Konsep Imamah Buatan Abdullah bin Saba’?

Rate this item
(0 votes)
Konsep Imamah Buatan Abdullah bin Saba’?

Jauh sebelum isu figur Abdullah bin Saba yang konon hidup semasa Khalifah Utsman, konsep imamah telah dikemukakan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Sebagai konsep Ilahiyah, Imamah ada dalam ayat Alquran yang terjaga kesuciannya. Pengangkatan pemimpin (imam) tersebut merupakan hak dan kewenangan Allah Swt. Hal itu nyata dijelaskan Alquran tentang kepemimpinan Ibrahim as dalam firman-Nya:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.’(QS. Al-Baqarah [2]:124)

Oleh karena itu, anggapan bahwa konsep Imamah tak lain adalah ciptaan Abdullah bin Saba’ telah bertentangan dengan Alquran.

Pertama, dalam ayat dikatakan Allah berjanji akan memberi gelar imam kepada keturunan Ibrahim as “ذريتي“ (keturunanku). Hal ini menunjukkan bahwa Imamah berkesinambungan sampai hari kiamat. Kata “جاعلك” menunjukkan “Ism fâ’il” (subyek/pelaku) yang fungsinya “istimrâriyyah” atau “berkesinambungan“. Maka, dari ayat ini kita meyakini bahwa bumi Allah tidak akan pernah kosong dari seorang Imam dari keturunan Ibrahim as.

Kedua, dalam beberapa hadis juga dapat kita temui untuk me-nguatkan konsep ilahiyah tersebut seperti, hadis pengangkatan Ali bin Abi Thalib di lembah bernama Ghadir Khum yang akan dibahas pada bab berikutnya secara terperinci.

Ketiga, adapun pengelompokan dan pembagian Syiah yang dilakukan oleh Al-Naubakhti – terlepas benar tidaknya – sama sekali tidak dapat menegasikan keberadaan nas pengangkatan para Imam setelah Rasulullah Saw. Sebagaimana keimanan atas para Nabi dan keberadaan Allah Swt dengan dalil yang sangat jelas (aksiomatik), maka dalil-dalil itu tidak mencegah orang-orang untuk tetap meragukan bahkan menolaknya.

Keempat, dengan mengemukanya isu Imamah justru menunjukkan fakta sejarah adanya konsep Imamah sejak masa awal Islam.

Siapa Abdullah bin Saba’?

Perlu diketahui bahwa di kalangan sejarawan dan ulama Syiah sendiri dalam menilai Abdullah bin Saba’ setidaknya ada dua pendapat:
Pendapat yang menganggap Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama Syiah kontemporer, seperti Allamah Murtadha Al-’Askari dalam dua karya monumentalnya,(1. Abdullah bin Saba’: Bahts haula Mâ Katabahu Al-Mu’arrikhûn wa Al-Mustasyriqûn Ibtidâ’an Min Al-Qarn Al-Tsâni Al-Hijri; 2. Abdullah bin Saba’ wa Asâthîr Al-Ukhrâ); dan 3. Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Tasyayyu’.

Pendapat yang mengakui keberadaan Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa dia seorang yang ghuluw ekstrem bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama Syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Isfahani, Al-Qummi, dan Al-Kassyi.


Kendati demikian, kedua pendapat tersebut memiliki keyakinan yang sama bahwa Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak terkait apa pun dengan keberadaan mazhab Syiah, baik sebagai pengikut apalagi sebagai pendiri mazhab Syiah.

Berikut adalah hadis yang dinukil dari Imam Al-Baqir serta sikap dan pernyataan beberapa Ulama Syiah terkait Abdullah bin Saba:


Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi meriwayatkan beberapa hadis perihal Abdullah bin Saba’ dalam kitabnya, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kassyi. Satu di antaranya ialah hadis dari Abu Ja’far, Imam Muhammad Al-Baqir, bahwa Abdullah bin Saba’ mengakui dirinya sebagai nabi dan menganggap Amirul Mukminin sebagai Tuhan yang maha tinggi. Maka sampailah kabar tersebut kepada Amirul Mukminin dan beliau memanggilnya dan menanyakannya. Dia (Ibnu Saba’) mengakuinya, “Ya, engkaulah Dia. Telah datang bisikan ke dalam hatiku bahwa engkau adalah Allah dan aku seorang nabi.” Amirul Mukminin berkata, ‘Celakalah engkau! Setan telah menghinakan engkau! Kembalilah kepada jalan yang benar! Ibumu akan kehilanganmu dan bertaubatlah!’ Namun ia tetap pada pendiriannya. Maka Amirul Mukminin memenjarakannya, menunggu ia bertaubat hingga tiga hari, namun ia tetap tak bertaubat. Maka Amirul Mukminin membakarnya dan berkata, ‘Sesungguhnya setan telah merasukinya, mendatanginya dan membisikkan hal itu kepadanya.’”(1)
Syaikh Al-Thusi berkata, “Abdullah bin Saba’ kembali kufur dan menampakkan sikap ekstrem (ghuluw).”(2)


Al-Hilliy memasukkan nama Abdullah bin Saba’ sebagai ghuluw dalam Kitâb Al-Rijâl.(3)


Al-Mamqaniy berkata, “Para sahabat Ali as berkata, Abdullah bin Saba’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata.” Dia juga berkata, ‘Abdullah bin Saba’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan dia sendiri adalah Nabi.’ (Tanqîh Al-Maqâl fi ‘Ilm Rijâl 2/183-184).

Shahib Al-Ma’alim, Syaikh Hasan bin Zain Al-Din menga-takan, “Abdullah bin Saba’ ekstrem terlaknat, Amirul Mukminin Ali membakarnya. Dia (Abdullah bin Saba’) menganggap Imam Ali sebagai Tuhan dan dia sendiri sebagai Nabi. Semoga Allah melaknatnya.”(4)


Al-Mazandarani berkata, “Abdullah bin Saba’ lebih layak dikutuk daripada disebut namanya.”(5)


Sayyid Al-Burujerdi berkata, “Abdullah bin Saba’ adalah ghulat dan terkutuk, Ali bin Abi Thalib telah membakarnya, Abdullah bin Saba’ meyakini bahwa Ali adalah tuhan dan dia sendiri (Abdullah bin Saba’) adalah nabi, maka laknat Allah baginya. Dia kembali menjadi kufur dan menampakkan sikap ekstrem.”(6)
Selain itu, masih banyak lagi pernyataan para ulama Syiah atas kekafiran Abdullah bin Saba’. Sikap tegas para ulama di atas menjadi bukti betapa Abdullah bin Saba’ adalah seorang durjana yang semua keyakinannya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip utama dalam mazhab Syiah dan Islam itu sendiri.

Catatan Kaki

1. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Ikhtiyâr Ma’rifah Al-Rijâl yang terkenal dengan Rijâl Al-Kissyî, h. 102-103, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1427 H.
2. Syaikh Al-Thusi, Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan, Rijâl Al-Thûsî, h. 75, cet. 1, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, Iran, 1373 H.
3. Al-Hilly, Taqiy Al-Din Al-Hasan bin Ali bin Daud, Kitâb Al-Rijâl, h. 295, Syarif Radhi, Qom, Iran, 1392 H.
4. Al-Syaikh Hasan bin Zain Al-Din Shahib Al-Ma’alim, Al-Tahrîr Al-Thâwûsî, h. 246, cet. 1, Penerbit Sayyid Al-Syuhada, Qum, Iran, 1411 H.
5. Al-Mazandarani, Muhammad bin Ismail, Muntahâ Al-Maqâl fî Ahwâl Al-Rijâl, h. 186, cet. 1, Muassasah Alu Al-Bait, Qom, Iran, 1416 H.
6. Al-Sayyid Ali Ashgar bin Al-Sayyid Muhammad Syafi’ Al-Burujerdi, Zharâif Al-Maqâl fî Ma’rifah Al-Rijâl, j. 2, h. 96, Maktabah Ayatullah Al-’Uzhma Al-Mar’asyi, Qom, Iran, 1410 H.

Read 3554 times