Berbeda dengan Kitabullah yang membawa kebenaran absolut, media massa yang saat ini gencar membanjiri kita dengan berbagai versi informasi, dikuasai atau ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu (terutama pemodalnya). Karena itulah, penting bagi kita untuk melihat konflik Suriah dari segala sisi agar bisa lebih adil menyikapinya.
Para pendukung pemberontak Suriah di Indonesia sering mengatakan begini kepada orang-orang yang berusaha meluruskan informasi tentang konflik Suriah:
“Memangnya kamu sekarang sedang berada di Suriah, koq sok tahu kondisi di sana seperti apa?”
Seandainya kita menggunakan logika yang sama dalam kasus yang berbeda, misalnya tentang diselamatkannya Nabi Musa as dari Fir’aun, maka kita di yang hidup di tahun 2014 juga akan terdengar ‘sok tau’ jika bercerita tentang kisah itu.Karena, kita tidak melihat langsung kejadian tersebut. Lalu mengapa kita bisa tahu kisah Nabi Musa dan bisa menceritakannya kembali? Karena ada ‘media’ yang memberikan informasi akurat yaitu Kitabullah. Dengan kata lain, media merupakan penghubung lintas tempat dan waktu.
Berbeda dengan Kitabullah yang membawa kebenaran absolut, media massa yang saat ini gencar membanjiri kita dengan berbagai versi informasi, dikuasai atau ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu (terutama pemodalnya). Karena itulah, penting bagi kita untuk melihat konflik Suriah dari segala sisi agar bisa lebih adil menyikapinya.
Alhamdulillah, tim Liputan Islam berhasil tersambung dengan seorang warga NU yang kini tengah menuntut ilmu di Suriah. Beliau bersedia diwawancarai, namun dengan ditutupi identitasnya, sehingga kami akan menyebutnya Ustadz MM.
Liputan Islam (LI): Assalamu’alaikum ustadz…
Ustadz MM (UMM): Wa’alaikumsalam warahmatullah
LI: Kondisi di Damaskus sendiri bagaimana Ustadz?
UMM: Untuk ibukota alhamdulillah masih kondusif. Tapi untuk daerah-daerah konflik, memang kondisinya mengenaskan.
LI: Apa aktivitas Ustadz di Suriah saat ini?
UMM: Saya sedang kuliah di Om Durman University cabang Mujamma’ Syekh Ahmad Kuftaroo Damascus jurusan Ushul Fiqh, dan sekarang saya sedang menyusun tesis.
LI: mengapa Ustadz memilih bertahan hidup di Suriah yang tengah dilanda perang saudara? Bukankah lebih aman jika kembali ke tanah air? Dari berita yang kami dapat, tidak jarang bom maupun roket menghancurkan fasilitas umum seperti sekolah, masjid hingga rumah sakit.
UMM: Kegiatan kuliah alhamdulillah tidak terganggu. Daerah konflik itu di luar kota dan pinggiran pinggiran Damaskus, di dalam kota masih terkendali dan normal. Memang pada awal konflik banyak sekali ledakan, tetapi sejak pertengahan 2013, tidak ada ledakan di Damaskus.
Justru saya pikir ini (belajar di Suriah) adalah kesempatan langka. Kalau dulu kami harus berdesakan di kampus dan tempat-tempat pengajian para ulama, sekarang tidak lagi seramai itu karena mayoritas pelajar asing sudah kembali ke negaranya masing-masing.
Di tahun 2013, jatuhnya roket adalah kejadian yang biasa. Sehari bisa puluhan roket jatuh di ibukota. Tetapi targetnya sudah bisa diprediksi. Roket biasanya jatuh di kantor-kantor pemerintah, markas polisi dan tentara, serta daerah-daerah yang dihuni kaum minoritas seperti Kristen dan Druze. Kami disini sebagai saksi sejarah bagaimana biadabnya media baik pro Barat dan Israel maupun yang berhaluan wahabi dalam menghancurkan peradaban, ekonomi serta kerukunan rakyat Suriah yang tidak pernah terbesit di dalam pikiran mereka tentang SARA.
LI: Ustadz selaku warga NU, bagaimanakah memandang kehidupan beragama di Suriah? Ada informasi yang pernah beredar bahwa katanya Assad mengaku Tuhan yang minta disembah dan ini disampaikan oleh Sheikh Muhammad Arifi dari Saudi.
UMM: Disini pemerintah berpaham sekuler. Semua kepercayaan boleh tumbuh. Bahkan partai komunis juga ada di Suriah. Tetapi pemerintah melarang agama diseret ke dalam ranah politik, dan karenanya tidak diperkenankan agama atau kesukuan menjdi dasar sebuah partai. Walaupun demikian, fiqh Hanafi menjadi salah satu sumber hukum utama dalam hukum akhwal syakhsiyyah disini.
Di Damaskus saja bertebaran puluhan Tsanawiyah Syar’iyah (setingkat MTs dan Madrasah Aliyah Keagamaan) dan 5 ma’had syar’i (mirip pondok pesantren) di bawah kementrian Awqaf. Itu smua milik Sunni. Di Damaskus juga terdap