Ayat ke 119
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (9: 119)
Iman kepada Tuhan memiliki derajat dan tingkatan. Sedangkan merasa sudah beriman kepada Allah Swt dan Hari Kiamat tidaklah cukup. Karena itu iman haruslah disertai dengan kejujuran dan teremplementasikan dalam pekerjaan sehari-hari. Iman kepada Allah dan Hari Kiamat bukanlah sesuatu yang diucapkan dengan lisan saja. Memang benar bahwa hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap dan diperlakukan sebagai muslim. Akan tetapi, untuk mencapai derajat seorang mukmin, seseorang harus membuktikan kejujuran kalimat syahadat yang ia ucapkan itu dengan melaksanakan taat dan menjauhi maksiat, sehingga dia akan terselamatkan dari api neraka.
Meski iman kepada Allah terdapat di dalam hati, namun ia perlu diikrarkan secara lisan dan perbuatannya sama satu dan tidak berbeda. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh lisan haruslah menjadi keyakinan dalam hati, kemudian terejawantahkan dalam perbuatan, yang mencerminkan kejujuran keislaman yang diucapkan dengan lisan. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat ini berpesan agar orang-orang mukmin menjadi orang yang bersih dan jujur, serta selalu berada bersama orang-orang yang jujur dan benar.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Selalu bersama orang-orang saleh, baik dan jujur merupakan jalan pendidikan bagi manusia agar terjauhkan dari jalan yang menyimpang dan sesat.
2. Kejujuran dan kebenaran seberapapun kasarnya memiliki nilai di sisi Allah. Sebagaimana Allah swt telah mengenalkan para wali-Nya yang maksum sebagai orang-orang "Shadiqin".
Ayat ke 120-121
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (120) وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (121)
Artinya:
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (9: 120)
Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (9: 121)
Meski ayat-ayat tadi berbicara tentang penduduk Madinah dan sekitarnya, akan tetapi sebagaimana ayat-ayat al-Quran lainnya, ia tidak terbatas hanya pada orang, tempat dan zaman tertentu, tapi mencakup seluruh kaum Muslimin. Maka berdasarkan ayat-ayat ini, amal saleh bukanlah semata-mata berbentuk perbuatan ibadah, akan tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan karena Allah, akan termasuk ke dalam kategori amal saleh.
Begitu juga seorang mukmin yang bekerja di atas jalan Allah dengan susah payah menanggung haus dan lapar, juga disebut amal saleh dan Allah akan memberikan pahala-Nya kepada mereka. Segala kesulitan dan problema yang dihadapi dan dipikul dengan tabah oleh suatu masyarakat Islam karena embargo ekonomi yang diberlakukan oleh musuh-musuh Islam, juga dikategorikan sebagai amal saleh. Segala bentuk gerakan sosial masyarakat, seperti unjuk rasa dan demo untuk menunjukkan kemarahan kepada musuh-musuh Allah, sehingga semakin memperkuat barisan kaum Muslimin, maka berdasarkan ayat-ayat di atas, juga disebut sebagai amal saleh. Dan sudah pasti Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan perbuatan mereka.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menjaga kemuliaan dan kerhormatan Nabi Saw sebagai pemimpin masyarakat Islam, lebih penting daripada menjaga jiwa kaum Muslimin. Karena itu kaum Muslimin wajib menjaga kehormatan dan kemuliaan Nabi meski harus mempertaruhkan jiwa mereka.
2. Memang untuk memperoleh pahala dan balasan Allah, manusia harus tetap menjaga komitmen dan tabah menanggung kesulitan.
3. Berbagai perbuatan baik sedikit ataupun banyak, tetap akan diperhitungkan di sisi Allah Swt.
Ayat ke 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (9: 122)
Dalam kebudayaan Islam, hijrah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak kurang nilai pahalanya daripada pahala orang yang pergi untuk berjihad melawan musuh. Karena ayat ini berbicara kepada orang-orang Mukmin dengan menyatakan, Sebagian orang harus siap, dan guna mengenal kedalaman agama Allah ini, manusia harus berhijrah dari desa dan kota mereka kemudian kembali ke kampung halaman, lalu menyampaikan ajaran dan hukum-hukum Islam kepada kaumnya.
Sebagaimana diketahui, agama merupakan sekumpulan dan seperangkat nilai yang terdiri dari usul dan furu'uddin, yang harus diketahui oleh setiap orang mukmin. Adapun dalam berbagai riwayat, istilah fikih berhubungan dengan hukum-hukum agama Islam yang menjelaskan hal-hal wajib, haram, mustahab dan makruh. Nabi Muhammad Saw sewaktu mengutus Imam Ali bin Abi Thalib as ke Yaman, beliau memerintahkan kepadanya agar mengajarkan fikih kepada masyarakat, sehingga merka dapat menerapkan hukum-hukum Allah sebagai peraturan dan ajaran Islam. Imam Ali as juga berpesan kepada putra beliau dengan mengatakan, "Dalam Islam, fikih merupakan peraturan yang harus diamalkan. Sedemikian tingginya peran fikih ini, sehingga para fuqaha disebut sebagai pewaris anbiya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berhijrah memerlukan komitmen Iman, guna mengenal dan mendalami agama Islam, yang tak lain adalah untuk menyelamatkan agama Islam itu sendiri.
2. Pada saat berperang pun, kaum Muslimin tidak boleh lalai dan melupakan perjuangan membina pemikiran, keyakinan dan akhlak masyarakat.
3. Para penuntut ilmu mengenal 2 tahap hijrah. Pertama, hijrah menuju ke pusat-pusat ilmu pengetahuan, dimana mereka menuntut dan mencari berbagai ilmu pengetahuan. Sedangkan yang kedua ialah hijrah untuk mengajarkannya kepada orang lain.