Budaya Iran bercampur dengan budaya Islam setelah bangsa ini memeluk agama Islam. Dengan begitu, mereka memandang dirinya sebagai kaum Muslim dan sekaligus sebagai bangsa Iran dan tidak ada pertentangan di antara keduanya.Seiring perjalanan waktu, adat istiadat bangsa Iran mulai melekat warna dan nuansa Islami. Kebangkitan Karbala merupakan sebuah peristiwa yang telah menyatu dengan kehidupan bangsa Iran dan sudah menjadi sebuah epik nasional yang agung. Kebangkitan Imam Husein as merupakan sebuah revolusi yang sepenuhnya rasional dan gerakannya memiliki tujuan yang jelas.
Semangat jihad yang dikobarkan Imam Husein as adalah bukan sebuah aksi bunuh diri yang tanpa logika, tapi ia ingin membuka topeng dan kebobrokan rezim Bani Umayyah. Cucu Rasulullah Saw ini bergerak penuh kesadaran dan siap menjemput mati syahid. Dengan semangat jihad dan gerakannya itu, Imam Husein as telah mempercepat lenyapnya legitimasi rezim Umayyah.
Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari revolusi Asyuraadalah memahami momen yang tepat untuk berkorban sehingga ia bernilai dan dikenang sepanjang masa. Ketika kezaliman telah menemukan dimensi sosialdan seseorang menghadapi sebuah ketidakadilan struktural, yakni kezaliman sudah menjelma menjadi sebuah sunnah dan mulai mewabah di tengah masyarakat, maka ketika itu kebangkitan wajib dilakukan. Kebangkitan ini memiliki unsur rasionalitas dan juga unsur cinta. Di dalamnya ada kebijakan, ada semangat syahadah, dan juga ada cinta.
Jalaluddin Muhammad Maulawi – seorang penyair legendaris Iran – menunjukkan ketertarikan khusus terhadap pribadi Imam Husein as dan kebangkitannya dan ia menghidupkan revolusi Asyura melalui karya-karyanya. Maulawi secara khusus berbicara tentang peristiwa Karbala di dua tempat. Pertama dalam buku syairnya dengan judul Matsnawi Ma'nawi dan kedua dalam bukunya Diwan-e Shams. Perspektif Maulawi tentang peristiwa Asyura adalah pandangan yang sarat muatan cinta.
Maulawi dalam buku Matsnawi menukil sebuah kisah sebagai berikut, “Pada hari Asyura, seorang musafir tiba di Aleppo, Suriah dan ia menyaksikan sekelompok warga di kota itu sedang menggelar acara duka Karbala. Dia lalu bertanya, ‘Apakah acara berkabung ini dan kepada siapa ditujukan?’ Penduduk setempat menjawab, ‘Memang engkau tidak tahu? Acara duka ini untuk satu jiwa yang lebih utama dari seluruh generasi.”
Penduduk setempat kemudian mengisahkan peristiwa Asyura kepada tamu asing tersebut. ‘Apakah peristiwa itu terjadi hari ini atau kemarin?’ tanya musafir penuh heran. Warga menjawab, ‘Tidak, tapi ia terjadi tujuh abad silam.’Sang musafir kemudian menimpali, ‘Oh, tentu saja beritanya baru saja sampai ke telinga kalian. Jika demikian,lebih baik kalian menangis atas ketidaktahuan dan kelalaian kalian. Acara duka ini patut ada setelah selama ini terlelap dalam tidur.”
Maulawi melalui kisah tersebut ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan tujuan-tujuan asli kebangkitan Imam Husein as dan memperingatkan mereka agar jangan sampai lalai terhadap tujuan-tujuan gerakan agung itu. Maulawi kemudian memberikan analisanya tentang revolusi Asyura dan mengatakan,“Jika kitaasumsikanperistiwa Karbala terjadi kemarin dan terjadi di sekitar tempat kita, lalu apakah reaksi yang mungkin ditunjukkan atas peristiwa itu hanya sebatas penyesalan, helaan nafas panjang, tangisan, dan ratapan? Apakah tidak bisa menunjukkan reaksi yang sepantas dengan tragedi itu?”
Menurut keyakinan Maulawi, peristiwa Asyura dapat ditelisik dari berbagai dimensi. Dia percaya bahwa menjelaskan kekerasan dan kekejaman sekelompok orang zalim, di mana kekejaman mereka telah mengundang jeritan dari setiap insan mulia dan merdeka, merupakan satu dimensi dari peristiwa Asyura yang memiliki dimensi-dimensi yang sangat luas.Dalam buku keenam Matsnawi, Maulawi dengan penuh penghormatan menyebut Imam Husein as sebagai ruh agung dan raja agama.
Maulawi kemudian bertutur lirih:
Jiwa seorang raja melarikan diri dari penjara
Mengapa kita harus merobek pakaian-pakaian kita dan bagaimana kita harus mengunyah tangan-tangan kita?
Karena mereka (Husein dan keluarganya) adalah raja-raja agama (hakiki)
Inilah saat kebahagiaan bagi mereka ketika mereka memutuskan ikatan-ikatan mereka
Mereka melaju menuju paviliun kerajaan
Mereka membuang belenggu dan rantai mereka.
(Matsnawi, buku keenam, bait 797-799)
Maulawi menyebut ruh agung Imam Husein as yang lari dari penjara dan tetap hidup. Dia menganggap kecintaan kepada Imam Husein as sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw. Ia juga menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai wujud telinga dan Imam Husein as adalah mutiara. Maulawi berkata, “Tidakkah kalian tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?”
Dalam perspektif Maulawi, dimensi lain hari Asyura adalah tragedi pembantaian Imam Husein as dan ini adalah aspek duka cita kebangkitan Karbala. Dari sisi lain, jiwa yang agung itu telah terbebas dari penjara. Menurutkeyakinan Maulawi, kebangkitan Karbala telah merobohkan penjara dan membuat jiwa agung sang raja terbebas dari kurungan. Maulawi memandang peristiwa Asyura dari puncak kecintaan kepada Imam Husein as dan juga dari puncak kebencian terhadap Yazid. Ketika sudah sampai pada episode duka,penyair besar ini memprotes kekejaman yang dilakukan oleh para durjana dan ia – berdasarkan pengalaman dan motivasi sufistiknya – juga berusaha mengarahkan pandangannya kepada aspek keindahan kesyahidan Imam Husein as dan para sahabatnya.
Pelajaran terpenting yang bisa ditemukan di seluruh buku Matsnawi Maulawi adalah pelajaran memandang dunia dari aspek estetika. Manusia kadang terjebak dalam duka dan kesedihan karena sebuah tragedi besar sehingga membuat mereka melupakan dimensi-dimensi lain peristiwa itu. Maulawi adalah seorang pecinta dan ia tidak hanya mengerti cinta, tapi juga telah menyelaminya dan seluruh ajarannya mengajarkan cinta. Dia sudah cukup makan asam garam tentang bagaimana menjalani hidup penuh cinta, bagaimana memandang dunia ini dengan cinta, bagaimana menganalisa semua peristiwa dengan sentuhan cinta, dan bagaimana cinta dapat membantu akal sehingga bisa menyempurnakan kekurangan-kekurangannya.
Ketika memandang peristiwa Karbala, Maulawi juga melihatnya sebagai sebuah kisah cinta dan pengorbanan. Dia menyaksikan tangan-tangan para durjana dalam peristiwa itu dan dengan tegas menunjukkan kebenciannya. Namun, hal yang tampak lebih dominan dari itu adalah kehadiran pencinta sejati dan seorang ksatria Imam Husein as. Maulawi memandang Imam Husein as sebagai sosok yang penuh cinta dan kasih sayang.Maulawi menemukan aspek lain dari sebuah peristiwa yang sarat dengan kekejian dan kekejaman dan itu adalah aspek pengorbanan, kecintaan, dan penyerahan secara tulus. Dalam pandangan Maulawi, pengorbanan adalah peristiwa alam kemanusiaan terindah dan jika sifat ini semakin besar dan luas, maka ia akan semakin indah dan mendalam.
Dalam kaca mata Maulawi, tanda utama seorang pecinta adalah siap berkorban dan mempersembahkan segala hal. Sebuah pengorbanan dan persembahan yang diaktualisasikan dalam tindakan dan bukan ucapan. Pengorbanan itu harus dimulai dari harta benda dan kesenangan sampai pengorbanan harga diri dan jiwa. Imam Husein as dengan kebangkitan Karbala tidak hanya mengorbankan jiwanya, tapi juga mempersembahkan semua yang ia miliki.
Dalam menghadapi kematian, Maulawi mengambil sebuah pelajaran dari Imam Husein as bahwa seseorang harus menyambutnya dengan penuh keberanian dan cinta. Mutiara kebangkitan Imam Husein as adalah mempersembahkan jiwa dengan penuh cinta, di mana ia dikenang sepanjang masa dalam bentuk nilai-nilai moral yang paling luhur dan perilaku kemanusiaan yang paling indah. Kebangkitan Imam Husein as merupakan sebuah gerakan rasional dan visioner dalam melawan ketidakadilan struktural. Sebuah ketidakadilan yang telah mengakar kuat dan Imam Husein as menghentikan itu dengan kebangkitannya.