Tahun 1248 H, di dekat kota suci Qom, di daerah Ashtian, lahir seorang anak laki-laki bernama Mohammad Hasan.
Mohammad Hasan Ashtiani seperti Mirza Shirazi, kehilangan ayahnya di usia tiga tahun, dan ia merasakan kehidupan seorang yatim, tapi berkat asuhan ibu yang mulia dan pecinta Ahlul Bait as, kehidupan Mohammad Hasan berada di jalur meraih ilmu-ilmu agama.
Ibunya mengirim Mohammad Hasan Ashtiani ke guru agama dan ia belajar ilmu-ilmu dasar agama hingga usia 13 tahun di bawah bimbingan sang guru. Kemudian Mohammad Hasan pergi ke Burujerd untuk melanjutkan pendidikannya. Saat itu, Hauzah Ilmiah (Seremoni) Burujerd termasuk hauzah paling aktif dan terkenal di kalangan Syiah. Selama di Hauzah Ilmiah Burujerd, Mohammad Hasan mempelajari ilmu sastra, fiqih dan usul fiqih hingga mahir, dan sebelum menginjak usia 16 tahun, ia telah mendapat posisi tinggi dan diijinkan untuk mengajar, sementara murid-muridnya rata-rata berusia di atasnya dan bahkan da yang telah berusia tua.
Di usia 18 tahun, Mirza Ashtiani merindukan Imam Ali as dan ingin selalu berada dekat dengan makam sang imam, dan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, ia berangkat ke kota Najaf di Irak. Perjalanannya memiliki banyak kesulitan, anak berusia tujuh belas tahun ini jatuh sakit selama perjalanan yang menyakitkan dan melewati kota dan gurun pasir. Namun keinginan untuk belajar dan mengabdi pada mazhab Ahlul Bait as, tidak menghentikannya untuk melanjutkan perjalanannya.
Mirza tiba di makam Amirul Mukminin Ali as dengan tubuh meradang dan demam, dan ketika dia gembira dengan kegembiraan mengunjungi guru yang saleh, dia berlindung di sudut kompleks makam dan ia memohon pengobatan untuk rasa sakit dan menyelesaikan kesulitan masalah serta kesempatan untuk menimba ilmu dengan bertawassul kepada sang imam.
Setelah bertawssul dan ziarah, Mirza muda keluar dari kompleks makam Imam Ali as untuk memulai jalan pendidikan dan kehidupan yang sulit, bermil-mil jauhnya dari tanah air dan keluarganya. Kecuali makam suci sang Imam, dia merasa terasing dimana-mana di kota ini, dan rasa sakit akibat penyakitnya telah melipatgandakan kesedihannya. Saat meninggalkan makam Imam Ali, di antara kerumunan orang asing, dengan rahmat Tuhan, dia bertemu dengan salah satu teman lama ayahnya yang tinggal di Najaf selama bertahun-tahun. Kenalan lama ini, yang sangat gembira bertemu dengan Mohammad Hassan muda, membawanya ke kamarnya dan memberinya kenyamanan dan pendidikan. Bertentangan dengan ekspektasi, penyakit Mirza muda sembuh dalam waktu singkat dan dia bisa memulai studinya di Najaf dan mengikuti pelajaran Sheikh Murtadha Ansari. Sheikh Murtadha Ansari adalah salah satu ahli fiqih (fuqaha) dan ulama paling terkemuka di abad ke-13 H.
Di kota Najaf Ashraf, semua murid Sheikh Murtadha Ansari lebih tua dari Muhammad Hassan muda, sampai-sampai dia merasa malu karena usia mudanya dan duduk di balik tirai dan mendengarkan pelajaran sang guru. Suatu hari, Mohammad Hassan mengajukan pertanyaan dalam pelajaran. Sheikh Ansari senang dengan pertanyaan bijaksana dari murid muda Ashtiani dan menyadari tingkat pengetahuan dan penguasaan murid muda ini.
Setelah itu Sheikh Ansari memberikan perhatian khusus kepada Mirza, sebagai murid istimewa Sheikh Ansari, Mirza diberi keleluasaan untuk datang dan pergi ke rumah sang guru, dan Sheikh Ansari mengirimkan murid-muridnya yang lain kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan. Muhammad Hassan menjadi terkenal karena kefasihan dan catatan indahnya dalam pelajaran Sheikh Ansari.
Pada tahun 1281 H, setelah wafatnya Sheikh Murtadha Ansari, Mirzai Ashtiani dan murid Sheikh lainnya bermusyawarah dan memilih Mirzai Shirazi sebagai marji dan pemimpin Syi'ah dunia. Setelah kejadian inilah Mirza Ashtiani berencana untuk kembali ke Iran, dan pada saat itulah Naser al-Din Shah, raja keempat dinasti Qajar, telah memberikan banyak kelonggaran (konsesi) kepada Barat dan mengetahui bahwa kesadaran dan persatuan rakyat akan menjadi masalah baginya. Shah khawatir dengan kekuatan sosial ulama karena ia tahu bahwa ulama adalah poros utama persatuan umat.
Bertentangan dengan keinginan Shah, Mirza Ashtiani, yang kini menjadi mujtahid terkenal dan dihormati di kalangan ulama dan masyarakat, memasuki Tehran dengan sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dia memulai seminari (hauzah ilmiah) di Tehran dan mulai mengajar ilmu-ilmu hukum (yurisprudensi). Setiap hari, minat masyarakat terhadap ulama besar ini semakin bertambah, dan tingkat keagungan serta kesempurnaannya menjadi lebih jelas bagi para ulama. Selain ketelitian dan kecermatannya dalam berdiskusi di bidang fiqih, penjelaannya juga mudah, indah dan menarik, oleh karena itu ia unik dalam menyampaikan topik-topik ilmiah dan keagamaan kepada para pendengarnya.
Salah satu ciri Mirza Ashtiani adalah perhatiannya yang khusus terhadap permasalahan sosial umat Islam. Ia menganggap mereformasi masyarakat dan menangani permasalahan masyarakat sebagai tugas seorang ulama, dan ia tidak segan-segan menghabiskan hidup, uang, dan reputasinya dengan cara ini. Kepekaan dan kehati-hatian Mirza Ashtiani menjadikannya penggagas gerakan boikot tembakau di Tehran pada tahun 1306 H.
Ketika Nasser al-Din Shah memberikan hak eksklusif untuk membeli dan menjual tembakau di Iran kepada perusahaan Inggris bernama Regie, Mirza Mohammad Hassan Ashtiani melalui surat dan pertemuan menyampaikan penentangan serius para ulama dan masyarakat kepada Naser al-Din Shah, namun Shah tidak menghiraukannya. Mirza bahkan mengeluarkan fatwa boikot tembakau, tetapi karena kepatuhan terhadap perintah ini bukanlah kewajiban Syariah bagi marji lain dan para pengikutnya, langkah ini tidak dapat membuat Shah dan kroninya untuk membatalkan keputusan tersebut.
Dalam situasi seperti ini, Mirza Ashtiani, yang belajar di bawah bimbingan Sheikh Ansari bersama Mirza Shirazi selama bertahun-tahun, menulis surat kepada marji Syiah dan sambil menjelaskan situasinya, dia meminta mereka untuk campur tangan dalam masalah ini sebagai marji Syiah.
Selain surat Allamah Ashtiani, surat-surat lain juga sampai ke tangan Mirza Shirazi yang semuanya berbicara tentang ketidakpuasan masyarakat dan ulama Iran terhadap situasi saat ini. Surat-surat ini dan desakan Shah untuk melanjutkan proses sebelumnya, mendorong marji Syiah untuk melarang penggunaan tembakau. Selain untuk menyelesaikan permasalahan umat dan menegakkan keadilan sosial, penerapan fatwa ini juga dianggap sebagai kewajiban syariat bagi seluruh penguasa dan para pengikutnya (muqallid), sehingga menjadi alasan persatuan umat Islam dalam menentang perjanjian Regie.
Sementara itu, untuk memecah persatuan masyarakat, Shah memutuskan bahwa Ayatullah Ashtiani harus merokok hookah di depan umum dan membatalkan fatwa atau meninggalkan Iran. Menanggapi hal tersebut, Mirza mengatakan keputusan ini dikeluarkan oleh otoritas (marji) Syiah Mirza Shirazi dan pembatalannya juga merupakan kewenangan otoritas tersebut. Kemudian dia mulai mempersiapkan diri meninggalkan Iran. Rakyat sangat marah setelah mendengar berita ini, mereka bergerak menuju istana raja dan bentrok dengan para pengawal istana, tujuh orang tewas dalam bentrokan ini. Dengan adanya pergerakan rakyat ini, Shah mengurungkan keinginannya dan meminta Mirzai Ashtiani untuk tetap tinggal di Tehran. Dia juga berjanji untuk membatalkan kontrak tembakau dalam waktu tiga hari.
Ayatullah Ashtiani, terlepas dari perannya yang efektif dan penuh warna dalam perkembangan politik dan sosial pada masanya, tidak mengabaikan penulisan dan kompilasi karya ilmiah penting. Banyak kitab dan risalah yang tersisa darinya, yang terpenting adalah kitab “Bahr al-Fawaid” dalam uraian “Rasail” Sheikh Ansari. Menurut para ulama senior, Bahr al-Fawaid adalah yang terbaik dan terlengkap dari semua tafsir yang ditulis mengenai Rasail Sheikh Ansari.
Menurut para ahli sejarah, mendiang Ashtiani merupakan orang pertama yang menyebarkan pandangan Sheikh Ansari di Iran. Kehadirannya di Tehran sama dengan kehadiran sekolah dan diskusi Sheikh Ansari di Tehran. Ini merupakan kesempatan besar bagi mereka yang mendengar kemasyhuran Sheikh Ansari namun tidak mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan kehadirannya. Lebih dari dua ratus ulama senior berkumpul di sekitar mendiang Ashtiani untuk belajar catatan Sheikh Ansari. Di antara mereka, kita dapat menyebutkan Ayatullah Shahabadi, guru Imam Khomeini (semoga Tuhan mengasihaninya); Selain itu, sebagian besar guru, profesor, dan sesepuh di wilayah Tehran adalah murid Ayatullah Ashtiani, beberapa di antaranya terjun ke bidang politik dan sosial.
Ayatullah Ashtiani juga sangat rajin beribadah dan Tahajud, serta tidak meninggalkan ziarah Asyura dan shalat malam serta mustahabnya. Dia sangat komitmen untuk membaca ziarah Jamiah Kabirah setiap malam. Putranya meriwayatkan bahwa ketika mendiang Ashtiani sedang sakit dan terbaring di tempat tidur, dia sibuk membaca Ziyarat Jamiah Kabirah, dan ketika dia sampai pada kalimat “Dan siapakah yang mendatangi kalian akan selamat dan barang siapa yang tidak datang akan celaka?”, dia menyerahkan nyawanya kepada sang pencipta. Keesokan harinya, untuk menghormatinya, Tehran menggelar upacara pemakaman rinci untuk mendiang Ashtiani, dan jenazahnya dimakamkan di Najaf di mausoleum Sheikh Jafar Shooshtari sesuai dengan wasiatnya.