Di negara Mesir tinggal seorang bernama Abdul Malik. Karena anaknya diberi nama Abdullah, ia dipanggil dengan nama Abu Abdillah. Abdul Malik adalah seorang atheis. Ia memiliki keyakinan dunia tercipta dengan sendirinya.
Suatu hari ia mendengar bahwa ada Imam Syiah bernama Shadiq yang tinggal di Madinah. Seorang yang dikenal dengan kepandaiannya. Ia ingin sekali berdialog tentang masalah Tuhan dan akidah. Oleh karenanya ia pergi ke Madinah.
Ketika sampai di kota Madinah, ia langsung bertanya tentang Imam Shadiq as. Orang-orang memberitahunya bahwa Imam Shadiq as tengah berada di Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Ia tidak ingin tinggal lebih lama dan segera menuju Mekah. Ia tiba dan menuju dekat Ka'bah. Dari sana ia melihat Imam Shadiq as yang tengah melakukan tawaf. Ia kemudian ikut ke dalam barisan orang-orang yang tengah melakukan tawaf. Dengan penuh kebencian ia menyenggol Imam Shadiq as.
Dengan lembut Imam Shadiq as bertanya kepadanya, "Siapa namamu?"
Ia menjawab, "Abdul Malik. Hamba setan."
"Bagaimana engkau sering dipanggil," tanya Imam.
"Abu Abdillah," jawabnya.
Imam Shadiq as berkata, "Engkau adalah hamba Allah, sebagaimana dapat dipahami dari namamu. Zat yang memilikimu ini adalah penguasa langit atau bumi? Karena tiba-tiba saja, sesuai dengan panggilanmu, engkau adalah ayah dari hamba Allah. Katakanlah! Saya ingin tahu. Apakah anakmu hamba Allah di langit atau hamba Allah di bumi? Setiap jawaban yang akan engkau berikan, maka engkau dengan sendirinya telah mengakui pencipta."
Abdul Malik tidak berkata apa-apa.
Di situ ada Hisyam bin Hakam, murid Imam Shadiq as. Kepada Abdul Malik ia berkata, "Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaan Imam?"
Abdul Malik benci dengan ucapan Hisyam dan wajahnya menekuk.
Dengan lembut Imam Shadiq as berkata kepada Abdul Malik, "Bersabarlah hingga tawaf saya selesai! Setelah tawaf, datanglah kepada saya dan kita akan berbicang-bincang.
Ketika Imam Shadiq as selesai melakukan tawaf, Abdul Malik mendatanginya dan duduk di hadapannya. Sekelompok murid Imam juga datang dan hadir di sana. Tiba-tiba keduanya telah terlibat dialog sebagai berikut:
Imam Shadiq, "Apakah engkau menerima bahwa bumi memiliki bentuk lahiriah dan batin?
Abdul Malik, "Iya."
Imam Shadiq, "Apakah engkau telah pergi ke dalam bumi?"
Abdul Malik, "Tidak. Belum pernah."
Imam Shadiq as, "Berarti engkau tahu apa yang ada di dalam tanah."
Abdul Malik, "Saya tidak tahu tentang apa yang ada di dalam tanah. Tapi menurut saya tidak ada sesuatu di dalam tanah."
Imam Shadiq as, "Ragu merupakan satu bentuk dari kebingunan. Artinya, engkau tidak punya keyakinan terhadap sesuatu."
Tiba-tiba Imam Shadiq as bertanya kepadanya, "Apakah engkau pernah pergi ke langit?"
Abdul Malik menjawab, "Tidak. Belum pernah."
Imam Shadiq as, "Aneh sekali! Engkau orang yang belum pernah pergi ke Timur dan Barat, tidak juga ke dalam bumi, bahkan tidak pernah pergi ke atas langit untuk mengetahui ada apa di sana, tapi dengan kebodohan dan ketidaktahuan engkau mengingkari Allah? Apakah ada seorang yang berakal mengingkari sesuatu yang tidak diketahuinya?"
Abdul Malik, "Hingga saat ini belum ada orang yang berbicara kepada saya seperti ini."
Imam Shadiq as, "Dengan demikian, engkau ragu akan hal ini. Ada kemungkinan di atas langit atau di dalam bumi ada sesuatu atau tidak."
Abdul Malik, "Benar. Kedua hal itu mungkin terjadi."
Imam Shadiq as, "Orang yang tidak tahu tidak akan pernah mampu mengajukan dalil kepada orang yang tahu."
"Wahai saudara Mansur! Dengarkan aku dan belajarlah padaku! Kami tidak pernah ragu akan keberadaan Allah. Bukankah engkau tidak pernah melihat matahari, bulan, malam dan siang yang muncul di ufuk yang harus berjalan di jalurnya dengan tertib lalu kembali lagi. Mereka harus melakukan rotasinya setiap hari di jalurnya. Sekarang saya ingin bertanya kepadamu, "Bila matahari dan bulan memiliki ikhtiar, mengapa mereka bergerak kembali? Bila mereka tidak terpaksa bergerak di jalur yang telah ditentukan, mengapa malam tidak berubah menjadi siang atau sebaliknya?
Wahai Saudara Mansur! Demi Allah. Mereka terpaksa melakukan gerak di jalur yang telah ditentukan. Zat yang menentukan semua ini lebih perkasa dan kuasa."
Abdul Malik berkata, "Benar apa yang engkau ucapkan."
Imam Shadiq as berkata, "Wahai saudara Mansur! Katakanlah! Aku ingin tahu tentang apa yang kalian yakini tentang waktu yang mengatur segalanya. Waktu membawa manusia. Lalu mengapa waktu tidak mengembalikan mereka? Bila waktu membawa kembali mereka, lalu mengapa tidak membawanya?"
"Wahai saudara Mansur! Semua terpaksa dan tidak punya pilihan lain. Mengapa langit berada di atas dan bumi di bawah? Mengapa langit tidak jatuh menimpa bumi? Mengapa bumi tidak menempel ke langit dan apa saja yang berada di atasnya menempel di langit?"
Ketika ucapan dan argumentasi Imam Shadiq as sampai di sini, Abdul Malik menghempaskan keraguanya dan sampai ke satu keyakinan. Ia mengimani apa yang disampaikan Imam Shadiq as dan menyatakan keislamannya. Ia langsung meyakini Allah yang Maha Esa dan kebenaran Islam. Secara transparan ia menyatakan, "Allah adalah pencipta langit dan bumi dan menjaga keduanya!"
Hamran, seorang murid Imam Shadiq as yang hadir di situ melihat ke wajah Imam dan berkata, "Saya sebagai tebusanmu! Bila mereka yang mengingkari Allah beriman di tanganmu dan memeluk Islam, maka orang-orang Kafir beriman di tangah ayahmu (Rasulullah Saw)."
Abdul Malik yang baru saja memeluk Islam berkata kepada Imam Shadiq as, "Sudilah Anda menerima saya sebagai murid."
Imam Shadiq as berkata kepada Hisyam bin Hakam, salah satu murid terbaiknya, "Ajaklah Abdul Malik bersamamu dan ajarkan ia hukum-hukum Islam."
Hisyam adalah seorang guru akidah bagi masyarakat Syam dan Mesir. Ia membawa Abdul Malik bersamanya. Hisyam mengajarkannya akidah dan hukum Islam, sehingga ia memiliki sebuah akidah yang lurus, sesuai dengan yang diinginkan Imam Shadiq as.