Sayid Ibnu Thawus

Rate this item
(0 votes)
Sayid Ibnu Thawus

 

Sayid Radhiyuddin Ali bin Musa bin Jakfar bin Thawus, yang masyhur dengan Sayid Ibnu Thawus adalah seorang ulama besar Syiah, faqih, serta guru akhlak dan irfan. Ia adalah penulis buku al-Luhuf tentang perjuangan Imam Husein as di Karbala.

Ibnu Thawus adalah pemimpin masyarakat Syiah pada masa pemerintahan Mongol di Baghdad. Ia dikenal sebagai Jamal al-‘Arifin karena kesalehan, ketakwaan, dan derajat irfaninya. Para tokoh Syiah memuji Ibnu Thawus dengan sifat-sifat seperti, yang mulia, saleh, ahli zuhud, pemimpin kaum ‘arif, pemilik karamah, dan Thawus (burung merak).

Ibnu Thawus lahir pada pertengahan bulan Muharram tahun 589 H/1193 di kota Hillah, Irak. Garis keturunannya sampai kepada Imam Hasan al-Mujtaba dan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Ia dikenal dengan Ibnu Thawus karena salah satu dari kakeknya yakni Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad memiliki wajah yang tampan dan termasuk salah satu pembesar Alawi di Madinah.

Ayahnya, Musa bin Jakfar juga termasuk salah seorang perawi hadis besar, sementara ibunya adalah putri dari Warram bin Abi Farras, salah seorang pemuka ulama Syiah Imamiah.

Sayid Ibnu Thawus sangat dihormati di kalangan ulama dan masyarakat pada masanya. Meski ia sangat dikenal sebagai ahli takwa dan mistisisme, serta sebagian besar tulisannya juga seputar buku-buku doa dan ziarah, namun Ibnu Thawus juga seorang faqih besar, pakar sastra Arab, dan penyair yang cakap.

Hillah, tempat kelahiran Ibnu Thawus, merupakan salah satu kota di Irak dan Ibukota Provinsi Babel. Kota ini terletak di sebelah Shatt al-Hillah (salah satu anak Sungai Efrat), 90 km selatan Baghdad, dan di persimpangan jalan dari Baghdad menuju Najaf.


Pada abad kelima dan keenam Hijriyah, Hillah tercatat sebagai salah satu kota terindah di Irak yang didatangi oleh banyak pedagang, ulama, dan penyair. Hillah adalah pusat ilmu pengetahuan dan tempat lahirnya Hauzah Ilmiah Syiah dari awal abad keenam hingga kesepuluh Hijriyah, dan kemudian Hauzah Ilmiah Syiah pindah ke Karbala dan sekarang berpusat di kota Najaf.

Hampir 500 mujtahid pernah tinggal di kota Hillah dalam satu abad, dan ini menjadi bukti atas perkembangan ilmu pengetahuan dan hauzah ilmiah di suatu daerah.

Sayid Ibnu Thawus memulai pendidikannya di kota Hillah, di mana ia belajar ilmu-ilmu dasar dari ayah dan kakeknya. Kemudian dia memutuskan untuk berkelana demi menimba ilmu dari ulama-ulama lain. Kazimain adalah kota pertama yang ditujunya dan setelah beberapa lama, dia menikah dan kemudian menetap di Baghdad. Selama 15 tahun di Baghdad, Ibnu Thawus mendidik siswa dan mengajar berbagai bidang ilmu. Ia juga pernah tinggal di kota Mashad, Iran selama tiga tahun.

Ibnu Thawus kemudian hijrah ke Najaf dan Karbala, dan menetap di masing-masing kota tersebut selama sekitar 3 tahun. Selama periode itu, Ibnu Thawus selain mendidik siswa dan mengajar, juga fokus menjalani sair suluk (perjalanan menuju alam rohani) dan berjuang memperoleh derajat spiritual.

Meskipun Ibnu Thawus adalah seorang faqih (ahli ilmu fikih), tetapi ia tidak memilih menjadi marja’ taqlid, dan hanya ada sebuah buku tentang hukum-hukum shalat dari karyanya yang sampai ke tangan kita. Ia lebih tertarik pada subjek lain seperti masalah akhlak dan spiritual, dan sebagian besar karyanya juga fokus pada masalah tersebut seperti, Muhasabatu al-Nafs, Iqbal al-A’mal, Misbah al-Mutahajjid, dan Kasyf al-Mahjah.

Karya Ibnu Thawus yang paling terkenal adalah kitab, al-Luhuf 'ala Qatla al-Thufuf yang terkenal dengan sebutan al-Luhuf. Buku ini berkisah tentang peristiwa sejarah, berbeda dengan karya-karya lain Ibnu Thawus yang berbicara tentang doa dan ziarah. Ia ingin menyusun sebuah buku yang ringkas dan mudah yang akan menemani para peziarah Imam Husein as di Hari Asyura dan selama berziarah, dan tanpa perlu lagi mempelajari berbagai sumber sejarah tentang peristiwa Asyura.

Dengan tujuan menjelaskan Peristiwa Karbala secara ringkas, penulis menyusun hadis-hadis yang ada sehingga membentuk sebuah kisah yang teratur. Dalam kitab ini penulis tidak memuat hadis-hadis yang sama dan hadis-hadis yang tidak saling berkaitan. Sehingga para pembaca senantiasa digiring untuk selalu berada pada alur sejarah, bukan terpaku pada penukilan hadis.

Kitab al-Luhuf terjemahan bahasa Persia.
Kitab ini berisi tentang kehidupan dan kesyahidan Imam Husein as. Kitab al-Luhuf termasuk kitab maktal yang sangat terkenal di kalangan Syiah. Karena tujuannya untuk dibaca para musafir dan peziarah Imam Husein as, maka kitab ini disusun secara ringkas. Silsilah sanad riwayatnya pun tidak disebutkan, kecuali perawi terakhir atau sumbernya saja. Mengingat urgensi kitab dan kedudukan penulisnya, kitab ini telah dicetak berkali-kali ke dalam berbagai bahasa.

Kajian terhadap situasi politik, agama, dan budaya Dunia Islam pada abad ke-7 H menunjukkan bahwa periode ini berbarengan dengan peristiwa-peristiwa yang menentukan nasib Islam. Serangan pasukan Mongol ke wilayah Islam dan jatuhnya Dinasty Abbasiyah adalah salah satu peristiwa terpenting pada periode itu, yang menciptakan krisis intelektual, budaya, dan moral di tengah masyarakat Muslim.

Dalam situasi seperti ini, para ulama Syiah – yang ditekan oleh penguasa Abbasiyah selama bertahun-tahun – melipatgandakan upaya mereka untuk merawat batas-batas geografi budaya dan ideologi Islam, serta mengubah ancaman yang ditimbulkan oleh invasi Mongol ke Dunia Islam sebagai kesempatan untuk membangun kembali fondasi peradaban Islam.

Syiah mencapai pertumbuhan budaya dan sosial yang luar biasa pada abad ke-7 H, terutama di kota Baghdad. Tidak diragukan lagi, Sayid Ibnu Thawus juga berkontribusi pada perubahan dan perkembangan ini.

Ulama besar ini memainkan peran penting dalam perkembangan budaya dan sosial Syiah. Ia telah menyusun dan menerbitkan buku-buku tentang berbagai topik, mempromosikan kitab-kitab maktal tentang Ahlul Bait as, mengadakan debat ilmiah dengan pengikut sekte Islam lainnya, menyebarkan pemikiran Mahdisme dan kemunculan Juru Selamat, serta menyusun buku-buku doa.

Salah satu pengabdian besar Sayid Ibnu Thawus adalah mempopulerkan budaya doa kepada masyarakat Syiah. Di antara berbagai mazhab Islam, Syiah menaruh perhatian yang besar pada masalah doa, bahkan ia dianggap sebagai salah satu komponen yang tak terpisahkan dari mazhab ini.

Doa selalu ada bersama manusia di sepanjang sejarah, tetapi perbedaannya adalah bahwa doa yang ditekankan oleh Syiah berasal dari lisan manusia sempurna seperti Rasulullah Saw dan Ahlul Bait, yang memuat berbagai makrifat dan pengetahuan untuk menuju kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Akhirnya setelah menjalani hidup penuh berkah, Sayid Ali ibn Thawus wafat pada tahun 664 H dalam usia 75 tahun di kota Baghdad. Jenazahnya dipindahkan ke kota Najaf dan dimakamkan di Kompleks Makam Suci Imam Ali as.

Semua ulama Syiah memuji Sayid Ibnu Thawus, karena ketakwaan dan kezuhudannya dan mereka menaruh hormat atas derajat keilmuannya yang tinggi. Kini berabad-abad telah berlalu sejak wafatnya orang besar ini, Sayid Ibnu Thawus selalu dikenang dan dihormati di kalangan ilmuwan, dan kitab al-Luhuf masih menjadi tali pengikat hati para pecinta Ahlul Bait dengan Imam Husein as. 

Read 922 times