وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ حَتَّى إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ (34)
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata, "Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (40: 34)
Seorang lelaki beriman dari keluarga Fir'aun melakukan segala cara untuk mencegah pembunuhan Nabi Musa as. Ia kemudian membacakan sejarah Nabi Yusuf as kepada Fir'aun dan para menterinya.
Ia berkata, "Yusuf as adalah salah seorang rasul yang hidup tidak terlalu jauh dari zaman kalian. Ia membawa banyak bukti untuk menegaskan kenabiannya, tapi sayangnya banyak orang berada dalam keraguan dan tidak mendengar seruannya dengan alasan yang tidak rasional, padahal bukti-bukti kenabian Yusuf adalah jelas, bisa dipahami, dan rasional.
Bahkan setelah Nabi Yusuf wafat, masyarakat berharap agar Tuhan tidak mengutus nabi lain kepada mereka sehingga mereka bebas melakukan maksiat dan tidak ada yang menentangnya."
Orang-orang seperti itu tidak ingin mendengarkan dan mengikuti kebenaran, mereka hanya mengikuti hawa nafsunya dan menjauhkan diri dari petunjuk Allah Swt. Keraguan akut terhadap para nabi dan ajarannya telah membuat mereka tersesat.
Ragu adalah sebuah kondisi yang rasional dan alamiah, tetapi kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut atau terjebak dalam prasangka, karena ini akan menyebabkan kekalutan pikiran dan perbuatan serta menghambat kemajuan manusia.
Dari ayat di atas terdapat tiga pelajaran yang dapat diambil:
1. Perilaku, keyakinan, dan kebiasaan umat terdahulu membawa pengaruh pada generasi mendatang. Dengan mempelajari sejarah umat terdahulu, kita bisa memprediksi perilaku dan kecenderungan generasi mendatang.
2. Keraguan terbilang wajar selama mengundang rasa ingin tahu. Jika keraguan ini sampai memunculkan prasangka, maka ia tergolong sebuah gangguan mental.
3. Ketersesatan di dunia dan akhirat merupakan balasan bagi para pemuja hawa nafsu dan penentang seruan para nabi.
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آَيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آَمَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ (35)
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. (40: 35)
Ayat ini menyinggung orang-orang yang membiarkan dirinya larut dalam keraguan dan menolak menerima kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang suka berdebat, tapi menolak memahami dan menerima kebenaran.
Apapun yang datang kepadanya, mereka langsung menolak kebenaran tanpa mau merenungkannya. Golongan seperti ini berusaha mencitrakan dirinya sebagai kaum intelek. Padahal, mereka sebenarnya terjebak dalam egoisme dan kesombongan. Akhirnya, mereka menolak setiap argumen dan ayat-ayat Allah dengan bermacam alasan.
Jelas bahwa penolakan tanpa dasar terhadap ayat-ayat Allah akan membawa dampak yang merugikan, termasuk kesesatan bagi orang-orang yang menolaknya. Sikap keras kepala ini akan menutupi akal sehat manusia dan membuatnya kehilangan kemampuan untuk memilih kebenaran.
Dari ayat di atas terdapat dua pelajaran yang dapat diambil:
1. Diskusi adalah salah metode perdebatan ilmiah untuk para pencari kebenaran, bukan untuk orang-orang yang menolak dalil rasional atas dasar gengsi.
2. Kaum beriman tidak boleh melakukan debat kusir. Mereka harus menyampaikan materi dengan argumen yang kuat sehingga pihak lain mengerti bahwa orang beriman tidak akan berbicara tanpa dalil.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)
Dan berkatalah Firaun, “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu.” (40: 36)
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta. Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (40: 37)
Di masa genting itu, lelaki beriman dari keluarga Firaun melakukan berbagai cara untuk menyadarkan Fir'aun dan para menterinya. Pada akhirnya, upaya ini membuahkan hasil dan Fir'aun mengurungkan niatnya untuk membunuh Nabi Musa as. Dia memutuskan untuk menunda rencana jahat ini.
Namun, Firaun tidak menurunkan egonya dan mencari cara baru untuk menunjukkan kehebatannya. Fir'aun memerintahkan menterinya untuk mendirikan sebuah bangunan yang tinggi sehingga ia bisa melihat Tuhannya Musa.
Jelas bahwa perintah ini bermotif mengelabui publik, karena Nabi Musa as tidak pernah berkata bahwa Tuhannya berada di langit atau dapat dilihat dan disentuh sehingga Dia bisa dilihat dengan berdiri di atas bangunan yang tinggi.
Lewat perintah kontroversial ini, Firaun ingin mempengaruhi publik dan melalaikan mereka dari persoalan utama yaitu kenabian Nabi Musa. Dia ingin mencegah masyarakat mengimani dan membela Nabi Musa.
Firaun menggunakan tipu daya untuk mengelabui masyarakat. Pada dasarnya, penyebab utama kesesatan Firaun adalah karena kesombongan dan keangkuhan sehingga perbuatan buruk tampak indah di matanya. Kondisi ini membuat Fir'aun menolak kebenaran dan menyebabkan ia binasa.
Dari dua ayat di atas terdapat empat pelajaran yang dapat diambil:
1. Orang yang tidak punya argumen, akan memilih tipu daya untuk mempengaruhi dan mengelabui publik.
2. Pamer kekuatan dan tipu daya merupakan salah satu cara pemerintahan tirani untuk memaksakan sikapnya kepada masyarakat dan mengekang mereka.
3. Perbuatan buruk terlihat indah di mata orang yang sombong dan akhirnya ia tidak terdorong untuk memperbaiki dirinya.
4. Para penguasa lalim selalu mengusik kaum beriman. Namun, jika kaum beriman tetap teguh memegang kebenaran, mereka pada akhirnya akan menang dan kaum lalim akan menderita kerugian yang besar.