Bahasa merupakan media yang paling penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi di antara umat manusia.
Allah Swt memandang kemampuan berbahasa dan bertutur kata sebagai anugerah besar yang diberikan kepada manusia sebagaimana firman-Nya pada pembukaan surah al-Rahman. Para nabi yang diutus oleh Allah Swt untuk memberikan petunjuk kepada manusia harus bertutur kata dan berbicara dengan mereka dengan bahasa kaum tempat para nabi tersebut diutus. Dengan bahasa kaum tersebut, para nabi menjelaskan aturan-aturan moral, hukum dan akidah kepada mereka.
Dengan memerhatikan pelbagai kondisi sebelum pengutusan (bi'tsat) di kalangan Arab, Allah Swt mengutus Nabi saw kepada kaum Arab, sehingga dengan demikian Nabi saw harus bertutur kata dengan bahasa mereka dan membawa mukjizat yang dapat dipahami oleh mereka. Karena itu, Al-Qur’an, sebagai mukjizat Nabi saw, juga diturunkan dalam bahasa Arab. Meski demikian tipologi esensial bahasa Arab seperti, struktur, elokuensi dan retorika bahasa Arab tentu saja tidak boleh diabaikan begitu saja.
Adapun terkait dengan pertanyaan tentang mengapa Nabi Pamungkas Allah Swt adalah nabi yang berbahasa Arab, sehingga konsekuensinya bahasa yang digunakan juga adalah bahasa Arab? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
Dengan memerhatikan bahwa bangsa Arab adalah orang-orang yang fanatik dengan metode, ajaran dan keturunan mereka (faktor internal penjagaan) dan sepanjang perjalanan sejarah, tiada satu pun penguasa atau pemerintahan yang dapat memaksa mereka mengganti bahasanya (tiadanya faktor eksternal) dan tersedianya pelbagai faktor dalam bahasa Arab untuk menjelaskan berbagai persoalan dalam format lafaz tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan, semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan pembelaan natural dan non-adikodrati agama dan penjagaan agama pamungkas dan kitabnya.
Maka itu, salah satu dalil mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara keabadiannya. Salah satu sunnah Ilahi adalah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada mereka. Para nabi juga—dalam berinteraksi dengan orang-orang yang kepadanya mereka diutus—menggunakan bahasa kaum tersebut.
Karena bahasa merupakan satu-satunya media komunikasi antarmanusia dan para nabi pun harus menggunakan media ini. Tutur kata para nabi dengan bahasa kaum merupakan salah satu sunnah Ilahi yang pasti.
Allah Swt berfirman, Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (QS Ibrahim [23]: 4) Sunnah ini juga berlaku bagi para nabi yang seruannya mendunia.
Meski diutus untuk memberikan petunjuk kepada seluruh manusia, seperti para nabi ulul azmi, namun mereka berkata-kata dengan bahasa sebuah kaum dimana apabila mereka menggunakan bahasa selain bahasa kaum maka syariat nabi tersebut tidak akan dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Al-Qur'an merupakan sebuah hakikat dan realitas metabahasa (di atas bahasa). Sebelum Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, ia berada pada sebuah tingkatan wujud (hakikat) yang pada tingkatan tersebut akal manusia tidak dapat mencapainya. Allah Swt menurunkan Al-Qur'an dari kediaman aslinya dan membuatnya dapat dipahami oleh manusia dan mengenakan busana redaksi Arab padanya. Dengan demikian, manusia dapat mengenal dan mencerap aneka hakikat yang terpendam di dalamnya.[1]
Karena itu, inti dan pokok Al-Qur'an berada di atas format bahasa dan terkandung dalam sebuah bahasa khusus. Namun, terkait dengan persoalan mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjawab persoalan ini harus dikatakan bahwa: terpisah dari tipologi esensial bahasa Arab yang bahasa ini merupakan bahasa yang memiliki struktur dan berada di puncak kefasihan dan retorika di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia, Nabi Saw diutus pada suatu kaum yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab dan untuk menyampaikan pesan Ilahi, maka beliau harus menunjukkan sebuah mukjizat yang dapat dipahami oleh masyarakat Arab sehingga mereka tidak mengingkarinya, beriman kepada Allah Swt dan berupaya untuk menyebarkan agama.
Akan tetapi, dapat dipahaminya agama bukan berarti bahwa seluruh al-Qur'an dapat dipahami; lantaran seluruh hakikatnya tidak terbatas, melainkan bermakna memahami bahasa dan memahami secara global dari sebagian hakikatnya. Masyarakat jahilah Arab prapengutusan Nabi Saw, hidup dalam kondisi yang sangat mengenaskan dan atas dasar ini, Allah Swt mengutus Nabi Saw di kalangan kaum Arab.
Terkait dengan kondisi masyakarat jahiliah pra-Islam dan kedatangan Rasulullah Saw, Ali As bersabda, “Allah mengutus Nabi ketika manusia sedang tersesat dalam kebingungan dan sedang bergerak ke sana sini dalam kejahatan. Hawa nafsu telah menyelewengkan mereka dan tipu daya telah menyimpangkan mereka.
Kejahilan yang amat sangat telah membuat mereka menjadi tolol. Mereka dibingungkan oleh ketidakpastian hal-hal dan kejahatan jahiliah. Kemudian Nabi Saw berusaha sebaik-baiknya dalam memberikan kepada mereka nasehat yang tulus. Beliau sendiri berjalan di jalan yang benar dan memanggil (mereka) kepada kebijaksanaan dan nasehat yang baik.”[2]
Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi penyebab diutusnya Rasulullah Saw di kalangan Arab, karena itu Al-Qur'an harus disampaikan dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa lain. Akan tetapi, apa yang penting adalah bahwa pemanfaatan Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada bahasa Arab saja. Allah Swt berfirman, Dan jika Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa jelas ayat-ayatnya? Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab?” Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan pada telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS Fushshilat [41]: 44)
Akan tetapi, boleh jadi pertanyaan lain mengemuka di sini yaitu mengapa nabi terakhir dari sisi Allah Swt harus seorang nabi yang berbahasa Arab sehingga kitabnya juga harus berbahasa Arab? Mengapa bukan bahasa Persia, Inggris dan seterusnya? Di sini kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin sebelum menjawab pertanyaan ini:
A. Tatkala persoalan terkait dengan Nabi Pamungkas Saw maka harus ada beberapa orang yang menerima pesan dan menjaganya dengan baik (faktor internal yang menjaga).
B. Dari sisi lain sebagian orang berada pada tataran ingin melenyapkan agama dan para penjaganya, sebagaimana hal ini kita saksikan pada sejarah seluruh nabi (faktor eksternal untuk mengubah). Karena itu, solusi untuk berhadapan dengan dua faktor ini harus dipikirkan sebelumnya.
C. Dari sisi lain, tidak mesti bahwa untuk menjaga agama dan Al-Qur'an harus senantiasa—khususnya pascawafatnya Rasulullah saw—melalui mukjizat dan tindakan-tindakan adikodrati. Dengan memerhatikan beberapa pendahuluan ini, sekarang mari kita alihkan perhatian pada manusia dan lingkungan hidup mereka sehingga kita dapat menyaksikan pada lingkungan dan kondisi yang mana beberapa poin berikut ini cocok diterapkan:
Pertama: Orang-orang Arab adalah orang-orang yang memiliki fanatisme tinggi terhadap bahasa, cara, ajaran, metode sedemikian sehingga mereka tidak bisa dipisahkan dari bahasa dan kebudayaan mereka. Bahkan hingga pada masa kini mereka, meski dengan adanya serangan propaganda globalisme, tidak rela melepaskan pakaian (jubah) tradisional mereka (faktor internal).
Kedua: Orang-orang Arab Hijaz tidak hanya tidak melepaskan bahasa ibu mereka melainkan sepanjang sejarah, tiada satu pun pemerintahan atau penguasa asing yang mampu memaksa mereka untuk melupakan bahasa mereka. Artinya, mereka tidak menerima pengaruh dari luar (tiadanya faktor eksternal untuk mengubah budaya orang Arab ini).
Ketiga: Bahasa orang-orang Arab Hijaz dengan banyaknya kata ganti (dhamir, pronomina), perbedaan kata ganti orang kedua tunggal, kata ganti orang pertama tunggal, jamak, perbedaan formula maskulin (mudzakkar) dan feminin (muannats), ragam jumlah kalimat jamak, kata kiasan, dan seterusnya merupakan beberapa keunggulan bahasa Arab dalam mengekspresikan banyak persoalan dalam bahasa yang sederhana tanpa adanya ambiguitas dan kekaburan.
Dengan memerhatikan beberapa poin di atas, untuk menjaga kelestarian agama pamungkas dan kitabnya, Semenanjung Hijaz dan bahasa Arab merupakan sebaik-baik jalan untuk membela agama secara natural dan non-adikodrati. Al-Qur'an dengan aneka macam daya tarik internalnya, irama dan bacaannya, membuka benak orang-orang Arab Badui yang mencintai ucapan-ucapan yang sarat makna dan fasih dan terpelihara dari ragam jenis penyimpangan redaksional dan literal. Karena itu, diturunkannya Al-Qur'an dalam bahasa Arab adalah untuk menjaga dan memelihara kelestariannya.[3]
Namun, dapat dikatakan bahwa turunnya Al-Qur'an dalam bahasa Arab, merupakan kemurahan dan anugerah bagi orang-orang yang berbahasa Arab. Sekiranya diturunkan bukan dalam bahasa Arab, maka orang-orang yang berbahasa Arab yang sangat berstrata tidak akan beriman kepadanya. Allah Swt berfirman, Dan kalau Al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (QS Al-Syu'ara [26]: 198-199) []
Catatan Kaki:
[1] Al-Mîzân (Terjemahan Persia), jil. 18, hal. 122-123.
[2] Nahj al-Balâghah, Khotbah 95.
[3] Fashlnâme-ye Bayyinât, No. 27, hal. 38-41.