Ayat ke 26-28
Artinya:
Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 26)
Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (4: 27)
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (4: 28)
Bila ayat-ayat sebelumnya mendorong manusia untuk menikah dan menjelaskan hukum dan syarat-syaratnya, maka tiga ayat ini mengingatkan manusia bahwa apa yang diperintahkan Allah itu demi keuntungan manusia sendiri. Perintah Allah itu ingin mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dan menjauhkannya dari perbuatan nista. Karena kebijakan dan kasih sayang-Nya, Allah senantiasa memberi petunjuk dan mengarahkan manusia. Oleh karenanya, Allah Swt menurunkan nabi dan kitab. Sayangnya sebagian manusia lebih memilih kesesatan dan berupaya menyesatkan orang lain.
Sebagian dari manusia berusaha memuaskan hawa nafsunya dan mengajak orang lain mengikuti tuntutan syahwatnya. Ayat ini menyatakan bahwa hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada manusia tidak sulit. Perintah yang diturunkan Allah bersumber dari ilmu dan kebijakan-Nya. Allah telah mempertimbangkan kebutuhan manusia dan masyarakat, lalu memudahkan keinginan manusia dengan menghalalkan dua bentuk pernikahan guna mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu dilakukan agar manusia tidak tercemari oleh perbuatan dosa dan masyarakat terpelihara dari kebejatan sosial.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hukum dan perintah-perintah agama merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia. Karena Dia memberi petunjuk manusia agar memilih jalan yang benar.
2. Hasrat seksual tidak berbeda dengan naluri lainnya merupakan perkara yang alami dan fitrawi. Namun kebebasan seksual menjalin hubungan di luar ikatan syariat menyebabkan hancurnya sendi keluarga dan masyarakat.
3. Islam adalah agama yang mudah. Prinsip agama memberikan perintah atau tanggung jawab sebatas kemampuan.
Ayat ke 29-30
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (4: 29)
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (4: 30)
Bila ayat sebelumnya melarang bentuk pemerkosaan dan pelecehan seksual, sekaligus perintah memelihara kesucian keluarga dan masyarakat, ayat ini melarang umat Islam bersikap arogan, mengambil harta atau membunuh orang lain. Dua ayat ini menegaskan agar umat Islam menghargai harta dan jiwa orang lain, sama seperti mereka menghormati jiwa dan hartanya sendiri dan janganlah mereka berlaku keji dan zalim.
Segala bentuk pemerkosaan terhadap harta orang lain adalah perbuatan tercela, kecuali berazaskan transaksi yang sah serta pemiliknya melakukan transaksi ini dengan kerelaan yang penuh. Melanggar harta orang lain adalah sinyalemen kezaliman jiwa pelakunya, dari itulah, perbuatan itu nanti mendatangkan hukuman dan siksaan yang berat, siksaan yang pada hari kiamat nanti berbentuk api yang panas dan membakar yang menelan si zalim.
Dari dua ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam menghormati kepemilikan pribadi dan kerelaan pemilik merupakan syarat bertransaksi.
2. Sistem ekonomi yang tidak benar hanya akan melahirkan kesenjangan sosial yang akan melahirkan pelbagai masalah sosial.
3. Islam menilai jiwa manusia sebagai mulia. Oleh karenanya bunuh diri atau membunuh orang lain haram hukumnya.
4. Allah Swt mengasihi manusia, tapi bersikap tegas terhadap para pelaku kezaliman. Karena hak masyarakat sangat penting di sisi Allah.
Ayat ke 31
Artinya:
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (4: 31)
Ayat ini menjelaskan bahwa dosa itu ada yang kecil dan besar. Tapi harus dicamkan bahwa dosa itu baik kecil atau besar tetap saja tercela di sisi Allah Swt. Pembagian dosa menjadi kecil dan besar kembali pada dampak dosa tersebut. Dalam riwayat telah disebutkan secara terperinci mana jenis dosa yang disebut kecil dan mana yang besar. Semakin luas lingkaran dosa itu, berarti akan semakin besar pula dampak merugikannya bagi orang yang melakukan juga keluarga dan masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, dosa yang dilakukan juga semakin tercela di sisi Allah.
Dari sisi lain, sebuah perbuatan dosa kecil yang dilakukan oleh orang biasa tidak akan terhitung kecil bila dilakukan oleh seorang yang tidak biasa, seperti pejabat, ulama dan lain-lain. Karena seorang pemuka masyarakat misalnya, hubungannya tidak terbatas dengan diri dan keluarganya saja, tapi lebih luas dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan sebagian orang memiliki hubungan dengan jutaan orang lain. Orang seperti ini, bila melakukan dosa yang terhitung kecil bagi orang biasa akan digolongkan dosa besar. Tapi Allah yang Maha Pengasih masih tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan mengatakan, "Bila kalian menjauhi dosa besar, maka Aku akan memaafkan kalian dan memasukkan kalian ke surga."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt mengampuni kesalahan kecil kita. Oleh karenanya, alangkah baik bila kita juga memaafkan kesalahan remeh orang lain dan tidak membesar-besarkannya.
2. Bila dasar pemikiran dan perbuatan seseorang itu bena, Allah pasti akan memaafkan dosa-dosa kecilnya, bahkan tanpa taubat sekalipun.