Abu Jakfar Muhammad bin Hasan bin Ali bin Hasan al-Thusi atau lebih dikenal dengan Syeikh Thusi atau juga sering disebut dengan nama Syeikh al-Thaifah (pembesar kaum/pemuka Syiah) adalah salah satu ulama besar dunia Islam dan Syiah yang hidup pada abad kelima Hijriyah.
Ia adalah murid kebanggaan dari Syeikh Mufid dan Sayid Murtadha, dan pasca gurunya wafat, ia menjadi guru besar ilmu kalam di dunia Islam. Syeikh Thusi adalah penulis dua kitab dari empat kitab induk hadis Syiah (Kutub al-Arba'ah) dan pendiri Hauzah Ilmiah Najaf.
Syeikh Thusi memiliki banyak karya di berbagai bidang ilmu keislaman dan mewariskan sekitar 50 buku. Saat ini karya-karya Syeikh Thusi sudah diterbitkan dalam bentuk ensiklopedia.
Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar, dua kitab dari Kutub al-Arba’ah ditulis oleh Syeikh Thusi dan setiap faqih atau mujtahid yang ingin mengeluarkan fatwa hukum, tidak punya jalan lain kecuali merujuk kepada kitab tersebut.
Kutub al-Arba’ah merupakan sebuah istilah yang mengacu pada empat kitab induk hadis yang digunakan ulama Syiah sebagai referensi. Tahdzib al-Ahkam merupakan karya pertama Syeikh Thusi dan salah satu kitab kumpulan hadis Syiah yang paling mu’tabar dan buku ketiga dari empat kitab yang diterima oleh seluruh ulama dan fuqaha Syiah.
Tahdzib al-Ahkam terdiri dari 393 bab dan 13.590 hadis dengan tema permasalahan fiqih dan hukum syariat yang bersumber dari riwayat Ahlul Bait Nabi as.
Kitab al-Istibshar juga ditulis oleh Syeikh Thusi. Kitab ini memuat 5.511 buah riwayat dan mengkaji hadis-hadis yang secara lahir bertentangan satu sama lain. Di antara hadis yang sampai dari Rasulullah Saw dan para imam maksum as, sebagian kecil darinya terlihat bertentangan satu sama lain.
Sekelompok ulama dan murid Syeikh Thusi memintanya untuk menulis sebuah buku yang mengumpulkan dan mengkaji berbagai riwayat yang saling bertentangan. Dalam buku ini, Syeikh Thusi mengumpulkan semua hadis sahih untuk berbagai persoalan fiqih, kemudian mengutip riwayat yang berlawanan dan mencari titik temu di antara keduanya.
Ia meneliti riwayat-riwayat yang secara lahir berbeda itu dan dengan penguasaannya atas sumber-sumber agama, ia memperjelas maksud asli dari hadis tersebut. Al-Istibshar terbilang unik dibandingkan kitab kumpulan hadis lain dan merupakan buku pertama yang ditulis untuk mencari titik temu di antara riwayat yang terlihat bertentangan.
Karya lain Syeikh Thusi adalah At-Tibyan fi Tafsir al-Quran yang lebih populer dengan sebutan tafsir at-Tibyan. Buku ini adalah kitab tafsir pertama Syiah yang menafsirkan seluruh ayat al-Quran dan merupakan sumber referensi kuno di bidang tafsir bagi para para mufassir Syiah.
Dalam karyanya ini, Syeikh Thusi menggabungkan dua metode yaitu naqli dengan mengutip riwayat dari Rasulullah dan Ahlul Bait, serta aqli dan dengan memperhatikan berbagai disiplin ilmu dan pendapat para mufassir zaman dulu dan kontemporer.
Kitab-kitab tafsir yang ditulis sebelum Syeikh Thusi – baik milik Ahlu Sunnah maupun Syiah – tidak menafsirkan seluruh ayat al-Quran, tidak terlalu dalam, dan hanya mengkaji serta menafsirkan lafal-lafal yang sulit dipahami.
Namun, at-Tibyan adalah sebuah tafsir yang mengupas semua ayat al-Quran dan ayat-ayatnya dikaji dari perspektif berbagai ilmu al-Quran seperti, qiraah, ma'ani bayan, tata bahasa, dan ilmu nahwu. Juga karena Syeikh Thusi sangat menguasai ilmu kalam, tafsir ini sekaligus menjawab keraguan dan sanggahan dari kelompok ateis dan penganut ajaran batil seperti, kelompok Jabariyyah dan Tashbih.
Metode yang dipakai Syeikh Thusi dalam bukunya ini tergolong baru dibandingkan dengan kitab tafsir ulama Syiah sebelumnya dan merupakan buku tafsir pertama Syiah yang tidak hanya mengumpulkan dan menukil hadis, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan ijtihad.
Sebelum ini, kitab-kitab tafsir Syiah hanya menukil hadis untuk menjelaskan maksud dari ayat al-Quran, sementara penulis tidak memberikan analisa dan evaluasi. Kibat at-Tibyan dianggap penting karena kandungannya dan metode baru yang diperkenalkan oleh Syeikh Thusi. Kitab ini menjadi rujukan untuk para ulama tafsir setelahnya.
Hadis dan riwayat memainkan peran yang sangat penting untuk memahami agama. Untuk itu, para penukil hadis dituntut untuk memegang amanah dan bersikap jujur. Banyak dari adab dan hukum bersumber dari ucapan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kajian yang teliti untuk menyingkap mana hadis yang benar-benar datang dari Rasulullah dan para imam maksum, dan mana hadis palsu atau hadis yang sudah terdistorsi karena kesalahan para perawinya.
Untuk keperluan itu, dibutuhkan ilmu rijal untuk memperkenalkan para perawi hadis, mengkaji reputasi mereka, dan mengukur tingkat kejujuran perawi. Pada awal abad keempat dan seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan pemalsuan hadis mulai marak terjadi.
Syeikh Thusi memahami bahaya ini dan agar lebih mudah bagi generasi mendatang untuk melacak perawi yang jujur, ia kemudian menulis sebuah buku berjudul al-Abwab atau Rijal Thusi. Ulama besar ini juga mengarang buku lain dengan judul al-Fehrest untuk bidang yang sama. Buku-buku ini sekarang menjadi salah satu rujukan utama yang diandalkan oleh para ulama kontemporer.
Sejak awal kehadiran fiqih Syi'ah, kitab-kitab fiqih terdiri dari kumpulan riwayat dan hadis dari Ahlul Bait yang berbicara tentang persoalan halal-haram, hukum jual-beli, dan lainnya seperti tema akhlak, pengetahuan umum, dan akidah.
Setelah tiga abad berlalu, muncul sebuah metode baru di mana para fuqaha selain mengutip hadis, juga memaparkan kesimpulannya dari hadis tersebut di setiap persoalan yang kemudian dikenal dengan fatwa. Selain metode ini, para ulama juga memperkenalkan sebuah metode baru yang dikenal dengan al-Fiqh al-Istidlali.
Untuk mengetahui status hukum tentang sebagian permasalahan kontemporer yang belum pernah dibahas pada masa Rasulullah dan imam maksum, serta tidak disinggung secara langsung oleh ayat dan riwayat, maka dibutuhkan sebuah metode baru dalam fiqih untuk menjawab persoalan ini. Metode ini melibatkan akal untuk mengeluarkan kaidah umum dari teks-teks ayat dan riwayat. Dengan kaidah umum ini, para fuqaha mengeluarkan fatwa terhadap permasalahan kontemporer yang dihadapi umat Islam.
Di masa hidupnya, Syeikh Thusi merasakan perlunya sebuah reformasi di bidang fiqih dan ijtihad, dan perubahan ini tidak akan terwujud jika tanpa sebuah gerakan yang melawan tradisi pada masa itu. Di sini, dibutuhkan keberanian, ilmu yang cukup, dan akhlak yang mulia untuk melawan tradisi tersebut.
Syeikh Thusi dengan keberanian, ilmu, dan akhlak yang dimilikinya, membuat sebuah terobosan dengan menulis buku al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiyah dan mengantarkan fiqih dan ijtihad dalam Syiah ke sebuah fase baru.
Seorang cendekiawan Muslim asal Iran, Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Seluruh wujud Syeikh Thusi dipenuhi dengan iman, semangat Islamis, dan haus akan pengabdian kepada Islam. Dia adalah sosok yang sangat bergairah, tetapi semangat, iman, dan gairah ini tidak pernah menyeretnya ke arah jumud (kaku) dan berpandangan dangkal. Ia bangkit melawan kelompok jumud dan orang yang berpikiran dangkal. Dia mengenal Islam sebagaimana mestinya dan karena itu menghormati kebenaran akal.”