Ayat ke 4
Artinya:
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (5: 4)
Pada ayat-ayat sebelumnya telah diterangkan mengenai makanan-makanan yang haram. Ayat ini juga menyatakan, daging setiap binatang yang telah dijelaskan sebelumnya adalah halal, baik daging tersebut kalian ambil sendiri maupun melalui penyembelihan dan bahkan melalui pemburuan yang dilakukan oleh Anjing pemburu, dan dengan gigitannya diberikan kepada kalian.
Sangat menarik sekali bahwa dalam ayat ini Allah Swt menyinggung kedudukan latihan yang dilakukan terhadap hewan, di antaranya adalah anjing pemburu. Ayat ini menyebutkan, pemburuan semacam ini, yang kalian ajarkan kepada binatang-binatang, sesungguhnya Allah Swt telah mengajarkan kepada kalian, dan bukan kalian sendiri yang mengerti pekerjaan semacam ini. Lalu Allah menjadikan seekor anjing liar, dapat menjadi jinak dan dibawah perintah kalian, sehingga apa saja yang kalian surukan dapat ia laksanakan untuk kalian.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ada aturan umum bahwa memakan daging secara alami dan bersih itu hukumnya halal. Karena pengharaman daging tersebut telah dijelaskan dengan gamblang.
2. Saat memakan daging harus dilandasi ketakwaan agar terjauhkan dari hal-hal yang haram. Karena Allah sangat cepat perhitungan-Nya terhadap siapa saja yang makan barang haram.
Ayat ke 5
Artinya:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (5: 5)
Ayat ini telah menyinggung dua hal yang berhubungan Ahlul Kitab; pertama mengenai makan makanan mereka dan kedua menikahi perempuan mereka. Untuk masalah pertama, dengan mencermati hukum dan kondisi yang dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya, umat Islam tidak diperbolehkan memakan makanan Ahli Kitab yang berasal dari daging. Sementara selain daging, umat Islam diperbolehkan memakannya.
Adapun mengenai nikah dengan perempuan Ahli Kitab, umat Islam diperbolehkan melakukannya, tapi kita tidak diperbolehkan menikahkan perempuan muslim dengan mereka. Hal ini dikarenakan biasanya istri mengikuti keyakinan suaminya. Betapa banyak kita saksikan perempuan Ahli Kitab yang menjadi istri seorang muslim akhirnya memeluk agama Islam. Hal itu dipilihnya lewat kehidupan suaminya yang mengamalkan ajara Islam. Lewat suaminya mereka mengenal Islam dan beriman pada agama universal ini.
Ayat ini juga memberikan dorongan kepada umat Islam untuk menikah, ketimbang melakukan hal yang haram dengan seorang perempuan Ahli Kitab. Artinya, bila seorang muslim mencintai perempuan Ahli Kitab, maka hendaknya ia menikahinya, ketimbang melakukan hubungan secara sembunyi-sembunyi. Bukankah dengan ayat ini berarti Allah memberikan jalan pilihan yang lebih baik? Bukannya ketika kalian telah memperoleh seorang perempuan Ahli Kitab sebagai istri, kemudian kalian melepaskan keimanan dan menjadi kafir mengikuti keyakinannya!
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Setiap agama menyebut kesucian jiwa perempuan sebagai suatu nilai. Tapi kebersihan jiwa yang dituntut dalam Islam adalah menjauhkan perbuatan yang tidak diinginkan oleh Allah.
2. Menurut pandangan al-Quran tolok ukur dalam memilih isteri kembali pada dua hal; iman dan kesucian.
Ayat ke 6
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (5: 6)
Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan makanan yang halal dan haram, ayat ini menjelaskan tentang bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada kalian. Ayat ini mengatakan, hendaknya kalian bersyukur kepada Allah Swt atas semua nikmat yang diberikan kepada kalian semua, bahkan kebutuhan naluri dan biologis juga diberikan kepada kalian. Bersyukur dan lakukanlah shalat. Adapun syarat untuk bisa masuk pintu gerbang Ilahi ini ialah kesucian jiwa dan raga, lahir dan batin. Oleh karenanya, sebelum melakukan shalat berwudhulah, dengan membasuh muka dan tangan, kemudian usaplah kepala dan kaki. Bersihkanlah badan kalian dari kotoran-kotoran. Apabila janabah atau hadas besar, maka bersihkanlah dengan melakukan mandi.
Dalam lanjutan ayat ini juga disebutkan, sekalipun kewajiban kalian secara syar'i dengan berwudhu' atau bermandi, namun Allah Swt tidak memberikan jalan buntu kepada kalian semua. Apabila dengan alasan seperti sakit atau bepergian dan kalian sangat memerlukan air atau untuk mendapatkan air sangat sulit sekali, maka sebagai ganti air bertayammumlah kalian dengan menggunakan debu atau tanah yang bersih. Setelah itu lakukan shalat dengan khusyu. Ketahuilah bahwa kalian berasal dari tanah dan akan kembali pula kedalam tanah.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekotoran tubuh dan jiwa menjadi penghalang mendekatkan diri kepada Allah Swt, sedang kesucian dan thaharah merupakan syarat dalam penghambaan kepada Allah.
2. Dalam Agama Islam tidak terdapat jalan buntu atau sempit yang menyusahkan. Hukum Agama tidak kaku dan meringankan.
3. Hukum syariat senantiasa relevan. Wudhu dan mandi dengan air, sementara tayammum dengan tanah dalam kondisi tidak menemukan air.