Imam Ali bin Abi Thalib as adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dan secara khusus diberi gelar Amir Al-Mukminin oleh Nabi.
Imam Ali bin Abi Thalib as (23 SH – 40 HQ), dijuluki Amir Al-Mukminin, adalah penerus Nabi Muhammad Saw, suami dari Sayidah Fathimah Az-Zahra (putri Nabi), dan ayah dari Imam Hasan, Imam Husein, dan Zainab Al-Kubra. Menurut sumber-sumber sejarah Sunni dan Syiah, dialah orang pertama yang beriman kepada Nabi Islam dan menerima gelar Amirul Mukminin dari Nabi secara khusus, sehingga menjadi penerus Nabi dalam hal politik dan agama.
Tentu saja, setelah wafatnya Nabi pada tahun 11 HQ, ada faktor-faktor yang menghalangi terjadinya suksesi ini, dan beliau tetap menjauh dari kekhalifahan Muslim selama bertahun-tahun setelah wafatnya Nabi. Nabi Muhammad Saw berkata tentangnya, Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.
Beliau pun kerap kali menyatakan bahwa hubungan antara aku dan Ali itu seperti hubungan antara Musa dengan Harun.
Imam Ali as memerintah kekhalifahan Islam selama sekitar 5 tahun, dari tahun 35 hingga 40 HQ, dan keadilannya selama periode ini disebut sebagai keajaiban pemerintahan Islam. Dua tahun setelah Pertempuran Siffin antara dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, Imam Ali as dibunuh di mihrab masjid saat sedang salat.
Sebagian penting pidato, pernyataan dan surat-suratnya telah dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Nahj Al-Balagha.
Dalam artikel Pars Today kali ini, kita akan melihat beberapa hadis akhlak dari Imam Ali as:
Sibuk dengan aib sendiri
مَن أبصَرَ عَیبَ نَفسِهِ شُغِلَ عن عَیبِ غَیرِهِ (Mizan Al-Hikmah, jilid 8 hadis 322)
"Barang siapa yang melihat aibnya sendiri, tidak akan berkutat dengan aib orang lain."
Seimbang dalam persahabatan dan permusuhan
أحبِب حَبیبَک هَوناً ما عَسى أن یَعصِیَک یَوماً ما و أبغِض بَغیضَک هَوناً ماعَسى أن یَکونَ حَبیبَک یَوماً ما (Nahj Al-Balaghah, Al-Hikmah 268)
"Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai."
Belajar dari pengalaman orang lain
اَلسَّعیدُ مَن وُعِظَ بِغَیرِهِ (Mizan Al-Hikmah, jilid 5, hadis 297)
"Orang yang bahagia itu yang mengambil pelajaran dari orang lain."
Menjauhi paparan fitnah
مَن عَرَّضَ نَفسَهُ لِلتُّهَمَةِ فلایَلومَنَّ مَن أساءَ بِهِ الظَّنَّ (Mizan Al-Hikmah, jilid 6, hal 572)
"Barang siapa yang meletakkannya dirinya pada paparan fitnah, maka jangan menyalahkan orang yang berburuk sangka terhadapnya."
Memaafkan dan Berbuat adil
شَیئانِ لا یوزَنُ ثَوابُهُما: العَفوُ وَالعَدلُ (Ghurar Al-Hikam, hadis 5769)
" Ada dua hal yang mendapat pahala berlimpah; memaafkan dan berbuat adil."
Memikirkan nikmat-nikmat Allah
التَّفَکرُ فی آلاءِ اللّهِ نِعمَ العِبادَةُ (Mizan Al-Hikmah, jilid 9, hal 230)
"Memikirkan nikmat-nikmat Allah adalah sebaik-baik ibadah."
Merasa bangga dengan diri sendiri
اَلعُجبُ رَأسُ الحَماقَةِ (Ghurar Al-Hikam, hal 348)
"Bangga akan diri sendiri adalah puncak kebodohan"
Bermusyawarah
اَلاِستِشارَةُ عَینُ الهِدایَةِ (Ghurar Al-Hikam, 1021, Mizan Al-Hikmah, 12, hal 591)
"Bermusyawarah adalah sumber hidayah."
Menjawab orang bodoh
اَلسُّکوتُ عَلَى الأحمَقِ أفضَلُ (مِن) جَوابِهِ (Ghurar Al-Hikam, 1160, Mizan Al-Hikmah, jilid 3, hal 238)
"Diam menghadapi orang bodoh lebih mulia dari menjawabnya.