Ramadhan, Musim Semi Munajat (Bagian 25)

Rate this item
(0 votes)

Keyakinan akan Ma'ad atau Hari Kebangkitanmerupakan bagian dari Usuluddin Islam. Banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kematian dan Ma'ad serta mengingatkan manusia akan keduanya. Sejatinya, ada lebih dari dua pertiga ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kematian dan kiamat. Lalu pertanyaannya, apa makna di balik semua peringatan tentang kematian dan kiamat? Imam Ali as menjawab pertanyaan ini dengan ucapannya, "Sebelum badan kalian keluar dari dunia, hati kalian telah terlebih dahulu keluar. Karena kalian diciptakan untuk akhirat dan berada di dunia untuk diuji..."

 

Menurut Rasulullah Saw, mengingat mati punya peran konstruktif dalam kehidupan manusia. Ketika ada yang bertanya kepada beliau tentang siapa yang paling cerdas, beliau menjawab, "Orang yang paling banyak mengingat kematian dan lebih siap menghadapinya." Lalai dari mati membuat dunia tampak begitu berharga di mata manusia, sehingga akalnya tidak lagi dapat memahami hakikat dan kebenaran. Manusia yang lalai akan berusaha keras untuk meraih keinginan hawa nafsu dan duniawinya. Mengingat mati akan membebaskan manusia dari sikap lalai dan menjadikannya menyadari akan hakikat penting tentang manusia itu sendiri.

 

Tentu saja mengingat mati tidak boleh diartikan manusia telah kehilangan kegairahan dan aktivitasnya di dunia. Jangan sampai mengambil kesimpulan seperti ini dari ayat dan riwayat yang berbicara tentang mati. Bahkan melihat fenomena kematian lebih logis membuat perbuatan kita lebih terarah dan benar, sehingga bukan saja kita tidak lemah melakukan aktivitas kehidupan, yang terjadi ada semangat yang lebih besar untuk melakukannya. Para Imam Maksum as dan ulama senantiasa mengingat mati dan menyiapkan dirinya, tapi pada saat yang sama mereka menunjukkan kerja keras dan melakukan aktivitasnya dengan penuh semangat.

 

Pria itu duduk di dekatku. Kondisinya agak aneh. Ia berkata, "Aku punya satu pertanyaan dan jawabannya sangat penting buatku." Saya menjawab, "Sudah tentu, bila saya mengetahui jawabannya, dengan senang hati saya akan membantumu." Ia berkata, "Saya akan pergi." "Apa maksudnya," tanyaku. Ia berkata, "Saya akan mati." "Berapa dokter yang telah engkau datangi? tanyaku. Ia menjawab, "Semua dokter mengatakan tidak ada obat yang dapat menyembuhkanku."

 

Saya kemudian berkata kepadanya, "Allah sangat pemurah. Insya Allah engkau akan diberikan kesembuhan." Mendengar ucapanku, ia memandangku dengan penuh takjub dan berkata, "Apakah bila engkau mati berarti Allah tidak pemurah?" Saya baru menyadari pria itu cukup cerdas dan tidak bisa berbicara apa adanya. Akhirnya saya berkata, "Engkau benar, sekarang apa pertanyaanmu?" Ia kemudian mulai bercerita:

 

"Sejak mengetahui pasti mati, aku sangat sedih dan hanya berdiam diri di rumah. Sehari-hari pekerjaanku adalah menyendiri di kamar dan berkeluh kesah, sehingga suatu hari aku berkata kepada diriku sendiri, ÔÇÿSampai kapan engkau ingin menanti kematian?' Akhirnya, suatu hari di pagi hari aku keluar dari rumah dan mulai bekerja seperti orang lain, hanya saja ada perbedaan mendasar antaraaku dan orang lain. Karena saya pasti mati, sementara orang lain tidak demikian. Saya semakin pengasih dan perilaku orang yang ingin menggangguku sudah tidak kupikirkan lagi.

 

Beberapa kali mereka sengaja menipuku, tapi aku berkata kepada diriku sendiri, ÔÇÿBiarkan mereka bergembira dengan menipuku, karena saya sudah pasti akan meninggalkan dunia ini dan mereka akan tetap hidup di dunia. Sekarang saya bekerja, tapi sudah tidak ada rasa ketamakan. Aku hidup bersama masyarakat, tapi tidak berbuat zalim kepada mereka, bahkan aku mencintai mereka. Melihat sepasang pengantin menikah, hatiku senang dan berdoa agar mereka bahagia. Bertemu orang miskin, aku langsung membantunya. Aku seperti orang tua yang berharap kebahagiaan semua orang. Masalah mati membuatku menjadi orang baik dan pengasih. Pertanyaannya, saya menjadi baik karena masalah kematian dan Allah menerima kebaikanku ini?"

 

Saya menjawab, "Seperti yang saya ketahui, manusia memiliki kesempatan hingga kematian menjemputnya dan manusia menjadi baik membuatnya mulia di sisi Allah." Mendengar jawabanku ia terlihat gembira. Ia mengucapkan terima kasih dan perlahan-lahan meninggalkanku. Sebelum menjauh, saya menyempatkan diri bertanya kepadanya, "Oh iya, engkau belum mengatakan berapa waktu lagi akan meninggal?" Ia menjawab, "Tidak pasti, antara satu hingga ribuan hari lagi!!!"

 

Saya lalu menghitung sendiri dan melihat kondisiku sebenarnya tidak berbeda dengannya. Dengan penuh takjub saya bertanya lagi, "Lalu apa sakitmu?" Ia menjawab, "Aku tidak sakit!" Saya berkata, "Lalu apa?" Ia menjawab, "Aku mengetahui bahwa kematian merupakan keniscayaan. Oleh karena itu aku pergi ke dokter dan berkata, ÔÇÿApakah engkau dapat berbuat sesuatu agar aku tidak mati?' Mereka menjawab, ÔÇÿTidak ada.' Akhirnya aku tahu semua akan pergi ke dunia lain dan tidak abadi di dunia ini." Setelah itu ia tersenyum dan pergi. Saya kemudianteringat ayat al-Quran, "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh" (QS. an-Nisa: 78)

 

Memperhatikan munajat wali Allah dan apa yang mereka pinta memunculkan motivasi pada diri manusia untuk memohon kepada Allah seperti yang mereka lakukan. Biasanya, saat berdoa kepada Allah, kita meminta sesuatu yang diketahui nilainya dan selama kita tidak mengetahuinya, kita tidak memohonkannya dari Allah. Tapi ketika kita memperhatikan doa yang dipanjatkan wali Allah, kita lalu memahami banyak hal penting dan bernilai yang terlupakan selama ini. Munajat Arifin Imam Zainal Abidin termasuk doa yang mengingatkan kita bagaimana memohon kepada Allah dan apa saja yang kita pinta.

 

Imam Zainal Abidin as atau Imam Sajjad as di akhir munajat indah ini mengatakan, "Ilahi, betapa nikmatnya Engkau mengilhamkan pemikiran yang senantiasa mengingat-Mu. Betapa manisnya pemikiran yang bergerak menuju-Mu. Betapa enaknya rasa berteman dengan-Mu dan betapa manisnya minuman kedekatan-Mu! Oleh karenanya, wahai Allah jangan usir kami dari sisi-Mu dan beri kami tempat perlindungan. Wahai pemberi dengan kebenaran rahmat dan kebaikan! Wahai Maha Pengasih dari segala kasih!"

 

Imam Sajjad as menyebut ingat kepada Allah sebagai kenikmatan tertinggi. Bayangkan seorang pecinta dengan seluruh wujudnya mencintai sesuatu yang dicintainya dan senantiasa mengingatnya dalam pikiran. Tapi ketika ada satu masalah yang menimpa manusia, dengan segera ia akan melupakan yang dicintainya. Dalam kondisi yang demikian, yang dicinta berusaha agar pecinta kembali memperhatikannya. Isyarat yang disampaikan oleh yang dicinta bagi pecinta sangat nikmat. Sekarang bila seseorang menjadikan Allah sebagai yang dicintainya, maka tidak ada kenikmatan yang lebih dari isyarat dan ilham-Nya agar orang itu menyebut dan mengingat-Nya.

 

Dalam ayat 143 surat al-A'raf disebutkan bahwa Nabi Musa as meminta kepada Allah agar dapat melihat-Nya. Sebagai jawabannya, Allah berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap tidak di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."

 

Bila dalam munajat ada ucapan tentang penyaksian Allah, maka yang dimaksud adalah penyaksian manifestasi-Nya, bukan melihat Allah itu sendiri. Tapi untuk dapat menyaksikan manifestasi ilahi, seseorang harus berada dalam maqam yang tinggi dan tidak semua orang dapat meraihnya. Mereka yang mendapat taufik seperti ini dari Allah sangat menghargai nikmat ini dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Mereka berusaha untuk tetap berada dalam nikmat ini dengan mengingat-Nya. Sama seperti cinta antara dua manusia akan membuat kehidupan pencinta menjadi bergairah, mengingat Allah, selain menciptakan kesegaran dan kegairahan, jiwa manusia akan menjadi manifestasi lain dari Allah.

Read 2602 times