Fikr adalah kerja akal yang paling menakjubkan. Aktivitas fikr memang mirip dengan kegiatan tarkib (penggabungan atau komposisi), hanya saja ia jauh lebih kaya dan berhasil-guna. Fikr jauh lebih mendasar dan menukik ketimbang gubahan-gubahan puitis dan imajinatif yang sering dangkal dan kusut.
Makna Keberpikiran
Pikiran dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Arab fikr. Kata kerja fikr ialah fakara yang dalam bahasa Indonesia berarti merenung, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya.
Dengan demikian, keberpikiran mestinya menyangkut proses, perihal, atau kegiatan berpikir yang dalam bahasa Inggris lazim dipadankan dengan thinking, reflection, atau contemplation.
Menurut Murtadha Muthahhari, fikr adalah kerja akal yang paling menakjubkan. Dalam menjelaskan cara kerja dan definisi fikr ini, Muthahhari menyusun lima tahap berikut: [1]
1. Menerima kesan dari luar.
Pada tahap ini, benak (dzihn) berhubungan dengan objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam locus mental. Pada tahap itu, benak kita laksana kamera yang memantulkan gambar-gambar pada film.
Bayangkan, bila Anda baru pertama kali mengunjungi kota Surabaya, lalu saat berjalan-jalan mengitari kota itu, benak Anda akan merekam berbagai gambar atau kesan. Pada kegiatan itu, benak kita hanya bersifat menerima (qabul atau receptive) atau mencerap.
2. Setelah menerima “folder” gambar atau kesan, benak juga dapat menampakkannya kembali secara jelas. Kegiatan kedua itu disebut dengan mengingat (recall atau tadzakkur).
Kumpulan gambar itu kait-mengait satu dengan lainnya, sehingga ketika salah-satunya kita “tarik” lagi ke layar benak kita, ia akan membawa serta berbagai ikutan dan kaitannya. Benak kita memang seperti serangkaian gerbong kereta api. Manakala lokomotifnya kita tarik, maka gerbong-gerbong di belakangnya pun akan ikut terdorong ke depan.
Singkatnya, sampai pada tahap ini, selain mencerap berbagai objek, benak kita juga melakukan penyusunan dan organisasi, sedemikian rupa hingga bila satu objek kita tarik dan kita ingat, maka rangkaian objek dalam akan tertampakkan keluar secara otomatis. Itulah yang disebut oleh sebagian psikolog dengan asosiasi ide (tada’i atau association of ideas).[2]
3. Kegiatan ketiga adalah tajzi’ah (pembagian atau klasifikasi) dan tarkib (penggabungan atau komposisi). Sebagian logikawan juga menyebut tajzi’ah dengan tahlil (penguraian atau analisis)
Pada tahap ini, benak kita mula-mula mengurai, memilah dan “mengupas” satu gambaran. Di alam luar tak ada uraian dan pemilahan, lantaran benda tampil sebagai satuan yang utuh. Penguraian suatu gambaran dapat terjadi dengan dua cara;
Pertama, dengan menguraikan dan memisahkannya menjadi beberapa gambaran. Umpamanya, kita mengurai kuda menjadi kepala, kaki, perut dan bagian-bagian lain secara terpisah dari keseluruhan tubuhnya.
Kedua, dengan menguraikan suatu gambaran menjadi beberapa makna dan konsep. Umpamanya, kita menguraikan seorang Bambang menjadi substansi yang berkembang, substansi yang berjalan, bertinggi berat 167/48, berkehendak, berakal dan lain sebagainya. Padahal, Bambang yang objektif, yang berada di alam luar, tidak dapat dipisahkan dari ciri-ciri tersebut.
Bukan itu saja, benak kita pun bisa menggabungkan bagian-bagian gambaran dan makna dari satu objek yang utuh dengan bagian-bagian gambaran dan makna objek lain. Umpamanya, setelah memisahkan dan memilah bagian-bagian kuda menjadi kaki, kepala dan perut, kemudian benak kita menggabungkan keplaanya dengan perut dan kaki Bambang.
Para filosof berupaya mengurai dan menyusun objek luar untuk menjadi makna atau beberapa makna, sedangkan penyair, umpamanya, mengurai dan menyusun kesan atau ungkapan dalam bait-bait yang puitis.
4. Kegiatan keempat adalah tajrid (abstraksi) dan ta’mim (generalisasi).
Dalam, kegiatan itu, benak kita berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indra dari ciri-ciri individual dan partikularnya. Umpamanya, benak kita mengamati jajaran semangka yang berjumlah sembilan buah. Dari amatan itu, benak kita dapat menarik dan mengabstraksikan ‘angka 9’ dari ‘jajaran semangka’ itu, hingga hadir bayangan angka 9 yang terpisah dari jajaran semangka.
Abstraksi berada di atas ta’mim (generalisasi) yang berupaya membentuk gambaran kully (universal) dari suatu objek juz’y (partikular) yang diamatinya melalui panca indra.
Umpamanya, saat melihat sosok Bambang, Basuki, Cipto dan sebagainya, benak kita dapat menarik suatu pengertian umum dari ketiga sosok itu sehingga muncullah pengertian ‘manusia’ atau ‘makhluk berakal’. Jelas bahwa pengertian ‘manusia’ tak teramati oleh panca indra, melainkan terbentuk oleh beberapa amatan khusus dan objektif pada sosok Bambang, Basuki, dan Cipto.
Pada keempat kegiatan tersebut, benak kita selalu melakukan intervensi, baik dengan pengurangan ataupun penambahan, pada hasil amatan (data) indrawi dan empiris kita.
5. Kerja pikiran kelima adalah tafakkur (perenungan atau penalaran) dan istidlal (pembuktian dan argumentasi).
Pada tahap ini, benak kita menghubung-hubungkan serangkaian ma‘lum (data) untuk mengungkap dan mengetahui majhul (objek yang belum atau akan diketahui).
Pada hakikatnya, fikr atau tafakkur ialah sejenis perkawinan dan pengembangbiakkan data. Dengan ungkapan lain, tafakkur adalah sejenis ‘penanaman modal intelektual untuk menghasilkan keuntungan dan menambahkan keuntungan itu pada modal dasar.’
Aktivitas fikr memang mirip dengan kegiatan ketiga (tarkib), hanya saja ia jauh lebih kaya dan berhasil-guna. Fikr jauh lebih mendasar dan menukik ketimbang gubahan-gubahan puitis dan imajinatif yang sering dangkal dan kusut.
Kelima kegiatan benak itu pada dasarnya dilakukan melalui sarana akal. Pada kelima tahap itu pula panca indra kita berperan memproyeksikan objek-objek fisikal-indrawi pada benak kita, agar perenungan dan pembuktian kita sepenuhnya bersandar pada realitas objektif, dan bukan ilusi atau halusinasi. Para filosof berkeyakinan bahwa penalaran dan pembuktian dapat mendedah hukum-hukum universal yang melambari hakikat dan kodrat alam ciptaan.
Mengingat tingginya kedudukan akal dalam Islam, sebagian filosof Muslim cenderung menyebut tahap pertama dan kedua ihsas (pengindraan atau persepsi), dan puncaknya yakni tahap kelima barulah disebut sebagai ta’aqqul (penggunaan akal dan inteleksi).
Jadi, ada tiga tahap tindak mengetahui manusia yang dilakukan oleh tiga daya berbeda: pertama dan kedua adalah daya indrawi; ketiga dan keempat adalah daya khayal atau imajinasi; dan kelima adalah akal. Itulah pula mengapa imajinasi (atau alam imajinal) menduduki tempat penting sebagai barzah (jalan tembus) menuju ke alam intelektual.
Akan tetapi, pada kenyataannya, semua tindak mengetahui terjadi berkat cahaya akal yang berjenjang-jenjang dalam diri manusia. Jenjang-jenjang akal telah menjadi bahasan panjang dalam filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Al-Farabi memaparkan sepuluh peringkat akal, sesuai dengan proses emanasi eksistensial.[3]
Masing-masing peringkat akal berperan sesuai dengan kemampuannya. Ada yang menyiapkan (al-‘aql bil-malakah atau al-‘aql hayularu), membimbing (akal sehat atau habitus), mewadahi dan mengisi (al-‘aql al-mustafad) dan menyatukannya dengan akal aktif (al-‘aql al-fa’al) dan akal suci (al-‘aql al-qudsi) dan demikian seterusnya.
Tingkatan-tingkatan akal tergantung pada dasar pembagiannya. Adakalnya tingkatan-tingkatan akal dibagi berdasarkan pada penciptaan manusia, adakalanya berdasarkan pada emanasi Ilahi, dan adakalanya berdasarkan pada sifat objek pengetahuannya dan sebagainya.
Para filosof membeda-bedakan perspektif itu untuk menunjukkan gradasi eksistensi dan keberagaman realitas, yang celakanya sering menimbulkan kerancuan dalam memahami maksud uraian mereka.[4]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Murtadha Muthahhari, Al-Mantiq, Beirut: Dar Al-Tayyar al-Jadid, 1413/1993, hal. 102.
[2] Lebih lanjut, lihat Muhammad Baqir al-Shadr, Our Philosphy, terj. Shams C. Inati, Tehran: Ansariyan Publicatios, 1987, hal. 39-60, dan bab V mengenai Pengetahuan.
[3] Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, polity Press, Inggris, 1999, bab V Ontologi.
[4] Majid Fakhry, A Short introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism, One World, Oxford, 1997, hal. 41-44.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-5/