Imam Sajjad; Menghidupkan Agama di Era Represif

Rate this item
(0 votes)
Imam Sajjad; Menghidupkan Agama di Era Represif

 

Imam Ali Zainal Abidin as dilahirkan tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriyah di kota Madinah. Putra Imam Husein as ini dijuluki dengan sebutan as-Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad as juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, baik budi, dan penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.

Tahun-tahun kepemimpinan Imam Sajjad as bersamaan dengan salah satu era kelam dan paling mencekam dalam sejarah pemerintahan Islam. Meskipun pada zaman Imam Ali as telah muncul sebuah rezim tirani yang digawangi oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, tapi pada era Imam Sajjad as, para penguasa dari Dinasti Umayyah terang-terangan melecehkan sakralitas Islam dan menginjak-injak prinsip-prinsip Islam serta tidak ada seorang pun yang berani memprotes fenomena itu.

Sebagian besar dari masa kepemimpinan Imam Sajjad as berbarengan dengan era kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, penguasa tiran rezim Umayyah. Dia berkuasa lebih dari 20 tahun dan suatu hari dalam pidatonya di Madinah, berkata, "Saya tidak akan mengobati masyarakat ini kecuali dengan pedang. Demi Tuhan! Barang siapa setelah ini menyeruku kepada ketakwaan dan ketaatan, aku akan menebas lehernya." Ucapan ini disampaikan sebagai pesan kepada para khatib dan imam shalat Jumat yang membuka khutbahnya dengan kalimat "bertakwalah kepada Allah."

Imam Sajjad as
Abdul Malik bin Marwan dikenal luas sebagai tukang jagal dan penumpah darah masyarakat. Para pembantu dan panglima tentaranya juga diketahui sebagai orang-orang yang haus darah dan kejam. Sebagai contoh, lihatlah sejarah kehidupan Hajjaj bin Yusuf, penguasa kota Kufah di Irak. Seorang pakar sejarah Islam abad ketiga Hijriyah, al-Mas'udi menulis, "Hajjaj bin Yusuf telah berkuasa selama 20 tahun dan orang-orang yang tewas dengan pedangnya atau disiksa selama masa itu berjumlah 120 ribu orang! Jumlah ini tidak termasuk mereka yang tewas oleh tentaranya ketika berperang melawan Hajjaj. Para tahanan gemetar ketika mendengar nama Hajjaj, ada sekitar 50 ribu laki-laki dan 30 ribu perempuan yang dipenjara di sana. Hajjaj mengurung mereka dalam satu tempat dan penjara itu tidak memiliki atap. Para tahanan tidak aman dari musim panas dan musim dingin."

Dalam kondisi seperti itu, Imam Ali bin Husein as memikul tugas untuk membimbing umat Islam. Pada masa itu, umat Islam terjebak dalam sebuah krisis pemikiran dan akidah. Mereka mengambil jarak dari ajaran Ahlul Bait, sementara para penguasa Dinasti Umayyah berupaya menyibukkan masyarakat dengan hal-hal yang tidak penting dan sepele. Masyarakat Islam juga terancam dengan ulah para penguasa tiran yang menyebarluaskan berbagai jenis kerusakan dan kemungkaran. Hidup mewah dan hedonisme telah menjadi sesuatu yang lumrah. Mereka menguasai banyak properti dan memborong para budak, termasuk mereka yang berprofesi sebagai penyanyi dan penghibur untuk jamuan-jamuan pesta para penguasa.

Dekadensi moral itu mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Yazid bin Muawiyah, di mana dua kota suci Mekah dan Madinah juga ternodai oleh perilaku rezim. Al-Mas'udi menulis, "Kerusakan dan noda hitam Yazid juga meracuni para pembantu dan pegawainya. Pada masanya, lagu dan tarian terang-terangan dipentaskan di Makkah dan Madinah bersama pesta pora, masyarakat juga tidak canggung-canggung lagi untuk meneguk khamar. Kondisi mengenaskan ini berlanjut pada masa Abdul Malik bin Marwan."

Menyaksikan kondisi mengerikan itu, Imam Sajjad as menempuh sebuah cara di mana tidak hanya untuk menyelamatkan budaya Islam yang terancam punah, tapi juga untuk menciptakan kondisi bagi penyebaran nilai-nilai luhur Islam. Beliau melakukan revolusi budaya dengan mendidik para tenaga pengajar untuk menghidupkan Islam dan mempersiapkan kemunculan mazhab Jakfari. Selain mengkader para murid, Imam Sajjad as juga mendidik dan memberi pencerahan kepada para budak, dan kemudian memerdekakan mereka untuk berdakwah di tengah masyarakat.

Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Imam Sajjad as telah memerdekakan seribu budak di jalan Allah Swt. Beliau membeli para budak dan kemudian membekali mereka dengan hakikat Islam. Ketika seorang budak dimerdekakan, pada dasarnya Imam Sajjad as telah meluluskan seorang individu yang merdeka, berpendidikan, arif, dan pecinta Ahlul Bait as. Daya tarik Imam Sajjad as sangat luar biasa di mana beberapa budak lebih memilih hidup bersama beliau daripada dimerdekakan.

Mengingat tuntutan kondisi, Imam Sajjad as tidak bisa terang-terangan menyampaikan ajaran-ajarannya kepada masyarakat. Beliau memanfaatkan metode nasehat dan doa untuk mengenalkan mereka dengan pemikiran-pemikiran Islam. Beliau menghidupkan kembali budaya Islam dan memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang hakikat dan ajaran Islam. Imam Sajjad as dalam sebuah ucapannya berkata, "Jauhilah diri kalian dari berinteraksi dengan para pendosa, bekerjasama dengan para penindas, dan mendekatkan diri dengan orang-orang fasik. Waspadalah terhadap fitnah mereka dan menjauhlah dari mereka dan ketahuilah bahwa barang siapa yang menentang para auliya Allah dan mengikuti selain agama Tuhan serta bertindak gegabah di hadapan perintah kepemimpinan Ilahi, maka ia akan terperosok di neraka?"

Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad as turut menyertai ayah beliau yang berjuang melawan kezaliman pemerintahan Yazid, di Padang Karbala. Atas kehendak Allah Swt, saat itu beliau jatuh sakit sehingga tidak bisa ikut bertempur. Setelah Imam Husein as gugur syahid, tampuk imamah diemban oleh Imam Sajjad as. Di sepanjang hidupnya, Imam Sajjad as berusaha melestarikan nilai-nilai perjuangan Karbala dan menyebarluaskannya sebagai hasil dari sebuah kebangkitan besar dan abadi.

Tangisan dan ratapan duka Imam Sajjad as telah menghidupkan tragedi Karbala di tengah masyarakat. Setiap kali dibawakan air minum, beliau meneteskan air mata dan berkata, "Bagaimana aku bisa meminum air sedangkan mereka membunuh cucu Rasulullah Saw dalam keadaan dahaga?" Dan terkadang beliau juga berkata, "Setiap saat aku mengingat terbunuhnya anak-anak Fatimah as, aku tidak bisa menahan tangis." Imam Jakfar Shadiq as berkata kepada Zurarah, "Ketika kakekku Ali bin Husain as mengingat ayahnya, ia selalu menangis sehingga air mata membasahi janggut beliau dan membuat orang-orang lain yang melihatnya terharu dan menangis."

Suatu hari, Imam Sajjad as memberitahu budaknya bahwa beliau akan pergi ke padang sahara. Sang budak berkata, "Aku pun lantas mengikuti beliau. Kulihat beliau sujud di atas sebongkah batu besar. Aku berdiri sambil memperhatikan suara rintihan dan tangisannya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud sedang air mata telah membasahi seluruh janggut dan wajahnya." Kepada beliau kukatakan, "Tuanku, sampai kapan kesedihanmu akan berakhir dan tangisanmu akan selesai?"

Imam Sajjad as
Imam Sajjad as menjawab, "Tahukah kamu bahwa Nabi Ya'qub bin Ishak bin Ibrahim adalah seorang nabi, anak nabi dan cucu nabi? Beliau mempunyai 12 orang anak. Ketika Allah menjauhkan salah seorang dari mereka, rambut kepalanya memutih karena sedih, punggungnya membungkuk karena duka dan matanya menjadi buta karena selalu menangis. Padahal anaknya masih hidup di dunia. Sedangkan aku, aku dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan ayah, saudara dan 17 orang dari sanak keluargaku dibantai dan terkapar di Padang Karbala. Bagaimana mungkin kesedihanku akan berakhir dan tangisanku akan berkurang?"

Pada tanggal 25 Muharam tahun 95 Hijriah, Imam Sajjad as gugur syahid, tak lama setelah Hisyam bin Abdul Malik membubuhkan racun ke dalam makanannya. Beliau wafat pada usia 57 tahun dan dimakamkan di Baqi? di samping makam pamannya, Imam Hasan bin Ali as

Read 529 times