Sayid Murtadha Alamul Huda.

Rate this item
(0 votes)
Sayid Murtadha Alamul Huda.

 

Ulama dalam budaya Islam memiliki posisi yang sangat tinggi dan dianggap sebagai pewaris para nabi di tengah umat. Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait as memperkenalkan ulama sebagai penjaga agama, penerang bumi, dan pewaris para nabi.

Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Ketika hari kiamat tiba, Allah Swt akan membangkitkan ulama dan ‘abid. Ketika mereka berdua berdiri di hadapan Allah Swt, datang perintah kepada ‘abid, ‘Masuklah ke surga’ dan dikatakan kepada ulama, ‘Tetaplah di sini dan berikan syafaat karena kalian telah mendidik orang-orang dengan baik.’”

Edisi sekarang akan mengkaji lebih jauh tentang posisi tinggi cendekiawan Muslim dengan memperkenalkan kepribadian dan kiprah para ulama besar Syiah.

Ali bin Husein bin Musa – masyhur dengan Sayid Murtadha Alamul Huda – adalah seorang fakih besar, teolog, dan tokoh masyarakat Syiah yang sangat berpengaruh pada abad keempat dan kelima Hijriyah.

Dari segi intelektual, Sayid Murtadha Alamul Huda memiliki posisi yang sangat tinggi sehingga hanya sedikit orang yang mencapai posisi ini pada masa itu. Dia sangat menonjol dalam banyak disiplin ilmu pada masanya seperti teologi, fiqih, yurisprudensi, tafsir, filsafat, astronomi, dan sastra, dan bahkan dianggap sebagai murid istimewa Syeikh Mufid.

Sepeninggal Syeikh Mufid, ia dianggap sebagai ulama besar fiqih, teolog, dan marja’ utama Syiah pada masanya. Sayid Murtadha juga dikenal sebagai penyebar agama pada awal abad kelima Hijriyah.

Sayid Murtadha – sepeninggal ayah dan saudaranya Sayid Radhi – selama 30 tahun menjadi pembesar kelompok Alawi (keturunan Nabi Saw), pemimpin haji, dan ketua dewan pemberantas kezaliman. Dewan ini menangani pengaduan masyarakat terhadap para penguasa dan gubernur.

Menurut Sayid Murtadha, bekerjasama dengan penguasa lalim adalah boleh dan benar bila memiliki fungsi-fungsi rasional dan syar'i, yakni seseorang dalam tanggung jawabnya mampu mengangkat kezaliman dan menegakkan keadilan atau menjalankan hukum-hukum Ilahi.

Sayid Murtadha adalah seorang pemikir rasionalis. Dia percaya bahwa untuk membuktikan Tuhan, diperlukan pencarian rasional dan penalaran, dan tidak dapat merujuk kepada teks-teks agama untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sebab teks-teks agama sendiri akan dianggap valid ketika Tuhan sudah dibuktikan melalui akal dan beberapa sifat-Nya juga sudah diketahui.

Pandangan Sayid Murtadha ini berakar pada ajaran al-Quran bahwa prinsip-prinsip agama termasuk keyakinan pada Allah, kenabian, konsep imamah, hari kebangkitan, dan keadilan – sebagai rukun Islam – tidak dapat diterima hanya mengandalkan taklid dan ucapan orang lain, tetapi prinsip-prinsip ini harus dibuktikan dengan menggunakan akal, baru setelah itu seseorang dapat memanfaatkan teks agama dalam menerima rukun-rukun agama lainnya.

Ulama besar ini memandang akal sebagai hujjah dalam berakidah dan kajian teologis, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan akal dianggap batil. Oleh karena itu, ketika ada riwayat yang bertentangan dengan akal, maka ia memilih pandangan akal dan percaya bahwa tidak semua riwayat yang sampai kepada kita adalah sahih.

Pada masa itu, kelompok Mu'tazilah juga aktif melakukan kegiatan ilmiah di Baghdad dan mereka merupakan kelompok yang berpegang pada rasionalitas. Oleh sebab itu, beberapa pihak menganggap Sayid Murtadha sebagai penganut mazhab Mu'tazilah, padahal tidak demikian.

Sebagai seorang pemikir Syiah, ia menentang pemikiran Mu'tazilah mengenai beberapa prinsip penting termasuk konsep imamah, kemaksuman, iradah Ilahi dan kehendak manusia.

Sayid Murtadha memiliki pendekatan rasionalitas di bidang fiqih dan meyakini bahwa jika tidak ditemukan dalil-dalil naqli untuk membuktikan hukum syariah pada suatu subjek, maka akal dengan sendirinya dapat menyingkap hukum syariah. Dia adalah salah satu pelopor metode ijtihad dalam fiqih Syiah yang dalam pengistimbatan hukum menggunakan dalil-dalil rasional.

Sayid Murtadha meninggalkan banyak karya yang berharga untuk mazhab Syiah. Almarhum Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir menyebutkan 86 nama buku ulama besar tersebut, salah satunya adalah buku koleksi puisi dengan 20.000 bait. Di antara buku fiqih Sayid Murtadha adalah al-Intishar.

Buku ini termasuk salah satu contoh kitab fiqih pertama yang mengkaji persoalan-persoalan yang diperdebatkan antara Syiah dan Sunni, dan memuat hukum-hukum yang berhubungan dengan fiqih Syiah.

Karya penting lainnya di bidang fiqih adalah kitab al-Nasiriyat yang ditulis untuk menafsirkan pandangan fiqih kakeknya, Nasir Kabir. Sayid Murtadha menulis sebuah buku yang lengkap dan komprehensif di bidang yurisprudensi Syiah yaitu al-Zari'ah ila Usul al-Syari'ah dan memberikan penilaian tentang pandangan mazhab Sunni.

Kitab tersebut dianggap sebagai awal terbentuknya ilmu ushul fiqh di kalangan Syiah dan membuatnya terpisah dari ilmu ushul fiqh Sunni. Karya-karya lain Sayid Murtadha adalah kitab Amali tentang persoalan fiqih, kemudian buku-buku di bidang tafsir, hadis, syair, sastra, dan kitab al-Syafi yang membahas konsep imamah.

Sayid Murtadha sangat terkenal selama masa hidupnya dan disebutkan bahwa kuliahnya selalu dipadati oleh mahasiswa dan sebagian ulama, dan bahkan gurunya Syeikh Mufid kadang-kadang juga menghadiri kuliahnya. Dia memiliki rumah besar yang dijadikan sebagai madrasah dan mengajar berbagai mata kuliah seperti fiqih, yurisprudensi, teologi, tafsir, bahasa, syair, astronomi, dan matematika.

Pada waktu itu, para mahasiswa datang ke kota Baghdad dari penjuru terjauh untuk menimba ilmu dari guru-guru besar seperti Sayid Murtadha, namun kebanyakan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikannya selama di rantau. Sayid Murtadha mendedikasikan sebagian rumahnya untuk para mahasiswa. Dia adalah orang pertama yang mengubah rumahnya menjadi madrasah dan tempat diskusi serta menyediakan sebuah perpustakaan besar untuk mahasiswa.

Ketika buku-buku masih ditulis dengan tangan dan belum ada industri percetakan, perpustakaan Sayid Murtadha mengoleksi hampir 80.000 buku. Di madrasahnya, mahasiswa dari berbagai agama sangat terkesan dengan perilaku dan akhlak Sayid Murtadha. Kontribusi penting lain yang dilakukan Sayid Murtadha adalah mendedikasikan salah satu desa miliknya untuk memenuhi kertas yang dibutuhkan oleh para ilmuwan dan fuqaha.

Sayid Murtadha meninggal dunia pada usia sekitar 80 tahun pada tanggal 25 Rabiul Awal 436 H di kota Baghdad. Jenazahnya dimandikan oleh Abu al-Hussein Najashi dan murid-muridnya yang lain. Kemudian putranya Sayid Muhammad memimpin shalat jenazah dan Sayid Murtadha dimakamkan di rumahnya di daerah Karkh, Baghdad. Jasad Sayid Murtadha kemudian dipindahkan ke Karbala dan dimakamkan di samping makam suci Imam Husein as. 

Read 870 times