Ketegaran Sayidah Zainab

Rate this item
(0 votes)
Ketegaran Sayidah Zainab

 

Hari ini tepat tanggal 15 Rajab, kita memperingati wafatnya Sayidah Zainab al-Kubra binti Ali bin Abi Thalib as. Jejak sejarah Islam menorehkan catatan yang ditulis dengan tinta emas mengenai peran besar wanita agung ini dalam membela keadilan, kebenaran dan ajaran Allah dengan penuh cinta dan kesabaran.

Perkataan dan perilaku beliau telah menjadi hiasan bagi ayahnya. Dalam riwayat disebutkan bahwa martabat dan harga diri Sayidah Zainab as mirip dengan Sayidah Khadijah, kesucian dan kesederhanaan serta kesopanan beliau persis seperti Sayidah Fatimah, kefasihan dan retorika beliau dalam berpidato mirip dengan Imam Ali, kelembutan dan kesabaran beliau mirip Imam Hasan, sedangkan keberanian dan kekuatan hati beliau mirip dengan Imam Husein. Dapat dikatakan bahwa semua kebaikan Ahlul Bait seakan-akan ada dalam diri beliau.

Sejak kecil, Sayidah Zainab menghadapi beragam fitnah dan musibah. Meski demikian, beliau telah menyiapkan diri untuk menghadapi badai dahsyat yang dibuat oleh orang-orang zalim yang haus dengan kekuasaan. Di usia yang belum genap lima tahun, beliau telah kehilangan kakeknya, Rasulullah Saw, yang selalu memberikan kasih sayang. Wafatnya Rasulullah Saw adalah musibah pertama yang telah melukai jiwa lembut Sayidah Zainab. Musibah ini bagi beliau, terutama bagi ibunya, Sayidah Fatimah as, adalah ujian yang sangat berat.

Dari masa kanak-kanak, Sayidah Zainab telah menyaksikan penderitaan ibunya pasca wafatnya Rasulullah Saw, di mana kesedihan tersebut telah menyebabkan Sayidah Fatimah jatuh sakit, dan beberapa bulan kemudian Putri Rasulullah Saw itu meninggal dunia. Dengan demikian, Sayidah Zainab as menikmati kecintaan ibunya tidak lebih dari lima tahun.

Kenangan-kenangan pahit dan manis di masa singkat tersebut telah menjadikan beliau siap untuk terus bergerak dan berjuang di jalan Allah Swt dan menyambut segala bentuk musibah dan persoalan kehidupan. Suatu hari, Sayidah Fatimah menyampaikan pidato di masjid Rasulullah Saw untuk membela hak-hak Ahlul Bait as. Sayidah Zainab hadir dalam pidato ibunya tersebut dan beliau mencatat semua perkataan ibundanya sehingga beliau terhitung sebagai salah satu perawi khutbah terkenal Sayidah Fatimah.

Kesedihan Sayidah Fatimah pasca wafat ayahandanya, Rasulullah Saw, sangat berat di hati mungil Sayidah Zainab, namun semangat dan kemampuan beliau dengan cepat menempati hati Sayidah Fatimah dan bahkan memulihkan hati ayahnya yang dipenuhi dengan kesedihan.

Meski lebih muda dari kedua saudaranya, namun Sayidah Zainab as mewarisi sifat-sifat ibundanya. Ikatan emosional antara beliau dengan Imam Hasan dan Husein as sulit untuk digambarkan. Hubungan emosional tersebut berlanjut hingga akhir usia beliau. Sedetikpun Sayidah Zainab as tidak dapat menjauh dari kedua saudaranya, beliau selalu memberikan cinta dan kasih sayang kepada kedua saudara itu seperti seperti halnya yang dilakukan ibunya.

Setelah wafatnya Sayidah Fatimah, Sayidah Zainab menyaksikan sikap diam ayahnya selama 25 tahun. Imam Ali as di masa itu terpaksa diam ketika hak-haknya dirampas demi kepentingan dan maslahat kaum Muslimin. Sayidah Zainab juga melewati masa kekhalifahan ayahnya selama kurang lebih lima tahun hingga pada akhirnya Imam Ali pada malam 19 Ramadhan 40 H meneguk cawan kesyahidan di mihrab masjid Kufah.

Pasca wafatnya Rasulullah Saw dan Sayidah Fatimah, hati Sayidah Zainab bergantung pada Imam Ali. Kasih sayang ayahnya itu telah menjadi pelipur lara dalam kesedihan, namun setelah Imam Ali as tiada, maka tidak lagi seorang ayah yang menjadi tumpuannya, sehingga perpisahan dengan ayahnya itu sangat sulit bagi beliau.

Meski demikian, beliau tetap tegar dan sabar dalam menghadapi segala musibah. Beliau adalah teladan kesabaran dan ketegaran yang tidak akan runtuh hanya karena berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Beliau datang untuk membuat sebuah epik dan membuktikan hakikat dan kebenaran Ahlul Bait as. Beliau datang untuk memberikan pelajaran keteguhan dan ketegaran hingga mencapai kemuliaan dalam menghadapi semua fitnah dan musibah.

Setelah Imam Ali wafat, Sayidah Zainab menyaksikan kezaliman terhadap saudaranya, Imam Hasan. Penindasan yang dialami Imam Hasan as sama seperti kezaliman yang menimpa ayahnya. Sayidah Zainab menyaksikan pembelotan masyarakat dan konspirasi musuh serta propaganda luas Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap saudaranya. Dalam kondisi tersebut, beliau selalu menyertai Imam Hasan as dan pada akhirnya menyaksikan kesyahidan saudaranya itu.

Sayidah Zainab tetap bersabar dalam menghadapi musibah besar tersebut. Pasca wafatnya Imam Hasan as, beliau menyertai saudaranya, Imam Husein as, pergi ke Karbala pada tahun 60 H. Peristiwa Karbala adalah puncak dari musibah yang dihadapi oleh Sayidah Zainab. Tidak lama setelah 18 orang dari keluarganya, termasuk anak-anak dan saudaranya, gugur syahid, beliau menyaksikan kesyahidan Imam Husein as, yaitu sebuah musibah yang langit dan bumi pun tidak mampu menahannya. Dalam kondisi tersebut dan bahkan ketika beliau dan keluarganya ditawan oleh musuh, Sayidah Zainab as tetap bersabar, dan meyakini bahwa beliau harus melaksanakan kewajiban agama, politik, dan sosial terbesar.

Setelah kesyahidan Imam Husein as di padang Karbala, Sayidah Zainab memikul sejumlah tugas penting: pertama, merawat dan melindungi Imam Sajjad, putra Imam Husein, dari serangan musuh. Kedua, melindungi para wanita dan anak-anak yang ditawan musuh. Ketiga, menyampaikan berita kesyahidan Imam Husein dan sahabat-sahabatnya, serta mengungkap skandal dan kezaliman Yazid di hadapan masyarakat.

Yazid dan pengikutnya menyebarkan propaganda luas supaya langkah Imam Husein dianggap sebagai gerakan anti-agama dan bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Yazid menyebarkan fitnah bahwa Imam Husein sedang mengejar kekuasaan dan materi dalam revolusinya sehingga ia dengan mudah menumpas para penentangnya. Namun Sayidah Zainab telah menjadi penghalang propaganda itu, dan bahkan juga mengungkap kejahatan dan kebusukan Yazid dan pengikutnya.

Dalam pidatonya yang berapi-api, Sayidah Zainab telah mengguncang pemikiran keliru masyarakat di masa itu. Warga Kufah yang hampir 20 tahun tidak mendengar pidato Imam Ali, mereka terhentak dengan suara Zainab yang nadanya seperti perkataan Ali. Perkataan Sayidah Zainab yang begitu fasih dan keberanian beliau telah membuat takjub Ibnu Katsir, seorang ahli balaghah. Ia mengatakan, "Seakan-akan Zainab berbicara dengan bahasa Ali."

Selain kefasihan dalam berbicara, Sayidah Zainab juga menjaga kesuciannya sebagai seorang Muslimah. Salah satu perawi yang meriwayatkan pidato beliau mengatakan, "Aku bersumpah demi Allah, aku tidak melihat seorang perempuan pun yang lebih fasih dan lebih berilmu dari perempuan yang menjaga kesuciannya ini."

Dalam waktu yang singkat, Sayidah Zainab mampu menyampaikan suara kebenaran dan anti-penindasan kepada masyarakat. Beliau juga menyampaikan ketertindasan Imam Husein yang menuntut keadilan. Selain itu, tindakan beliau juga telah melindungi agama dari penyimpangan.

Dalam waktu singkat, kezaliman Yazid terungkap. Meski telah membantai Imam Husein as dan keluarganya serta menawan para wanita dan anak-anak Ahlul Bait, Yazid tidak mampu mencapai tujuannya, bahkan sebaliknya kejahatannya terungkap. Setelah kejahatannya terungkap, Yazid berusaha melemparkan kesalahannya kepada Ubaidillah bin Ziyad, penguasa Kufah, dan berlepas tangan dari dosa-dosanya. Namun Ahlul Bait Rasulullah Saw telah mengungkap semua kebusukan Yazid dan antek-anteknya.

Read 913 times