Ayat ke 134
Artinya:
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Bani Israil sangat merasa bangga dengan nenek moyangnya. Mereka menyangka, betapapun mereka itu telah tercemar, namun berkat kesempurnaan dan kebaikan nenek moyangnya, maka mereka akan dimaafkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, bukannya berpikir untuk memperbaiki diri, mereka bahkan hanya menyebut kebaikan kakek dan nenek mereka, seraya membangga-banggakannya.
Ayat ini memperingatkan setiap manusia, termasuk muslimin, mereka harus tahu bahwa setiap orang harus bertanggungjawab atas perbuatan sendiri. Di Hari Kiamat kelak segala macam hubungan keluarga, kekerabatan dan sebagainya, sama sekali tak berguna. Jadi tak seharusnyalah seseorang mengandalkan kebaikan-kebaikan keluarganya.
Di dalam sebuah kalimat pendek, Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as berkata, "Assyarafu bil himamil 'aliyah, la bil ramamil baa liyah". Artinya, "Kemuliaan itu akan dicapai melalui kerja dengan penuh semangat, bukan dengan mengandalkan tulang-tulang yang sudah lapuk." Maksudnya, bahwa setiap orang harus berusaha dengan semangat tinggi untuk mencapai kemuliaan dirinya. Bukan hanya dengan membangga-banggakan kebaikan orang-orang tua dan kakek-nenek yang sudah meninggal.
Ayat ke 135
Artinya:
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".
Orang-orang Yahudi menganggap mereka berada dalam kebenaran dan mengatakan bahwa orang-orang Nasrani itu sesat. Sementara orang-orang Nasrani pun merasa diri mereka berada dalam kebenaran dan meyakini bahwa orang-orang Yahudi sesat. Oleh sebab itu masing-masing mengajak pengikut agama lain kepada agama sendiri seraya mengatakan, "Jika kalian ingin memperoleh petunjuk, maka ikutilah agama kami."
Dalam menjawab sikap fanatik buta ini, al-Quran menyatakan jalan petunjuk terletak di dalam kecintaan kepada kebenaran, bukan kecintaan kepada kelompok sendiri. Untuk itu pelajarilah cinta kebenaran ini dari Ibrahim as yang merupakan seorang teladan yang tak pernah terjebak ke dalam syirik dan fanatisme buta.
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa nama dan stempel tidaklah penting, iman dan amallah yang menentukan. Yahudi dan Nasrani tidak lebih dari sekadar cap dan stempel, sedangkan yang penting ialah amal baik berdasarkan semangat tauhid dan penyembahan kepada Allah yang Maha Esa.
Ayat ke 136
Artinya:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang menceritakan pertengkaran antara Yahudi dan Nasrani berkenaan agama mereka masing-masing, ayat ini berbicara kepada mereka dan juga kepada pengikut agama apapun selain Islam bahwa tak ada perbedaan di antara para Nabi. Karena semua mereka datang dari Allah yang Esa. Ajaran-ajaran yang mereka bawa juga datang dari Allah yang Esa. Dengan demikian seharusnya semua penyembah Allah beriman kepada setiap Nabi utusan ilahi dan kepada apa yang telah diturunkan kepada mereka. Bukannya menerima nabi mereka sendiri saja dan menolak nabi-nabi lain serta kitab-kitab mereka.
Para Nabi ilahi sebagaimana guru sebuah sekolah yang masing-masing mengajar sekelompok orang di zaman tertentu sesuai dengan kemampuan mereka sampai ketika datang nabi terakhir yang diutus untuk umat manusia moderen, maka Allah Swt menurunkan kitab yang paling lengkap dan sempurna untuk memberi hidayah umat tersebut.
Ayat ke 137
Artinya:
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini, berbicara kepada Muslimin, dengan mengatakan, "Jika Ahli Kitab, sebagai ganti sikap egois dan fanatisme buta, beriman kepada semua Nabi dan kitab-kitab suci mereka, sebagaimana kalian, berarti mereka telah mendapatkan hidayah. Tetapi jika mereka masih saja menganggap diri mereka sebagai tolok ukur kebenaran, dan menganggap sesat para pengikut agama lain dan nabi-nabi mereka, maka hal itu menunjukkan penolakan kebenaran dan pemisahan diri dari kelompok pencari hakikat.
Akhir ayat ini memberi semangat kepada Muslimin bahwa dalam menghadapi berbagai konspirasi musuh-musuh agama, cukuplah Allah bagi kalian. Karena Allah Maha mendengar dan Maha Mengetahui segala apa yang mereka katakan dan mereka program untuk memusuhi kalian.
Ayat ke 138
Artinya:
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
Allah Swt adalah yang mula-mula menciptakan dan melukis alam jagat raya ini. Di awal penciptaan, Allah Swt menciptakan ruh manusia dan mewarnainya dengan fitrah yang bersih suci. Akan tetapi manusia sendirilah kemudian yang mendatangkan warna-warna lain di atas warna ilahi itu seperti warna hawa nafsu, egoisme, fanatisme dan sebagainya sehingga warna fitrah itu pun tertutup oleh warna-warna lain itu.
Fanatisme dan egoisme adalah warna-warna yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara sesama manusia. Padahal semua warna kesukuan dan etnis haruslah merupakan warna-warna yang terbuka sehingga warna ilahi yang ada pada diri manusia akan muncul ke permukaan. Semua warna selain warna ilahi yang kekal dan tetap akan memudar sampai hilang musnah dengan berlalunya zaman. Semua warna akan mengakibatkan perpecahan dan permusuhan kecuali warna ilahi yang merupakan sumber persatuan dan persaudaraan. Itu pun dibawah bayang-bayang penyembahan terhadap Allah Yang Maha Esa.
Pada umumnya setiap orang dapat menerima warna tertentu lalu masuk ke kelompok masyarakat manapun dan agar diterima dalam masyarakat tersebut, maka ia mesti memiliki warna yang sama dengan orang lain di dalam masyarakat itu. Padahal ajaran agama bukannya menekankan kesamaan warna tetapi ketiadaan warna, kebersihan dari segala warna yang mengakibatkan keterpisahan manusia dari manusia yang lain, baik berupa nama maupun cap dan stampel atau usia dan tingkat pengetahuan atau harta dan kedudukan di dalam ketiadaan warna itulah warna Ilahi akan muncul dengan jelas.
Dari lima ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Daripada menyandarkan diri kepada nenek moyang dan membanggakan kebaikan mereka, hendaklah kita memikirkan perbuatan kita sendiri. Karena kemuliaan dan keutamaan setiap orang bergantung pada amal perbuatannya sendiri. Jangan sampai terjadi orang lain berusaha demi kemuliaan dunia dan akhirat mereka, tetapi kita merasa puas hanya dengan menjadi keturunan mereka.
2. Hendaklah kita menjadi orang yang mencintai kebenaran, bukan mencintai kelompok sendiri. Cinta kebenaran membuka mata dan telinga seseorang untuk memahami hakikat, sedangkan cinta kelompok sendiri membutakan seseorang dari kekurangan-kekurangan diri dan kesempurnaan orang lain.
3. Di samping keimanan hati, penyerahan diri di dalam amal perbuatan juga diperlukan. Seseorang tidak dapat mengatakan keimanan tetapi bukannya berpasrah diri kepada perintah-perintah Ilahi, malah mengikuti hawa nafsu saja.
4. Warna yang paling baik ialah warna fitrah ilahi yang telah Allah berikan di dalam diri setiap manusia ciptaannya. Warna yang kuat, pembawa persatuan dan sumber kesucian serta kebersihan.
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 134-138
Published in
Tafsir Alquran