Sejarah Hidup Saudah Binti Zam’ah

Rate this item
(27 votes)

Sejarah Hidup Saudah Binti Zam’ah

 

Saudah adalah putri dari Zam’ah bin Qais dari Suku Quraish Mekah. Dia berasal keturunan Luiy, salah satu nenek moyang dari Nabi Muhammad (SAW). Ayahnya adalah salah satu orang pertama yang memeluk Islam pada awal diutusnya Nabi (SAW).

Saudah pertama kali dinikahi oleh sepupunya, Sakran bin Amr bin Abd Syams, dan mereka memiliki seorang putra bernama Abdurrahman. Setelah munculnya dakwah Islam dari Nabi (SAW), Saudah memeluk Islam dan disusul oleh suaminya. Kemudian beliau dan suaminya bersama-sama dengan sejumlah muallaf berhijrah ke Abyssinia karena intensitas penganiayaan dan pelecehan dari orang-orang kafir Mekah yang semakin meningkat.

Setelah kemenangan umat Islam di Mekah dan penerimaan Islam oleh orang-orang Mekah, orang-orang yang telah berhijrah dari Abyssinia kembali ke Mekah. Dalam perjalanan mereka ke Mekkah, suami Saudah meninggal. Ketika beliau tahu bahwa orang-orang Mekah tidak menerima Islam dan bahkan meningkatkan penganiayaan mereka terhadap kaum Muslimin, ditambah lagi tragedi kehilangan suaminya, beliau menjadi sangat khawatir akan perilaku keluarganya yang masih belum memeluk Islam.

Pada saat itu, janda dianggap aib dan berbahaya. Jadi orang asing dan perempuan yang belum menikah harus mencari bantuan dari suku atau kepala klan agar mereka terbebas dari perlakuan buruk orang lain.

 

Usulan Lamaran kepada Nabi (SAW)

Bersamaan dengan peristiwa yang dijelaskan diatas dan pada hari-hari sulit di antara duka dan kesedihan, Abu Thalib, paman Nabi (SAW) wafat dan tidak lama setelah itu istri Nabi (SAW), Sayyidah Khadijah juga menyusulnya. Nabi (SAW) menjadi sangat sedih atas hilangnya paman dan istrinya.

Setelah kematian Sayyidah Khadijah (SA), Nabi (SAW) tidak menikah selama satu tahun. Sahabat Rasulullah (SAW) khawatir dengan keadaan Nabi dan mereka juga menyadari status Khadijah (SA). Mereka ingin meringankan kesedihan Nabi atas wafatnya Khadijah (SA). Oleh karena itu, mereka mengirim Khulah binti Hakim istri Utsman bin Maz'un kepada Nabi (SAW). Khulah adalah salah satu wanita mukmin dan solihah.

Setelah pertemuannya dengan Nabi, Khulah mengatakan kepada beliau: "Wahai Rasulullah, aku tahu hilangnya Khadijah (SA) membuat Anda sangat berduka." Nabi (SAW) menjawab: "Ya, dia adalah ibu dari anak-anak saya dan keluarga saya."

Khulah kemudian mengatakan: "Mengapa Engkau tidak menikah, wahai Rasulullah?" Nabi (SAW) diam untuk sementara waktu dan air mata mulai mengalir turun dari matanya. Lalu beliau berkata: "Apakah ada seseorang untuk saya setelah Khadijah?"

Khulah mendapat kesempatan dan berkata cepat: “Dapatkah saya melamarkan seseorang untuk Anda"

Akhirnya, Rasulullah (SAW) setuju dengan keadaan Saudah yang merupakan seorang wanita tua.

Khulah pergi ke Saudah dan mengatakan padanya: “Kabar baik Hari ini adalah bahwa hidup Anda telah terlahir kembali"

Saudah: "Kenapa?"

Khulah: "Nabi (SAW) telah mengutus aku untuk memberikan usulan pernikahannya dengan Anda."

Saudah: "Apakah Nabi (SAW) benar-benar ingin menikahi saya!"

Khula: "Ya, saya bercerita tentang Anda dan beliau meminta saya untuk mengusulkan kepada Anda."

Meskipun usia tua dan sejarah pernikahannya; Saudah menghormati ayahnya dan berkata: "Jadi, saya akan mendapatkan izin ayahku dulu"

Khulah mengatakan: "Saya pergi ke ayah Saudah dan mengatakan kepadanya: Muhammad bin Abdullah ingin melamar putri Anda, Saudah"

Ayah Saudah mengatakan: "Muhammad adalah orang besar dan murah hati tetapi tanyalah Saudah, apa pendapatnya?"

Ketika Saudah menyatakan persetujuannya, kata ayahnya. : "Katakan kepada Muhammad (SAW) agar datang untuk upacara pernikahannya"

Pernikahan yang bahagia ini berlangsung di bulan Ramadhan, tahun kesepuluh setelah dimulainya Kenabian Muhammad (SAW) dan Nabi tidak menikahi wanita lain selama tiga tahun.

Pernikahan Nabi dengan seorang wanita tua membuat orang Mekah terkejut dan setelah pernikahan mereka; Saudah terlindungi dari penganiayaan mereka (orang musyrik Mekah).

Setelah menerima Islam dan menjadi seorang Muslim, saudara Saudah, Abdullah bin Zam'ah, mengatakan: "Saya bertingkah seperti orang gila ketika saya mendengar berita pernikahan kakak saya dengan Nabi sehingga saya harus menaruh tanah di kepala saya."

Setelah pernikahan ini, banyak orang dari suku Saudah masuk Islam dalam jumlah besar karena cinta mereka kepada Nabi (SAW) dan moralitas beliau yang sangat luar biasa itu.

Pernikahan tersebut berlangsung setahun sebelum Hijrah Nabi ke Madinah. Saudah bekerja dengan rajin untuk menjaga Fatimah (AS) dan adiknya, Ummu Kultsum. Perlu dicatat bahwa selama Nabi tinggal di Mekah beliau menikahi tiga wanita: Sayyidah Khadijah, Saudah, dan Aisyah. pernikahan lainnya dari Nabi (SAW) berlangsung setelah Hijrah ke Madinah.

 

Upaya Saudah untuk Membuat Nabi (SAW) Senang

Menurut beberapa kutipan dari riwayat, meskipun Saudah berbeda usianya dengan Nabi (SAW) tapi beliau adalah seorang wanita yang bermartabat dan terhormat dan sangat baik kepada Nabi (SAW).

Ummul Mukminin Saudah, selalu berusaha keras untuk menyenangkan Nabi (SAW) dengan tindakan dan kata-katanya dan meskipun usia tua dia memiliki rasa humor saat bertemu Rasulullah (SAW).

Saudah selalu berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan dan lucu untuk membuat Nabi (SAW) bahagia dan gembira.

Setelah Hijrah dari Mekkah ke Madinah dan penyelesaiannya di Madinah, Nabi (SAW) mengirim Zaid bin Harist dan hamba sahayanya, Aba Rafeh, bersama dengan dua unta dan lima ratus dirham ke Mekah untuk membawa kembali Fatimah (AS), Ummu Kultsum, Saudah, Ummu Iman (istri Zaid bin Harist), dan Usamah bin Zaid ke Madinah.

Zaid menyelesaikan misinya dan mereka Saudah di rumah Harist bin Nu'man.

Dzahabi mengatakan: Nabi (SAW) membangun rumah pertama untuk Saudah di Madinah dan tidak menikahi wanita lain sampai tiga tahun setelahnya.

Menurut beberapa riwayat, setelah Sayyidah Khadijah; Saudah adalah istri Nabi (SAW) yang paling murah hati.

Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Muhammad Ibn Syirin bahwa Umar mengirim panci penuh dengan dirham untuk Saudah. Dia bertanya: Apa ini? Mereka mengatakan: Dirham. Kemudian Saudah membagikan uang itu kepada orang-orang yang ada disana.

 

Saudah Menemani Nabi (SAW) dalam beberapa Pertempuran

Beberapa cerita mengatakan bahwa Saudah menyertai Nabi (SAW) dalam beberapa pertempuran seperti Perang Khaibar.

Ibn Sa'ad dalam bukunya Tabiqat-nya menulis: Nabi memberi Saudah tujuh puluh ritl (satuan berat saat itu) dari kurma dan dua puluh ritl jelai dalam pertempuran Khaibar. Hal ini menunjukkan bahwa beliau bersama Nabi (SAW) dalam pertempuran Khaibar.

 

Munculnya Perselisihan

Ketika para istri Nabi (SAW) tidak senang dengan cara beliau dalam memberikan tunjangan, mereka menuntut Nabi (SAW) untuk meningkatkan jumlah tunjangan tersebut. Nabi (SAW) memberi kebebasan untuk istri-istrinya baik untuk tinggal bersamanya atau bercerai. Sehingga ayat ini diturunkan:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika Kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka datanglah kesini supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk siapa saja yang berbuat baik diantara kamu."(QS. Al-Ahzab: 28-29).

Setelah mendengar ayat-ayat ini, Saudah cepat pergi ke Nabi (SAW) dan mengatakan: saya tidaklah menginginkan apa-apa.

Aisyah meriwayatkan bahwa: ".... Saudah takut Nabi (SAW) mungkin akan menceraikannya karena usianya yang telah tua."

Saudah sudahlah seperti nenek bagi Aisyah. Beliau sering mengatakan berulang kali: "Saya ingin Allah memilih saya sebagai istri Nabi pada Hari Kiamat.

Beberapa sejarawan telah menulis bahwa ada beberapa perbedaan pendapat terkait Nabi (SAW) yang ingin menceraikannya. Saudah mengatakan kepadanya: Hai Nabi (SAW), saya meminta Anda tidak menceraikan saya sehingga saya akan berada di antara istri-istri Anda pada Hari Kiamat. Oleh karena itu, Nabi tidak menceraikannya.

 

 

Saudah di Haji Wada

Saudah dengan istri Nabi (SAW) yang lain pergi untuk melakukan haji wada dan mengunjungi Masjidil Haram. Bagaimanapun juga, karena mereka diperintahkan dalam Al-Qur’an untuk tinggal di rumah mereka, maka mereka tidak lagi berpergian ke Mekkah.

Ini merupakan kewajiban bagi seseorang yang dalam keadaan ihram untuk pergi ke Muzdalifah untuk melakukan Doa Pagi di sana setelah keluar dari Arafah dan kemudian meninggalkan tempat itu. Ketika Saudah dan Nabi (SAW) sedang melakukan ritual haji wada, beliau melakukannya dengan susah payah, karena beliau sudah sangat tua. Beliau mengatakan kepada Nabi: "Wahai Rasulullah saya tidak bisa tinggal sampai pagi". Nabi (SAW) pun memperbolehkannya untuk meninggalkannya. Keringanan dari Nabi (SAW) ini adalah karena umur Saudah yang sudah tua.

Khalifah kedua, Uman bin Khattab, selama kekhalifahannya membolehkan semua istri-istri Nabi untuk melakukan Haji. Semua istri-istri Nabi mengunjungi Kabah kecuali Saudah dan Zainab binti Jahsy yang mengatakan mereka tidak akan pergi keluar setelah wafatnya Rasulullah (SAW). Saudah mengatakan: Aku akan tinggal di rumah, karena Allah telah memerintahkanku demikian.

 

Ketaatan Saudah kepada Allah dan Nabi-Nya (SAW)

Suyuti menulis: bahwa ayat: "Dan tinggalah di rumah kalian dan janganlah menampilkan diri seperti orang-orang Jahiliyah dulu"; telah digunakan sebagai alasannya ketika orang bertanya kepadanya mengapa ia tidak pergi Haji dan Umrah. Beliau mengatakan: Allah telah memerintahkan saya untuk tidak keluar dari rumah saya dan saya harus tinggal di rumah.

Bahkan telah diriwayatkan bahwa beliau tidak pergi keluar dari rumahnya sampai jenazahnya sendiri yang dibawa keluar dari rumahnya.

 

Wafatnya Saudah

Saudah meninggal ketika kekhalifahan Umar bin Khattab dan beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.

Read 10169 times