Salah satu ulama besar dan ternama Syiah pada Abad ke-11 Hijriah adalah Muhammad Taqi Majlisi, putra dari Allamah Majlisi.
Seorang ulama yang bukan saja menjadi sumber karya-karya bernilai tinggi yang diciptakan untuk mengagungkan ajaran Ahlul Bait as, bahkan keberadaannya telah menjadi pionir para ulama besar Syiah yang masing-masing layaknya bintang bersinar terang di langit ajaran Ahlul Bait as.
Seiring dengan berkuasanya Dinasti Safawiyah di Iran, Syiah menjadi mazhab resmi di kerajaan ini, dengan demikian orang-orang Syiah dapat hidup lebih tenang, dan ulama Syiah memiliki kesempatan yang baik untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait as, dan menggelar kelas-kelas agama secara leluasa. Di masa-masa inilah tepatnya tahun 1003 Hijriah Qamariah, Muhammad Taqi Majlisi dilahirkan di kota Isfahan. Ayahnya Mullah Ali Majlisi saat itu dikenal karena keutamaan akhlaknya, dan beliau meriwayatkan banyak hadis.
Mullah Ali menamai anaknya yang baru saja lahir dengan nama Muhammad Taqi karena kecintaannya pada Imam Kesembilan Syiah. Muhammad Taqi sedari kanak-kanak sudah dididik agama dan akidah Syiah, dan ayah Muhammad Taqi selalu membawanya ke majelis-majelis Syiah.
Dikarenakan pendidikan berkualitas yang diberikan ayahnya, Muhammad Taqi pada usia belia saat bermain dengan kawan-kawan sebayanya, kerap memberikan nasihat kepada mereka dengan ayat-ayat Al Quran dan hadis. Ia juga sering bercerita tentang surga da neraka serta akibat perbuatan baik, dan buruk kepada teman-temannya.
Ayah Muhammad Taqi berhasil mengenalkan jiwa suci anaknya sejak dini untuk mengenal ajaran Ahlul Bait as, dan menciptakan rasa haus serta kecintaan pada kesempurnaan di dalam dirinya. Peran besar ayah yang tertanam di jiwa Muhammad Taqi sejak kecil inilah yang kelak menjadikannya sebagai figur yang menghabiskan usianya untuk mengaggungkan ajaran Ahlul Bait as, dan menjadikannya salah satu ulama terkemuka Syiah.
Muhammad Taqi setelah menempuh pendidikan dasar dari ayahnnya, melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sisi para ustadz besar masa itu di Isfahan, dan berkat bimbingan ayahnya, ia menghadiri kelas agama Allamah Maula Abdullah Shushtari, salah satu ulama besar Hauzah Ilmiah Najaf yang pindah ke Isfahan. Muhammad Taqi selama bertahun-tahun mengikuti ustadz ini, dan belajar fikih, hadis, ushul fikih, teologi dan tafsir Al Quran darinya. Setelah ustadz meninggal dunia, Muhammad Taqi mulai mengenal Sheikh Bahai, seorang fakih, ilmuwan dan arif besar, dan ia belajar darinya.
Di bawah bimbingan Sheikh Bahai, Muhammad Taqi belajar Irfan, dan perjalanan spiritual. Sejak awal Muhammad Taqi memang sudah menunjukkan minat yang besar terhadap Irfan, dan ilmu-ilmu yang biasa dipelajari di Hauzah Ilmiah, sehingga rasa hausnya terhadap ilmu pengetahuan semakin besar. Setelah mengenal Sheikh Bahai, Muhammad Taqi seolah menemukan sesuatu yang hilang dari dirinya. Selain itu, Muhammad Taqi Majlisi juga menghadiri kelas-kelas ulama lain seperti Mir Fendereski, Qadhi Abu Al Surur, Amir Ishaq Astarabadi, Sheikh Abdullah Ibn Jabir Amili, dan Mullah Muhammad Qassim Amili.
kitab karya Mullah Muhammad Taqi Majlisi
Muhammad Taqi Majlisi pada tahun 1034 Hijriah Qamariah, ketika usianya menginjak 31 tahun, dan diharapkan mengajar di Hauzah Ilmiah Isfahan, berangkat ke kota Najaf, Irak. Ia memutuskan untuk memulai perjalanan spiritual dalam menyucikan jiwa, dan menempuh derajat kesempurnaan, dengan tinggal di Najaf di dekat Makam Suci Imam Ali as.
Muhammad Taqi Majlisi terkait hal ini mengatakan, “Saya memulai jihadu nafs di sekitar Pusara Suci Imam Ali as, di Maqam Imam Mahdi af, dan Allah Swt berkat Maula kita, semoga salam dari Allah Swt selalu tercurah untuknya, membukakan pintu-pintu mukasyafah yang tidak bisa ditampung oleh akal-akal yang lemah, kepada saya.”
Akan tetapi di masa perjalanan spiritual ini, Muhammad Taqi Majlisi tidak pernah meninggalkan pelajaran fikih, dan hadis, karena ia percaya perjalanan irfani tanpa bimbingan dan kecintaan Ahlul Bait as, dan keluar dari kerangka hukum agama, tidak akan membawa manusia kepada Allah Swt, justru akan menyimpangkannya dari jalan kebenaran.
Mullah Muhammad Taqi Majlisi menulis banyak buku, buku hadis dan riwayat merupakan karya beliau yang paling menonjol. Buku terpenting yang ditulis Mullah Muhammad Taqi Majlisi berjudul Raudhatul Muttaqin, dan Lawami Sahibqarani yang merupakan buku komentar atau penjelasan tentang kitab Man La Yahdhuruhu Al Faqih karya Sheikh Saduq. Man La Yahdhuruhu Al Faqih adalah salah satu kitab hadis Syiah yang empat, dan termasuk sumber rujukan utama hadis.
Sejak pertama kali ditulis, kitab hadis ini mendapat perhatian besar dari para ulama Syiah, dan lebih dari 17 kitab komentar dan penjelasan ditulis atas Man La Yahdhuruhu Al Faqih. Raudhatul Muttaqin buku karya Mullah Muhammad Taqi Majlisi merupakan kitab komentar terpenting yang pernah ditulis atas kitab Man La Yahdhuruhu Al Faqih, dan berulangkali dicetak.
Fakih besar, Muhammad Taqi Majlisi merupakan salah satu pengajar di Hauzah Ilmiah Isfahan yang setiap hari kelasnya dihadiri banyak pelajar agama, dan di antara muridnya yang sukses adalah Allamah Muhammad Baqir Majlisi, Sayid Ni’matullah Jazairi, dan Mullah Muhammad Salih Mazandarani. Meski mencetak ulama-ulama besar, Muhammad Taqi Majlisi tetap merupakan ulama yang dekat dengan rakyat, dan selalu memperhatikan upaya membimbing serta menghidayahi mereka, dan menegakkan ammar makruf dan nahyi munkar di tengah masyarakat.
Rumahnya yang terletak di sebelah Masjid Jami Atiq, selalu didatangi masyarakat, dan di sanalah mereka menyelesaikan permasalahan atau pertikaian. Sebagai Imam Jumat kota Isfahan, Mullah Muhammad Taqi Majlisi selalu menyampaikan nasihat, serta bimbingan untuk masyarakat kota. Buku Hadiqatul Muttaqin, ditulis Mullah Muhammad Taqi Majlisi dalam bahasa Farsi untuk masyarakat, dan mendapat perhatian khusus para ulama serta membantu menyelesaikan berbagai permasalahan hukum syariat masyarakat.
Salah satu sisi menarik dari kehidupan Mullah Muhammad Taqi Majlisi adalah kecintaan khususnya pada kitab Sahifah As Sajjadiyah, dan kecintaan luar biasa untuk mengenalkan kitab ini kepada masyarakat. Ia menuturkan, “Di awal masa remaja ketika mencapai usia baligh, saya melakukan banyak upaya untuk mendapatkan ridha Allah Swt, sehingga suatu malam dalam kondisi antara tidur dan tersadar, saya bertemu Imam Mahdi af. Dalam pertemuan itu saya menyampaikan sejumlah pertanyaan, kemudian saya katakan, saya tidak pernah bisa bertemu dengan Anda Ya Imam, lalu Imam Mahdi mengenalkan sebuah kitab kepada saya yang selalu saya amalkan isinya. Imam berkata, aku sudah memberikan sebuah kitab kepada Muhammad Taj, untuk disampaikan kepadamu. Setelah bertemu Imam Mahdi, saya menemui Muhammad Taj, tidak lama saya mencarinya dan akhirnya menemukannya, dan ia memberikan kitab Sahifah As Sajjadiyah kepada saya. Saya menangis dan mencium kitab tersebut, lalu meletakkan kitab itu di mata saya.”
Sahifah As Sajjadiyah adalah sebuah kitab yang berisi 54 doa dan munajat Imam Keempat Syiah, Imam Ali bin Hussein as. Selepas tragedi Karbala, Imam Sajjad as atas izin Allah Swt selamat, dan menjadi Imam Keempat Syiah pengganti Nabi Muhammad Saw.
Pemerintahan Dinasti Umayah setelah peristiwa Karbala, dan gugurnya Sayid As Syuhada, Imam Hussein as, dan menawan keluarga Nabi Muhammad Saw, menerapkan aturan keras terhadap para pecinta Ahlul Bait as. Aktivitas Imam Sajjad as dikontrol ketat, kenyataannya beliau berada dalam tahanan rumah, dan masyarakat tidak bisa memanfaatkan keberadaan beliau dengan mudah.
Di masa sulit ini, Imam Sajjad memilih bahasa doa untuk menyampaikan ajaran Ilahi, dan munajat-munajat indah dengan kandungan pendidikan, agama, Irfan, sosial dan politik yang tinggi disampaikan dalam bingkai doa. Para ulama Syiah menganggap kitab Sahifah As Sajjadiyah sebagai perbendaharaan hakikat dan ajaran Ilahi terbesar setelah Al Quran dan Nahj Al Balaghah. Oleh karena itu mereka menyebut Sahifah As Sajjadiyah sebagai Injil Ahlul Bait dan Zabur Aali Muhammad.
Muhammad Taqi Majlisi menghabiskan sebagian besar usianya untuk belajar, dan tenggelam dalam Sahifah As Sajjadiyah, sehingga karena terus melafalkan doa Sahifah As Sajjadiyah, doanya seringkali mustajab dan dikabulkan Allah Swt. Artinya setiap doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt selalu diterima.
Ia juga mengajarkan Sahifah As Sajjadiyah kepada masyarakat, dan sekuat tenaga mengenalkan kitab ini kepada mereka. Kerja kerasnya membuahkan hasil, di masa itu di setiap rumah warga Isfahan bisa ditemukan lebih dari satu kitab Sahifah As Sajjadiyah, dan masyarakat akrab dengan kitab tersebut.
Muhammad Taqi Majlisi mengatakan, “Saya tidak bisa menghitung ilmu-ilmu yang diberikan Allah Swt kepada saya, karena Sahifah As Sajjadiyah ini. Hal ini merupakan kebaikan Allah Swt kepada kita, dan kepada masyarakat. Berkat hadiah Imam Zaman ini, Sahifah As Sajjadiyah ada di setiap rumah, dan banyak orang yang membaca doanya, dan doanya terkabul.”
Mullah Muhammad Taqi Majlisi mengembuskan nafas terakhir pada 11 Syaban 1070 Hijriah Qamariah di Isfahan, dan jenazahnya dikebumikan di kota ini. Meninggalnya fakih besar ini merupakan kehilangan yang luar biasa di bidang agama, terutama Hauzah Ilmiah Isfahan.
Pasalnya Isfahan telah kehilangan guru hadis terbaik. Akan tetapi murid-murid beliau melanjutkan jalannya, dan bekerja keras menyucikan diri serta menghidupkan hadis, terutama Allamah Muhammad Baqir Majlisi, yang berjasa menjadikan kajian hadis giat dilakukan, dan hadis mendapat perhatian lebih besar.