Khajeh Nashiruddin Thusi

Rate this item
(0 votes)
Khajeh Nashiruddin Thusi

 

Sejak dimulainya periode keghaiban besar Imam Mahdi as yang dikenal sebagai “era kebingungan” Syiah, para fuqaha yang adil mulai memikul tugas atas nama Imam Mahdi as untuk mempertahankan hukum agama, cita-cita Islam, dan ajaran Syiah.

Sejak saat itu, para ulama berjuang membela agama dengan penuh pasang surut dan menjalankan tugasnya dengan berbagai cara. Kapan pun diperlukan, mereka menyebarkan ajaran Islam dengan senjata pena, ucapan, tulisan, dan majlis taklim. Para ulama ini juga tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan nyawa, harta, dan kehormatannya jika situasi menuntut.

Di antara mereka, terdapat para ulama besar yang memainkan peran luar biasa yang menyandingkan ilmu dengan amal serta agama dengan politik. Mereka mampu menahkodai bahtera budaya dan peradaban Islam Syiah melewati badai dahsyat dan menjaga ajaran-ajarannya.

Salah satu dari tokoh besar ini adalah Khajeh Nashiruddin Thusi yang merupakan salah satu ulama Syiah terbesar pada abad ketujuh Hijriyah. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pakar di berbagai bidang.

Muhammad bin Muhamad bin Hasan Thusi terkenal dengan nama Khajeh Nashiruddin Thusi adalah seorang filosof, teolog, matematikawan, dan astronom besar Iran abad ke-7 H. Khajeh Thusi adalah pendiri Observatorium Maragheh Observatory, dan tokoh-tokoh besar seperti, Allamah Hilli dan Qutbuddin Shirazi belajar kepadanya.

Khajeh Nashiruddin Thusi lahir pada 11 Jumadil Awal tahun 597 H di Thus dan dibesarkan di sana. Ayahnya Muhammad bin Hasan adalah salah satu fuqaha Syiah dan perawi hadis di daerah Thus. Khajeh Thusi mengenyam pendidikan dasar dari ayah, ibu, dan pamannya. Setelah itu dia belajar kepada para ilmuwan dan ulama Thus. Ia sangat antusias dalam belajar, kejeniusan dan ketekunannya membuat para ulama Thus takjub.

Atas saran para tokoh Thus, Khajeh Thusi hijrah ke kota Neishabur untuk memperdalam ilmu. Dari kota inilah petualangan ilmiahnya dimulai. Kemudian ia melakukan perjalanan ke kota Rey, Qum, Isfahan, dan Irak.

Khajeh Nashiruddin Thusi.
Khajeh Thusi kembali ke kampung halamannya di Khorasan setelah memperdalam ilmu di madrasah-madrasah terpenting dunia Islam dan mencapai gelar tertinggi di semua cabang ilmu pada masanya mulai dari fiqih, filsafat, teologi, matematika, dan astronomi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai seorang ilmuwan besar dan kompeten.

Khajeh Nashiruddin Thusi tidak bisa dengan tenang melakukan kegiatan ilmiahnya di Khorasan, karena masa itu bertepatan dengan invasi Mongol ke Iran. Tentara Mongol secara brutal membantai banyak orang di Iran dan menyebabkan kehancuran besar-besaran.

Bagi tentara Mongol yang barbar dan tanpa budaya, maka karya dan peradaban umat manusia juga tidak ada nilainya, dan apapun yang ditemuinya akan dihancurkan dan dibakar. Banyak ulama dibunuh, perpustakaan dibakar, dan infrastruktur negara, seperti saluran air dan irigasi dihancurkan. Dalam situasi seperti itu, Khajeh Thusi pindah ke benteng Ismailiyah yang merupakan tempat yang aman saat itu. Dia tinggal di benteng Ismailiyah selama 26 tahun.

Selama kurun waktu itu, ia tidak menyerah sedikit pun dalam kegiatan ilmiah dan berhasil menulis beberapa buku seperti, Syarah Isyarat Ibn Sina, Taḥrir Usul Uqlidis, Tawalli wa Tabarri, dan Akhlak Nashiri, serta beberapa buku dan risalah lainnya. Meskipun waktu itu tidak terlalu bebas dan tidak diizinkan untuk keluar dari benteng.

Khajeh Thusi pada bab penutup Syarah Isyarat Ibn Sina menulis, “Saya menulis sebagian besar karya dalam situasi yang begitu sulit dan tidak ada yang lebih sulit lagi dari itu. Saya menulis sebagian besar di tengah kekacauan di mana setiap bagian darinya adalah kepingan dari kesedihan, siksaan yang menyakitkan, dan penyesalan yang besar. Tidak ada hari-hari yang saya lewati tanpa meneteskan air mata dan hati saya tidak gelisah, serta tidak ada saat yang membuat rasa sakit saya tidak bertambah dan kesedihan saya tidak berlipat ganda.”

Ilmuwan hebat ini mengungguli para ilmuwan lain di berbagai bidang sains pada masa itu, khususnya matematika dan astronomi. Karya-karyanya diterjemahkan dan diajarkan di universitas-universitas Eropa selama berabad-abad setelahnya. Dia juga seorang ulama di bidang ilmu agama dan sastra.

Abad ketujuh Hijriyah bisa dianggap sebagai periode aktual penulisan karya-karya teologis Syiah, di mana Khajeh Thusi memimpin kebangkitan ini dengan sejumlah karyanya di bidang teologi Syiah. Dia membuktikan kebenaran Syiah dengan menulis buku-buku seperti, Tajrid al-I'tiqad, Fushul al-‘Aqaid, dan Qawaid al-‘Aqaid. Selain itu, dia juga menulis sebuah risalah imamah untuk memperkuat akidah Syiah Imamiyah.

Di bidang filsafat, Khajeh Nashiruddin Thusi memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap filsafat Islam. Dia memberikan penjelasan atas buku Ibnu Sina, al-Isyarah dan Tanbihat, yang menunjukkan penguasaan tema-tema filsafat oleh Khajeh. Ilmuwan hebat ini juga pakar di bidang irfan dan mengungkapkan pandangan mistiknya dalam bentuk uraian tentang keadaan irfani dari para sufi terkenal seperti Bayazid dan Hallaj.

Di bidang etika, reputasi Khajeh Thusi juga sangat dikenal dan diketahui banyak orang. Pandangannya tentang akhlak dan pendidikan bisa ditemukan dalam buku-bukunya, Akhlak Nashiri dan Adab al-Muta’allimin. Beberapa orang menganggap Akhlak Nashiri sebagai buku Persia terlengkap di bidang akhlak dan mahakarya dalam prosa Persia.

Khajeh Nashiruddin Thusi memandang ilmu akhlak dan ajarannya sebagai ilmu yang tertinggi dan percaya bahwa dengan mengamalkan ajaran moral, makhluk yang paling rendah bisa berubah menjadi makhluk yang paling mulia dan dia sendiri membuktikan kebenaran ucapan ini dalam praktiknya.

Di antara kontribusi lain Khajeh Thusi yang tidak akan pernah dilupakan sejarah, adalah pembangunan Observatorium Maragheh, yang dibangun olehnya dengan bantuan sejumlah cendekiawan dan ilmuwan. Atas perintah peneliti besar ini, arsitek terkenal saat itu, Fakhruddin Abu al-Saadat Ahmad ibn Uthman Maraghi, membangun sebuah bangunan observatorium yang besar dan megah sesuai dengan rancangan Khajeh Thusi.

Lokasi yang dipilih untuk observatorium ini adalah sebuah bukit yang terletak di barat laut kota Maragheh dan sekarang dikenal sebagai Observatorium Maragheh. Di dekat observatorium, sebuah perpustakaan besar dibangun yang dilengkapi dengan 400 ribu jilid buku-buku penting untuk digunakan para ilmuwan dan peneliti. Buku-buku ini dikumpulkan oleh Khajeh Nashiruddin Thusi dari Baghdad, Syam, Beirut, dan Aljazair.

Sisa-sisa bangunan Observatorium Maragheh (atas) dan observatorium baru di lokasi yang sama.
Observatorium Maragheh menandai babak baru kegiatan ilmiah di dunia Islam, sekaligus berperan penting dalam pengembangan astronomi sistem pra-Copernicus non-Ptolemaic yang canggih, untuk menjelaskan gerakan planet. Observatorium Maragheh juga menjadi model untuk beberapa observatorium yang dibangun di wilayah Iran, Transoxiana, dan Asia Kecil hingga abad ke-17.

Observatorium ini sebenarnya sebuah lembaga ilmiah, dengan bangunan utama untuk peralatan pengamatan, beberapa bangunan tambahan, dan tempat akomodasi. Sebuah tim astronom, sebagian besar diundang dari berbagai belahan dunia Islam, bertanggung jawab untuk desain dan konstruksi dari instrumen astronomi, serta untuk melakukan pengamatan dan perhitungan.

Di bawah arahan Khajeh Nashiruddin Thusi, Observatorium Maragheh menjadi pemantik kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam, terutama di bidang astronomi, matematika, fisika, filsafat, dan teologi. Ia juga mengundang seluruh ilmuwan dari berbagai wilayah ke Maragheh, dan menjadikan tempat itu sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia di zamannya.

Khajeh Nashiruddin Thusi meninggal dunia pada 18 Dzulhijjah tahun 672 H dan berdasarkan surat wasiat yang ditulisnya, ia dimakamkan di dekat Kompleks Makam Kazhimain. 

Read 785 times