menempuh jalan menuju kesempurnaan. Ketika berkomunikasi dengan Allah Swt, manusia secara spiritual dan psikologis, berada di posisi yang sangat istimewa. Oleh karena itu disebutkan bahwa doa pada saat menjelang subuh akan cepat terkabulkan, khususnya pada bulan Ramadhan, yang menjadi saat paling tepat untuk mengemukakan permintaan duniawi dan akhirat, serta saat paling  utama untuk beristighfar dan bertaubat.
 
Jarum kompas penunjuk arah kiblat akan selalu bergerak dan tidak menentu kecuali ketika benar-benar mengarah ke kiblat. Begitu pula dengan hati manusia, yang selalu bergerak, cemas dan tidak menentu kecuali tertuju kepada Allah Swt dan selalu mengingat-Nya. Hati para nabi selalu tenang. Mengapa? Karena hati mereka tidak pernah terlepas dari mengingat Allah Swt. Ini bukan berarti mereka selalu berdzikir, melainkan mereka selalu memperhatikan keridhoan Allah Swt dalam setiap amalan dan pekerjaan.
 
Seorang ibu bertanya kepada putranya, "Ke mana kau akan pergi?" Anak menjawab, "Ibu, seorang aktor yang sangat terkenal datang ke kota kita. Ini adalah peluang emas bagiku untuk melihatnya dan berbicara dengannya, aku akan pulang cepat. Akan baik sekali jika aku dapat berbincang dengannya."
 
Dengan senyuman gembira, dia berpamitan dengan ibunya. Kira-kira setengah jam kemudian, putranya itu datang dengan geram.  Sang ibu bertanya, "Anaku, ada apa gerangan? Mengapa wajahmu pucat? Apakah kau dapat bertemu dengan aktor idolamu itu?" Anak itu menjawab dengan nada lesu, "Aku dan banyak orang menunggunya lama akan tetapi mereka memberitahu kami bahwa dia telah meninggalkan kota ini setengah jam lalu. Andai saja Allah Swt melimpahkan ketenaran dan popularitas aktor itu kepadaku."
 
Setelah mendengar jawaban putranya itu, sang ibu menuju kamarnya dan mengganti pakaiannya. Kemudian dia keluar dari kamar itu dan mengatakan kepada putranya, "Anakku, kau bersiap-siaplah, kita pergi ke satu tempat." Akan tetapi anak itu tidak menghiraukan ucapan ibunya dan berkata, "Lelucon apa ini? Dia sudah pergi dari kota ini setengah jam yang lalu. Apa maksud dari ucapanmu?"
 
Sang ibu hanya berkata, "Aku ingin kau percaya kepadaku dan ikutlah denganku." Sang anak meski enggan namun ia tetap ikut ibunya. Keduanya lantas ke luar rumah. Setelah beberapa saat berjalan, sang ibu menghentikan langkahnya dan sambil mengarahkan telunjuknya ke masjid, ia berkata kepada putranya, "Anakku kita telah sampai." Sang anak kemudian berkata kepada ibunya dengan suara kecewa, "Ibu, bukankah aku katakan bahwa sekarang bukan saatnya untuk bercanda?"
 
Ibu menjawab, "Anakku, bukankah kau bilang andai saja Allah melimpahkan ketenaran dan popularitasnya itu kepadamu? Maka Allah lebih utama dari siapa pun. Karena Dia yang memberikan ketenaran dan popularitas kepada manusia. Maka apakah ada kebanggaan lebih utama dari ini bahwa kita berbicara kepada yang memberikan ketenaran dan popularitas itu bukan dengan orang yang menerimanya?"
 
Sang anak memahami dengan baik ungkapan ibunya bahwa berbicara dan bermunajat dengan Sang Pencipta tentang seluruh nikmat dan karunia, lebih mudah dan lebih bermanfaat daripada mengemis dari makhluk-makhluk Allah Swt. Benar bahwa berbincang dengan Allah Swt yang merupakan sumber penciptaan dan nikmat, bak angin sejuk yang mengelus jiwa dan menenteramkan batin manusia yang lelah dan tertekan. Bukankah telah disebutkan dalam al-Quran ayat 28 surat al-Raad,
Ïú┘Ä┘ä┘ÄϺ Ï¿┘ÉÏ░┘É┘â┘ÆÏ▒┘É Ïº┘ä┘ä┘æ┘Ä┘Ç┘ç┘É Ï¬┘ÄÏÀ┘Æ┘à┘ÄϪ┘É┘å┘æ┘ŠϺ┘ä┘Æ┘é┘Å┘ä┘Å┘êÏ¿┘Å
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
 
 
Allah Swt memiliki hubungan istimewa dengan para pecinta dan hamba khusus-Nya, sedemikian rupa sehingga berbicara dan membelai batin mereka baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Imam Zainul Abidin as dalam munajat "Muhibbin" menyebutkan, "Wahai yang cahaya-cahaya kudus-Nya menerangi mata para pencinta-Nya dan yang penjelmaan dzat-Nya jelas bagi hati-hati para arif. Wahai harapan hati para pecinta dan wahai akhir tujuan para pemuja."
 
Ketika cahaya kudus Allah SwtÔÇöyang tingkatannya jauh lebih tinggi dari cahaya-cahaya inderaÔÇömenerangi kalbu para pecintanya, maka akan tercipta kebahagiaan sedemikian rupa sehingga mereka yang merasakannya akan merelakan dunia dan seisinya serta seluruh kenikmatan lain agar dapat menampung cahaya kudus ilahi itu lebih banyak.
 
Dalam banyak kisah dan hikayat, telah digambarkan cinta manusia yang terkadang sedemikian pekat dan bergairah sehingga sulit untuk dipahami bagi mereka yang tidak pernah merasakan cinta itu. Antara Allah Swt dan para pencinta-Nya juga demikian. Mereka yang tidak mengetahui kenikmatan cinta Allah Swt, tidak akan pernah mampu menalar masalah ini.
 
Dalam lanjutan munajat Muhibbin, Imam Zainul Abidin as mengatakan, "Wahai harapan hati para pecinta dan wahai tujuan akhir para pemuja, limpahkanlah kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada para pencinta-Mu dan kecintaan pada setiap amal yang membuatku dekat dengan-Mu."
 
Pada bagian ini, Imam selain sedang menjelaskan hubungan cintanya dengan Allah Swt, juga sedang memaparkan sebuah poin penting Tauhid yaitu bahwa hasil dari kecintaan Allah Swt kepada para pecinta-Nya, semuanya berasal dari kemurahan dan inayah Allah Swt. Karena selama Allah Swt tidak menghendakinya, maka tidak ada manusia yang mampu mencapai derajat kecintaan tersebut. Oleh karena itu, Imam Zainul Abinin as memohon kepada Allah Swt untuk melimpahkan kecintaan tersebut, termasuk mencintai para pecinta Allah Swt.
 
Mustahil terjadi, manusia mencintai Allah Swt akan tetapi dia tidak mencintai para nabi yang Allah Swt telah menyebut mereka para kekasih-Nya. Pada tahap berikutnya, Imam Zainul Abidin memohon kepada Allah Swt untuk melimpahkan kecintaan pada amal perbuatan yang menjadi mukaddimah untuk meraih cinta Allah Swt.
 
Di akhir munajat, Imam Zainul Abidin as berdoa, "Ya Allah! Pandanglah aku dengan kemurahan dan kemuliaan-Mu dan jangan pernah Kau berpaling dariku. Jadikan aku di antara orang-orang yang berbahagia dan bernasib baik di samping-Mu. Wahai pengabul doa makhluk, wahai Maha Pengasih dari seluruh pengasih alam semesta."