Di bulan Sya’ban, kota Madinah kembali bersuka cita atas kelahiran seorang manusia suci dari Ahlul Bait Nabi as. Rumah sederhana Imam Husein as memancarkan cahaya karena kelahiran seorang anak yang tampak jelas aura kewibawaan di wajahnya.
Ali Zainal Abidin as dilahirkan di Madinah pada 5 Sya’ban tahun 38 Hijriah dari seorang ayah yang mulia, Imam Husein as dan seorang ibu yang salehah, Shahrbanu. Karena memiliki orang tua seperti ini, Ali bin Husein as dipanggil dengan sebutan Ibn al-Khairatain (putra dari dua kebaikan).
Ali bin Husein as memiliki beberapa gelar dan yang paling populer adalah as-Sajjad. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Ali bin Husein tidak mengingat sebuah nikmat Allah kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat al-Quran yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari keburukan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan shalat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terlihat pada seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar al-Sajjad.”
Ali bin Husein kehilangan ibunya hanya beberapa hari dari kelahirannya dan ia kemudian diasuh oleh sang ayah. Ia sempat merasakan era kepemimpinan (imamah) kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib as selama dua tahun. Karena rasa cintanya yang besar kepada pamannya, Imam Hasan as, ia sering mendatangi beliau untuk mempelajari nilai-nilai moral dan spiritual.
Periode imamah ayahnya, Imam Husein as dimulai ketika ia berusia 12 tahun. Ia selalu mendapatkan bimbingan dan pengajaran dari ayahnya dan ia mulai bertugas memimpin umat pada tahun 61 Hijriah. Jadi, setelah ayahnya gugur syahid di Karbala, Imam Sajjad as secara praktis memainkan peran penting dan menentukan. Ia hidup selama 34 tahun setelah peristiwa itu dan memikul tugas sebagai pemimpin umat Islam. Selama periode ini, Imam Sajjad as aktif memerangi kezaliman dan kebodohan dengan berbagai cara.
Imam Sajjad as adalah sosok yang paling mirip dengan kakeknya, Ali bin Abi Thalib, dan dalam perkara ibadah, ia juga sama seperti kakeknya, membaca takbir 70 kali setiap malam dan sangat tekun membaca al-Quran.
Imam Sajjad as selalu berbagi makanan dengan orang-orang fakir miskin dan anak yatim. Kantong kulit yang penuh air selalu berada di pundaknya dan air itu ia didistribusikan ke rumah-rumah anak yatim dan orang miskin. Ia mengatur kebutuhan air dan roti untuk hampir 300 keluarga yang tidak mampu. Para penerima bantuan ini bahkan tidak mengetahui siapa sosok penyedia makanan untuk mereka.
Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as melewati hari-harinya dengan berpuasa dan memakan roti yang keras ketika berbuka. Doa dan zikir-zikir yang ia panjatkan mengandung banyak pelajaran dan nilai-nilai akhlak, dan nilai-nilai ini ia ajarkan kepada masyarakat di sepanjang hidupnya.
Mengenai ketakwaannya, Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Ali bin Husein tidak pernah makan satu suap pun dari barang haram selama hidupnya dan tidak pernah melangkah satu langkah pun ke arah perkara haram, tidak pernah berkata selain kebenaran walaupun satu kata dan tidak pernah melakukan sebuah pekerjaan untuk selain Allah Swt.”
Salah satu tugas utama seorang imam adalah menyampaikan pesan Ilahi dan ajaran murni agama kepada masyarakat. Imam Sajjad as mengemban tanggung jawab yang sama seperti yang dipikul oleh kakeknya, Amirul Mukminin as. Pada dasarnya, misi dan tugas para imam adalah sama secara prinsip, tetapi kondisi, tuntutan zaman, dan kebutuhan masyarakat selalu berbeda di setiap masa.
Perbedaan kondisi dan tuntutan ini tentu saja menuntut perubahan metode dan cara dalam menunaikan misi imamah. Sebagai contoh, Imam Ali as fokus memerangi kezaliman dan penyimpangan serta memberi pencerahan kepada umat tentang posisinya sebagai khalifah yang sah. Beliau membimbing masyarakat ke arah sistem akidah, politik, dan moral berdasarkan ajaran Islam murni. Misi yang sama juga dipikul oleh Imam Hasan dan Imam Husein as.
Sejarah mencatat bahwa para imam maksum masing-masing mengadopsi cara tertentu dalam menunaikan risalah dan tanggung jawabnya. Namun, misi, pesan, dan tujuan mereka sama sekali tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Pada periode imamah Imam Sajjad as, situasi sudah tidak memungkinkan untuk memulai sebuah perlawanan baru terhadap Dinasti Bani Umayyah. Pukulan berat dirasakan masyarakat sejak hari pertama perampasan posisi khalifah, pecahnya perang Siffin, Jamal, dan Nahrawan serta periode kelam kekuasaan Mu’awiyah dan Yazid, dan juga peristiwa syahidnya Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala.
Pesimisme dan keputusasaan telah menghantui masyarakat akibat tekanan masif para penguasa Bani Umayyah. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad as tidak bisa terang-terangan – seperti yang dilakukan Imam Baqir dan Imam Shadiq – mengajari dan mendidik murid-muridnya, dan juga tidak memungkinkan untuk menyusun kekuatan terhadap penguasa zalim, seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib as.
Dua persoalan ini bisa membuat pemikiran Syiah di bidang budaya, sosial, dan politik terlupakan untuk waktu yang lama. Di sini, diperlukan sebuah gerakan ijtihadi untuk memperluas ufuk pemikiran kaum Muslim dalam kerangka ajaran Islam dan inilah yang dilakukan oleh Imam Sajjad as ketika itu. Ia menyadari bahwa masyarakat telah menyimpang dan mereka terpasung oleh kemewahan dunia, kerusakan politik, moral, dan sosial, serta kondisi represif yang tidak mungkin untuk memulai sebuah gerakan baru.
Oleh karena itu, Imam Sajjad memanfaatkan media doa untuk menjelaskan sebagian dari akidahnya dan kembali membangunkan masyarakat agar mereka perhatian pada masalah makrifat, ibadah, dan penghambaan. Dalam situasi seperti ini, Imam Sajjad fokus pada masalah ibadah dan salah satu pengaruh sosial terpenting adalah terciptanya hubungan masyarakat dengan Allah Swt lewat doa.
Hubungan kontinyu dengan Tuhan dan munajat kepada-Nya akan membuka ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Jelas bahwa dimensi spiritual ini muncul dari kebutuhan fitrah manusia kepada Allah Swt. Kegiatan ibadah ini akan mempengaruhi kehidupan manusia dan membawa manfaat bagi mereka. Orang-orang yang sujud dan ruku' di hadapan keagungan Tuhan, mereka akan memperoleh kemuliaan jiwa dan terhormat.
Di tengah situasi kritis ini, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad melakukan upaya luas untuk mentansfer makrifat agama kepada masyarakat melalui untaian doa. Ia menjelaskan banyak tujuan dan misinya dalam format doa dan munajat. Doa-doa Imam Sajjad kemudian dikumpulkan dalam kitab Sahifah Sajjadiyah, yang dianggap sebagai khazanah makrifat Ilahi setelah al-Quran dan Nahjul Balaghah.
Banyak dari ulama dan perawi hadis menimba ilmu dari Imam Sajjad as. Sebut saja, Ibn Shihab al-Zuhri, meskipun ia loyalis Bani Umayyah dan ulama besar Sunni, tapi ia termasuk salah seorang ulama yang berguru kepada Imam Sajjad dan ia memuji Imam dalam banyak ucapannya.
Sahifah Sajjadiyah.
Doa-doa Imam Sajjad as menjelaskan tentang berbagai peristiwa yang terjadi masa itu. Sahifah Sajjadiyah adalah simbol irfan yang bersumber dari pemikiran epistemologi Imam Sajjad, yang dikenal sebagai Zabur Al Muhammad Saw. Dengan mempelajari kitab ini, seseorang dapat mengenali keagungan ibadah yang dilakukan dengan penuh makrifat oleh sang imam.
Sahifah Sajjadiyah adalah sebuah mahakarya yang selalu mendapat perhatian dari para ulama, peneliti, dan tokoh di Dunia Islam. Lewat kitab ini, Imam Sajjad mengajari semua orang di seluruh masa, dan setiap individu akan mencapai derajat tertentu sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Dari mihrab ibadah, Imam telah mendirikan sebuah madrasah pengajaran yang akan mengantarkan orang-orang mengenal hakikat.
Ilmuwan Amerika dan penerjemah kita Sahifah Sajjadiyah, Profesor William Chittick mengatakan, "Sahifah ini mengajarkan banyak pelajaran di berbagai bidang mulai dari tauhid sampai masalah sosial… Imam (dalam Sahifah) menyinggung perkara syariat dalam makna yang luas. Ia selalu menekankan pentingnya mengikuti perintah Allah yang terdapat dalam al-Quran dan hadis untuk kehidupan individu dan sosial. Sahifah juga memuat banyak pelajaran sosial yang khas dan juga perintah yang umum, termasuk urgensitas untuk menegakkan keadilan di masyarakat."
Dengan bait-bait doanya, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad tidak hanya mengajarkan budaya Syiah kepada para pengikutnya pada masa itu, tapi juga mewariskan mutiara berharga ini kepada masyarakat Syiah setelahnya.