Pada tahun 10 Hijriah, di tengah terik matahari yang menyengat, Rasulullah Saw menunaikan haji terakhirnya. Selain mengajarkan manasik haji kepada umat Islam, Nabi Muhammad saw juga menyampaikan masalah imamah dan pewaris kepemimpinan umat. Sejarawan menyebutkan lebih dari 120 ribu Muslim menyertai Rasulullah menunaikan ibadah haji. Setelah selesai menunaikan haji, Rasulullah mengumumkan bahwa seluruh jemaah haji dari Mekkah berkumpul di sebuah tempat bernama Khum, yang merupakan titik perpisahan jemaah haji menuju tempat tinggal masing-masing. Ketika sampai di Ghadir Khum, Rasulullah memerintahkan rombongan haji berhenti untuk menunaikan shalat dan beliau menyampaikan khutbah di sana.
 
 
Pada bagian awal khutbah, setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah Swt, Rasulullah Saw menyampaikan sebuah tugas penting dari Allah Swt, dan bersabda: "Sekarang aku bersaksi atas penghambaanku terhadap Allah swt. Dan aku akan melaksanakan tugas yang diwahyukan kepadaku Tidak ada Tuhan selain-Nya (Allah Swt), karena Dia berfirman, agar aku menyampaikan apa yang diturunkan kepadaku. Jika aku tidak melaksanakannya maka aku tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah Swt telah memberikan jaminan keamanan (dari gangguan) manusia." Ucapan Rasulullah ini menyinggung penjelasan surat al-Maidah ayat 67.
 
Nabi Muhammad Saw melanjutkan Khutbahnya, "Wahai umat, aku tidak lalai dalam menyampaikan apa yang telah diturunkan Allah kepadaku, dan aku akan menjelaskan kepada kalian sebab diturunkannya ayat ini. Malaikat Jibril tiga kali diutus menemuiku dan memerintahkanku untuk mengumpulkan umat dan menjelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, pewarisku, dan penggantiku atas umatku, serta pemimpin setelahku. Ali di sisiku sama seperti Harun as di sisi Musa as, akan tetapi tidak ada Nabi setelahku. Ali adalah pemimpin kalian setelah Allah Swt dan Rasul-Nya."
 
Di sini, muncul pertanyaan besar, pesan penting apa yang menyebabkan Nabi Muhammad Saw dianggap tidak menyampaikan Risalah ilahi jika pesan di hari Ghadir tersebut tidak disampaikan terhadap umat?
 
Hari raya Ghadir merupakan peristiwa penting yang tiada bandingannya dalam sejarah Islam. Idul Ghadir adalah hari raya bagi seluruh umat Islam yang tidak hanya dirayakan oleh pemeluk mazhab Syiah saja. Ketika membuka lembaran sejarah Islam, kita menemukan bahwa hari raya Ghadir Khum diperingati oleh kaum muslim dari berbagai bangsa dunia. Abu Raihan Biruni dalam bukunya "Atsar al-Baqiyah" menulis, "Hari raya Ghadir merupakan salah satu hari raya besar bagi umat Islam."
 
Ulama Sunni terkemuka, Ibnu Talhah Syafii pernah mengungkapkan, "Hari ini (Ghadir) merupakan hari raya umat Islam karena Rasulullah Saw mengangkat Sayidina Ali sebagai walinya, dan ia adalah makhluk terbaik dari seluruh ciptaan Allah swt." Jalalluddin Rummi atau Maulawi dalam bukunya "Matsnawi-e Maknawi" mengungkapkan makna Maula yang disematkan kepada Imam Ali bermakna pembebasan dan penyelamatan manusia atas ikatan manusia lain.
 
Urgensi Ghadir bisa dilihat dari berbagai dimensi. Salah satunya adalah perhatian terhadap keutamaan sosok Imam Ali. Umat Islam yang pernah sezaman dengan manusia mulia ini dari dekat menyaksikan sendiri keutamaan karakter Ali, baik dari sisi keilmuannya yang menjulang dan keluhuran akhlaknya yang tinggi. Beliau adalah seorang pemberani, ikhlas, adil dan takwa. Untuk itu Rasulullah Saw memilihnya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal beliau.
 
Ibnu Abi al-Hadid mengutip sejarawan abad kedua hijriah Muhammad bin Ishak yang menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda kepada Imam Ali,"Jika aku tidak khawatir orang lain akan memperlakukanmu seperti pengikut Isa terhadap Nabi Allah itu, aku akan mengucapkan sesuatu tentang (keutamaan) dirimu yang membuat orang akan mangambil tanah yang kamu injak sebagai berkah setiap kali kamu melewati mereka."
 
Dengan mengutip sejumlah riwayat yang menerangkan Asbab an-Nuzul ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir dan beberapa dalil lainnya, Ibnu Abi al-Hadid menyatakan bahwa sepanjang sejarah Islam, Imam Ali bin Abi Thalib adalah figur teladan dan sosok yang paling unggul dalam ilmu, taqwa, pengorbanan, jihad, infak dan berbagai keutamaan lainnya. Keutamaan Imam Ali juga menjadi perhatian para mufasir Sunni dan Syiah. Mayoritas mufasir Sunni dan syiah bersepakat bahwa asbabun nuzul ayat 55 surat al-Maidah mengenai Imam Ali. Oleh karena itu, ayat tersebut juga disebut sebagai ayat Wilayah.
 
Imam Thabrani mengungkapkan sebuah hadis dalam kitab Al-Awsath melalui sanad dari Ammar bin Yasir, yang menceritakan, "Pada suatu hari datang seorang pengemis kepada Ali bin Abu Thalib, sedangkan waktu itu Ali sedang rukuk dalam salat sunah. Kemudian ia melepaskan cincinnya dan memberikannya kepada pengemis itu. Lalu turunlah ayat, "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)".(Qs. Al-Maidah:55).
 
Hadis ini mempunyai syahid (saksi) dari hadis lain yang memperkuatnya. Abdurrazaq berkata, "Abdul Wahhab bin Mujahid menceritakan kepada kami dari ayahnya dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, 'Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya...' (Q.S. Al-Maidah 55), bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abu Thalib."Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas dengan makna yang sama. Selain itu, Ibnu Jarir menukil hadis dari Mujahid, dan hadis serupa diungkapkan Ibnu Abu Hatim dari Salamah Bin Kuhail. Semuanya itu adalah saksi-saksi yang saling memperkuat.
 
Abu Dzar berkata, "Ketika Rasulullah mengetahui berita bahwa Ali memberikan cincinnya kepada seorang pengemis ketika sedang rukuk, beliau bersabda, "Saudaraku Musa memohon kepada-Mu supaya diutus seorang wali yang akan memudahkan tugasnya (sebagai seorang Nabi). Kini, Engkau memilihku, Muhammad sebagai utusan-Mu.Ya Allah lapangkanlah dadaku, permudah urusanku dengan memilih orang dari keluargaku, pilihkan Ali untukku supaya aku lebih kuat." Di saat doa Rasulullah belum selesai, malaikat Jibril turun dan menyampaikan wahyu ayat 55 surat al-Maidah."
 
Dimensi terpenting Ghadir adalah masalah wilayah Imam Ali sebagai penerus kepemimpinan umat setelah Rasulullah Saw. Wilayah dalam masyarakat Islam adalah hak prerogatif Allah swt. Dalam hal ini, dari Allah kepada Rasulullah kemudian kepada Imam Ali sebagai walinya.
 
Para ulama Sunni seperti Turmuzi, Ibnu Majah, Ibnu Asakir, Ibnu Atsir, Khawarizmi, Suyuti, Ibnu Hajar, Ghazali dan lainnya menjelaskan peristiwa Ghadir dalam karya mereka. Misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Musnad menukil dari salah seorang sahabat bernama Zaid bin Arqam, ia berkata, "Aku datang bersama Rasulullah di sebuah tempat bernama Khum, dan beliau memerintahkan umat untuk shalat di sana. Lalu, beliau menyampaikan khutbah dan selembar kain digantungkan di pohon untuk mengurangi terik matahari yang panas. Rasulullah Saw bersabda: Tahukah kalian, apakah kalian bersaksi tidak ada mukmin yang lebih utama dariku ? Semua berkata: Ya ! Beliau bersabda, "Siapapun yang mengakuiku sebagai panutan dan pemimpinnya, maka mereka harus mengakui Ali sebagai pemimpin dan panutannya.Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya."
 
Sejatinya, Ghadir merupakan realitas yang terang-benderang. Al-Quran di surat al-Maidah ayat 3 mengungkapkan pelajaran penting dari peristiwa Ghadir Khum. "Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu." Terkait kebenaran realitas Ghadir, seorang penulis Mesir, Abdul Fatah Abdul Maqsud menulis, "Hadis Ghadir tidak diragukan merupakan sebuah kebenaran yang tidak ada kebatilan di dalamnya yang memancarkan cahaya terang-benderang di siang hari.(