Ayat ke 3
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5: 3)
Ayat ini sebenarnya menjelaskan dua hal yang berbeda tapi dikumpulkan dalam satu ayat. Bagian pertama ayat ini merupakan kelanjutan ayat pertama surat ini, yang menyebutkan makanan-makanan haram, dan menerangkan sepuluh hal dari daging-daging yang telah diharamkan. Sebagian dari masalah ini menyangkut binatang-binatang, yang secara alami tertimpa suatu kejadian yang tidak disangka-sangka dan mendadak, sehingga mati terbunuh. Padahal ia termasuk binatang yang dagingnya halal, dan karena mereka tidak disembelih secara syar'i, maka dagingnya menjadi haram. Sebagian yang lainnya juga demikian, yaitu binatang-binatang yang dagingnya halal juga sudah disembelih, tetapi mereka disembelih tidak dijalan Allah artinya disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, maka dagingnya haram.
Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah Swt, semata-mata bukan berdasarkan manfaat atau bahaya yang terkandung di dalam sesuatu itu terhadap tubuh manusia. Karena secara lahiriah daging binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah tidak ada bedanya dengan daging binatang yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Tetapi diyakini penyebutan nama Allah akan memberikan pengaruh psikologi kepada manusia itu, dimana Allah Swt juga melarang memakan daging binatang semacam ini, yang mati dengan sendirinya atau disembelih tetapi tanpa menyebut nama Allah.
Sekalipun dalam ayat-ayat al-Quran yang lainnya telah disinggung juga bahwa dalam kondisi dimana manusia berada dalam keadaan darurat dan terpaksa, karena kelaparan, maka seseorang dibolehkan memakan daging atau bahan-bahan makanan yang diharamkan. Namun kita diperintahkan hanya secukupnya saja yakni supaya dapat bertahan hidup. Dengan demikian, Islam telah memberikan jalan keluar kepada manusia bahwa kondisi darurat dan keadaan terjepit tidak boleh membuat manusia mendapat alasan untuk melakukan perbuatan dosa.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa ayat tersebut memiliki dua bagian. Yang pertama telah dijelaskan, sedang yang kedua ayat ini sepenuhnya tidak ada hubungannya dengan bagian ayat pertama tersebut. Yaitu, mengenai pengenalan sebuah hari besar, yang merupakan nasib baik dalam sejarah kaum Muslimin, yang menurut ungkapan al-Quran bahwa orang-orang Kafir tidak berhasil menguasai kaum Muslimin. Pada suatu hari agama Islam akan disempurnakan dan Allah Swt juga akan menuntaskan nikmat-nikmat-Nya kepada kaum Mukminin. Hari tersebut yang bagaimana? Hari yang mana dalam sejarah Islam ataupun dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw yang begitu istimewanya, yang hanya terkait dengan peribadi seseorang!? Apakah ia adalah hari pengangkatan Nabi yang memiliki kepentingan dan keistimewaan terhadap semuanya, dan merupakan hari penyempurnaan agama? Atau hari hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah yang juga memiliki keistimewaan seperti itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita harus mengerti bahwa ayat tersebut kapan diturunkan, sehingga menjadi jelas berkenaan dengan hari apa? Menurut keyakinan para mufassir, ayat-ayat tersebut diturunkan di akhir usia Nabi dan pada perjalanan haji Nabi Muhammad Saw tahun ke 10 Hijriah, yang terkenal dengan haji Wada (haji perpisahan). Karena ternyata merupakan perjalanan haji Nabi yang terakhir. Sebagian ayat itu menyebutkan hari Arafah tanggal 9 Dzulhijah, dan sebagian yang lain diturunkan pada hari sesudahnya, yakni tanggal 18 Dzulhijah di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir, Nabi Saw di tempat ini berkhutbah secara terperinci kepada para jamaah haji dengan menjelaskan berbagai poin yang sangat penting. Masalah paling penting yang dibicarakan beliau adalah posisi pengganti atau khalifah setelah beliau. Rasulullah dalam hal ini, melalui pernyataannya mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as tinggi-tinggi dan bersabda, "Ayyuhal Mu'minun! Man Kuntu Maulahu fahaadza Aliyyun Maulahu." Artinya, "Wahai orang-orang Mukmin! Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga sebagai pemimpinnya."
Setelah terealisasinya perkara penting tersebut, maka turunlah ayat ini yang merupakan bagian dari ayat ke 3 dari surat al-Maidah, dimana orang-orang Kafir hingga saat itu berharap dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw yang tidak memiliki anak laki-laki, sehingga dapat menggantikan kedudukan beliau. Begitu juga belum ditentukannya seseorang sebagai khalifah beliau, maka mereka akan dapat mengalahkan kaum Muslimin dan pada gilirannya dapat melenyapkan Islam dari akarnya. Tetapi dengan diturunkannya ayat ini, semua angan-angan mereka hancur lebur.
Dari sisi lain, agama merupakan seperangkat undang-undang dan hukum-hukum Ilahi, tapi agama tetap kurang tanpa memiliki pemimpin yang adil. Sehingga dengan ditentukannya khalifah atau pemimpin setelah beliau Saw, maka agama akan menjadi sempurna. Allah Swt telah menjadikan nikmat hidayah kepada manusia yaitu dengan diutusnya Nabi yang membawa al-Quran. Kemudian dengan perintah-Nya telah menetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah, maka sempurnalah agama ini yang menjadi keridhaan Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Perwujudan pemimpin agama yang adil merupakan sesuatu yang penting, dimana agama tanpa yang demikian itu tidak sempurna. Karena tanpa adanya kepemimpinan, semua nikmat dan kekuasaan akan rusak berantakan sehingga tidak sempurna.
2. Kekokohan dan kesinambungan ajaran Islam dengan menerima kepemimpinan yang benar. Yakni, Imamah dan Wilayah terhadap 12 Imam setelah Nabi Muhammad, dimana Imam yang terakhir adalah Mahdi af yang saat ini hidup dalam keadaan gaib.