Idul Fitri dan Nilai Ekonomi

Rate this item
(0 votes)

Lebaran Idul Fitri bukan sekedar perayaan hari suci keagamaan. Perayaan umat Islam sedunia itu menciptakan tradisi turun temurun di Indonesia. Yakni tradisi mudik atau pulang kampung, yang menggulirkan dampak ekonomi luar biasa.

Ya, tradisi mudik bukan saja sekadar migrasi massal giga komunal, yang melibatkan sekitar 10% penduduk dalam rentang waktu 2 minggu. Tidak juga sekadar ritual sibuk semata atau menjalankan amanah agama dalam menjalankan silaturahmi dan merekatkan kekerabatan. Mudik membawa dampak redistribusi ekonomi kota ke desa, yang luar biasa besar.

Dikatakan oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh, pada saat musim mudik, terjadi perputaran uang yang sangat besar. "Orang-orang punya uang, transportasi menjadi laku, konsumsi BBM meningkat, serta harga barang naik, tetapi orang tidak berebut," ungkapnya.

Politisi Partai Golkar ini berpendapat, kalau mudik dikelola secara baik, berpotensi menyerap tenaga kerja, bahkab dimulai dari persiapan mudik. "Contohnya, dulu pengusaha parcel ramai pada saat lebaran. Orang-orang itu bekerja untuk satu tahun penuh," katanya kepada Iwan Setiawan dari Gatranews.

Contoh lain, lanjut Poempida, pengusaha konveksi baju muslim di Tanah Abang kerja 1 tahun penuh hanya untuk memenuhi kebutuhan lebaran. "Intinya, peluang ekonomi sesaat yang luar biasa. Ini harus dapat dikelola agar menjadi potensi penyerapan tenaga kerja, tentunya penyerapan tenaga kerja yang permanen," tutur Poempida.

Menurut prakiraan berbagai pihak, lebaran menciptakan redistribusi ekonomi ke kampung halaman dalam porsi yang amat besar. Data ad interm Bank Indonesia, misalnya, jumlah penukaran uang tunai-receh untuk keperluan tahunan ini saja sekitar Rp77 trilliun.

Belum lagi "capital expenditure" dan biaya ‘show room' lainnya atas displai keberhasilan di kampung. Perkiraan redistribusi income saat mudik lebaran mencapai sekitar 10% dari APBN atau sekitar Rp100 trillun.

Nah, redistribusi ekonomi itu berjalan setiap tahun, hanya dalam rentang 2 minggu. Sepanjang jeda waktu itu, kita menyaksikan kekuatan dan parade adidaya spirit rohani berpadu dengan semangat ekonomi dan gaya hidup.

Spirit itu, bisa jadi, akan menggetarkan siapapun. Arus kontainer dan truk akan berhenti memberikan tanda hormat. Armada kapal perang pun bisa dikerahkan sebagai tanda salut untuk mengangkut sebuah kehendak yang tidak mengenal kompromi.

Kalau satu aspek mental dalam hiruk pikuk mudik saat lebaran Idul Fitri bisa diterapkan setiap saat di negeri ini, maka Indonesia tidak pernah kekurangan perwira wirausaha.

 

Kisah Para Pembantu Infal

Lebaran tidak hanya menjadi eforia pulang kampung. Tapi juga membuka kesempatan bagi sebagian orang untuk mengais rejeki ke kota metropolitan. Mereka justru sengaja datang dari kampung ke kota di saat sebagian besar warga kota mudik ke kampung. Beberapa orang itu memilih untuk mendapatkan pemasukan lebih, sebagai pembantu rumah musiman (infal).

Sebut saja Ati, perempuan asal Lampung yang sehari-hari menjadi pekerja kebun. Menjelang lebaran kali ini, Ia memilih untuk pergi ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga infal karena ingin mendapat pemasukan lebih.

"Saya memilih kerja begini (pembantu infal) karena pendapatannya lebih tinggi, lumayan untuk kebutuhan keluarga di kampung," kata wanita umur 30 tahun itu.

Ati, yang sudah tiga kali bekerja sebagai pembantu infal itu bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 1 juta untuk dibawa pulang usai Lebaran. "Alhamdulillah bisa buat anak-anak saya sekolah dan bantu suami yang bertani," ujarnya.

Sementara Sumarsih, perempuan berusia 35 tahun asal Sragen, Jawa Tengah, rela meninggalkan keluarga saat Lebaran untuk menjadi pembantu infal karena ingin mendapatkan pemasukan lebih. "Saya memang lagi butuh uang untuk keluarga di rumah," ujarnya saat ditemui di Yayasan Ibu Hadi, Depok.

Asih, demikian ia akrab disapa, mengaku baru kali ini menjajal sebagai pembantu infal. Ia diajak temannya yang sudah berkali-kali menjadi asisten Rumah Tangga musiman ini. Ditanya mengenai anaknya yang baru berusia 4 tahun, Asih tidak merasa khawatir meninggalkannya di kampung, karena sudah menitipkan kepada suami dan orangtuanya. "Kerja ginian kan nggak lama. Cuma dua minggu kok mas," katanya.

Gaji yang ditawarkan bagi pembantu infal memang cukup besar, dengan waktu kerja yang singkat, tidak sampai satu bulan. Jika di hari biasa mereka mendapat Rp 25 ribu-Rp 30 ribu sehari, saat Lebaran, pemasukan mereka naik hingga tiga kali lipat, yaitu antara Rp 80 ribu-Rp 100 ribu per hari.

Dani, pemilik Yayasan Dwi Asih mengaku, pada musim lebaran kali ini, pihaknya masih kekurangan pembantu infal untuk pelanggan di Jakarta. Sebab, kebanyakan pembantu infal yang berasal dari Lampung, kali ini memang memilih untuk menjadi buruh kebun. Ini karena Lampung sedang musim panen lada dan merica.

"Tidak heran, kalau tahun ini mengalami penurunan tenaga, karena di daerah asal mereka banyak yang memilih jadi buruh kebun," kata Dani.

Permintaan pembantu infal atau pembantu rumah tangga (PRT) musiman pada lebaran tahun ini masih membludak. Namun, penyedia jasa ini mengaku mulai kekurangan tenaga kerja. "Memang untuk tahun ini terjadi peningkatan permintaan tenaga pembantu rumah tangga, hampir di atas 50%. Hanya sayangnya, tenaga kerja yang dibutuhkan kurang," kata Dani.

Untuk mengantisipasi tingginya permintaan, Yayasan Dwi Asih pun terpaksa bekerja sama mencari suplai tenaga kerja dari yayasan lain. "Kalau di sini tidak ada (pembantu infal) dan masih ada majikan yang membutuhkan jasa PRT, ya kita upayakan dengan tempat (yayasan) lain untuk mensuplai tenaga kerja," ujarnya.

Ruminah, pemilik Yayasan Cendana Raya di Cipete, Jakarta Selatan, juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan tenaga PRT infal. Menurutnya, untuk Lebaran kali ini, ketersediaan pembantu infalnya berkurang. "Mereka memilih untuk mudik," ujarnya.

Padahal, ia menargetkan tahun ini bisa menyalurkan lebih dari 600 pembantu infal. Untuk tahun ini kita menargetkan lebih dari 600 orang. Tapi rasanya hal itu agak sulit karena kebanyakan tenaga pembantu infalnya juga memilih untuk mudik dibandingkan bekerja saat Lebaran," ujarnya.

Adapun asisten rumah tangga infal Ruminah kebanyakan berasal dari daerah-daerah yang dekat dengan Jakarta. "Tenaga pembantu infal saya kebanyakan berasal dari daerah Bandung dan Pandeglang. Jarang dari yang Jawa Timur atau Jawa Tengah," katanya.

Ketua Asosiasi Pelatihan dan Penempatan Pekerja Rumah Tangga Seluruh Indonesia (APPSI), Farikin mengatakan, sebenarnya jumlah pembantu infal dan permintaan, saat ini relatif stabil. Meski Ia mengakui, ada kebutuhan di daerah asal atau keperluan pribadi para tenaga kerja tersebut. Menurutnya, pembantu rumah tangga musiman ini terkesan berkurang karena penyebaran penyalur atau yayasan pembantu rumah tangga di kawasan Jakarta.

"Dulu, sekitar empat tahun lalu, tempat penyalur pembantu rumah tangga itu terpusat di Selatan Jakarta saja. Kini, seiring orang mengerti akan peluang tenaga musiman, penyalur-penyalur itu mulai menyebar ke pusat, utara dan barat Jakarta," katanya Farikin, yang juga memimpin Lembaga Jasa Penyalur pembantu rumah tangga Jasa Gria di Jatipadang, Jaksel.

Tentu kalau dilihat dari penyebaran ini, jumlah tenaga dan permintaan atau kebutuhan itu stabil, karena orang-orang yang membutuhkan jasa PRT musiman tersebut bisa menjumpai tidak hanya di Jakarta Selatan.

"Tenaga dan kebutuhan permintaan bisa dikatakan stabil, apalagi seiring dari menyebarnya orang kelas menengah ke atas ke pusat kota dan pengangguran yang ingin mencari kerja," jelas Farikin. Siklus seperti ini menurutnya akan terjadi setiap tahun di musim lebaran sesuai hukum permintaan. (IRIB Indonesia/Gatra)

Read 2944 times