Imam Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as lahir pada 1 Rajab 57 Hijriah (677 M). Beliau merupakan imam Mazhab Ahlulbait kelima. Masa imamah Imam Baqir as bertepatan dengan melemahnya kekuasaan Bani Umayah dan perebutan kekuasaan di antara mereka. Sepanjang periode itu, Imam Baqir as telah membuat gerakan pengembangan ilmu yang sangat luas, yang mencapai puncaknya pada masa imamah putranya, Imam Shadiq as.
Aspek keilmuan, kezuhudan, keagungan, dan keutamaan Imam Baqir as sangatlah menjulang. Darinya banyak riwayat yang dinukil dalam bidang ilmu agama seperti dalam fikih, tauhid, hadis dan sunah Nabi saw, ilmu Alquran, sejarah, akhlak, dan satra. Pada masa imamah beliau, ditempuh langkah-langkah penting guna merumuskan beragam pandangan Mazhab Ahlulbait dalam berbagai bidang pengetahuan, seperti akhlak, fikih, kalam, tafsir, dan sebagainya.
Pada masa instabilitas pemerintahan Umayah, Imam Baqir as menyingkapkan dimensi keilmuan secara luas. Beliau as menjadi rujukan seluruh pembesar dan ulama Bani Hasyim dalam bidang keilmuan, kezuhudan, keagungan, dan keutaman. Riwayat dan hadisnya mengenai ilmu agama, sunah nabawi, ulumul quran, sejarah, akhlak, dan sastra sedemikian rupa, sampai-sampai di masa itu, tidak lagi tersisa pada seorang pun keturunan Imam Hasan as dan Imam Husain as.
Imam Baqir as mengkhususkan sebagian waktunya untuk mengulas tafsir. Beliau mengadakan majelis tafsir dan menjawab persoalan serta subhat-subhat para ulama dan khalayak umum. Imam Baqir as menulis sebuah kitab tafsir Al-Quran yang disebutkan oleh Muhammad bin Ishaq Nadim dalam kitabnya, al-Fahrast. [Ibnu Nadim, al-Fahrast, hal. 59; Syarif al-Qursyi, Baqir, Hayat al-Imam al-Muhammad al-Baqir, jil. 1, hal. 174]
Imam Baqir as menyebutkan bahwa makrifat dan pengetahuuan Alquran hanya terbatas pada Ahlulbait as. Pasalnya, hanya Ahlulbait yang mampu membedakan ayat-ayat muhkamat, mutasyabihat, nasikh dan mansukh. Ilmu semacam ini tidak dimiliki seorang pun selain Ahlulbait. Oleh karena itu, Imam Baqir as berkata, “Tak satu pun semacam tafsir Alquran yang jauh dari akal masyarakat. Karena, pada satu ayat yang ujarannya bersambung, terdapat awal ayat yang berbicara satu masalah, sementara di akhir ayatnya membicarakan masalah lain. Dan ujaran bersambung ini bisa dikembalikan pada beberapa bentuk.” [Guruh-e Muallifan, Pishvayan-e Hidayat, hal. 320]
Secara khusus, Imam Baqir as mencurahkan perhatiannya pada hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Jabir bin Yazid Ja’fi meriwayatkan 70 ribu hadis Nabi Muhammad saw melalui Imam Baqir as. Demikian pula Aban bin Taghlib dan seluruh murid Imam Baqir as; mereka meriwayatkan sejumlah besar hadis agung Rasulullah saw ini dari Imam Baqir as.
Tidak cukup dengan menukil dan menyebarkan hadis semata, Imam Baqir as juga memerintahkan para sahabatnya untuk memberi perhatian serius dalam upaya memahami hadis dan menggali maknanya. Beliau berkata, “Kenalilah derajat para syiah kami dengan timbangan periwayatan mereka atas hadis-hadis Ahlulbait dan makrifat mereka atas hadis-hadis tersebut. Dan makrifat adalah pengetahuan atas riwayah dan diroyah hadis. Dengan diroyah dan pemahaman riwayah inilah seorang mukmin mencapai derajat iman paling tinggi.” [Syarif al-Qursyi, Baqir, Hayat al-Imam al-Muhammad al-Baqir, jil. 1, hal. 140-141]
Dengan adanya kesempatan dan berkurangnya tekanan serta kontrol penguasa, muncul kesempatan untuk mengekspresikan berbagai keyakinan dan aliran pemikiran. Kondisi ini memicu muncul dan tersebarnya pemikiran-pemikiran menyimpang di tengah masyarakat. Imam Baqir as pun turun ke gelanggang pemikiran guna memberi klarifikasi seputar akidah serta keyakinan murni dan benar, melawan akidah batil, seraya mematahkan berbagai subhat. Di antara klarifikasi beliau, berkenaan dengan masalah ketidakmampuan akal manusia dalam memahami hakikat Allah Swt, keazalian wajibul wujud (Tuhan), dan kewajiban taat terhadap imam maksum as.
Ibnu Hajar Haitsami menulis, “Abu Ja’far Muhammad Baqir as menyingkapkan khazanah ilmu yang terpendam, hakikat hukum, hikmah-hikmah dan kebijksanaan yang tidak tertutupi kecuali oleh unsur-unsur tanpa bashirat atau buruknya niat. Dengan demikian, beliau digelari ‘Baqirul Ulum’ atau pembuka dan penyingkap ilmu, penghimpun ilmu dan penegak panji ilmu. Beliau menghabiskan usianya dalam ketaatan kepada Allah Swt dan telah mencapai kedudukan kaum arif, di mana bahasa tak mampu melukiskan sifat-sifatnya. Beliau memiliki banyak klarifikasi dalam bidang suluk dan pengetahuan.” [Ibnu Hajar, al-Shawaiq al-Muhriqah, hal. 201]
Ulama besar di masa Imam Baqir as yang bernama Abdullah bin ‘Atha, berkata, “Aku tidak melihat ulama yang rendah di hadapan siapapun, kecuali ulama yang ada di hadapan Abu Ja’far (yaitu, Imam Baqir as).” [Sibth Ibnu al-Jauzi, Tadzkirah al-Khawash, hal. 337]
Dzahabi menulis tentang Imam Baqir as, “Beliau termasuk di antara orang yang terkumpul padanya ilmu, amal, kebesaran, kemuliaan, ketenangan, dan terpercaya. Dan beliau punya kelayakan atas kepemimpinan.” [Dzahabi, Siru A’lam al-Nubala’, jil. 4, hal. 402]